BERTAKWA DENGAN SEBENAR-BENAR TAKWA

BERTAKWA DENGAN SEBENAR-BENAR TAKWA

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (QS Ali Imran: 102)

Perintah pada ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman, karena mereka adalah orang-orang yang keimanannya dapat mendorong dirinya untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala.

Firman-Nya, “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.”

Ungkapan ‘sebenar-benar takwa’ ditafsirkan oleh firman Allah Ta’ala:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS ath-Thagabun: 16)

sehingga makna firman-Nya, “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa” adalah bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian. Allah Ta’ala tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuan.

Ayat ini tidak bermaksud untuk menggampangkan takwa kepada Allah, tetapi untuk memotivasi orang-orang beriman agar bertakwa sesuai kemampuan, yakni tidak melampaui batas dalam bertakwa kepada Allah. Allah Ta’ala tidak membebani manusia dengan sesuatu yang dia tidak mampu mengerjakannya.

Faedah yang dapat diambil dari firman Allah Ta’ala, “Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian,” adalah bahwa jika seseorang tidak mampu melaksanakan perintah Allah Ta’ala secara sempurna, maka ia boleh melaksanakannya berdasarkan kemampuannya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu,

صَلِّ قَائِمًا. فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ، فَقَاعِدًا. فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ، فَعَلَى جَنْبٍ

Salatlah kamu dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu, maka di sisi lambung (berbaring).” (HR al-Bukhari)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengurutkan cara melaksanakan salat berdasarkan kemampuan, yaitu pertama salat dalam posisi berdiri. Jika tidak mampu, maka salat dalam posisi duduk. Jika tidak mampu, maka salat di sisi lambung kanan (berbaring). Inilah yang disebut dengan sebenar-benar takwa.

Begitu juga dengan perkara-perkara lainnya, seperti puasa. Jika kamu tidak mampu berpuasa pada bulan Ramadan, maka kamu boleh menggantinya (kada) pada hari yang lain.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ

Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS al-Baqarah:185)

Demikian pula dalam berhaji.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali Imran: 97).

Jika kamu tidak mampu mencapai Baitullah, maka kamu tidak wajib mengerjakan ibadah haji. Jika kamu mampu berhaji dengan hartamu, tetapi tidak mampu dengan badanmu, maka kamu wajib menggantikan hajimu kepada orang lain.

Kesimpulannya, bertakwa seperti halnya masalah lain berlandaskan kemampuan (sesuai dengan kemampuan). Jika tidak mampu melaksanakan suatu perintah Allah, maka ia diberi kesempatan untuk mengerjakan semampunya. Barangsiapa terdesak pada sesuatu yang diharamkan oleh Allah, maka ia halal memanfaatkan sesuatu tersebut guna menolak kemudaratan, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِ

Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya.” (QS al-An’am: 119)

Hingga jika seseorang terdesak untuk makan daging mayat atau daging babi atau daging keledai atau daging hewan lain yang diharamkan, maka dia boleh memakannya, sebagai penolak atau sebagai bentuk penyelamatan diri dari keadaan darurat (kelaparan yang akan membawanya kepada kematian).

Baca juga: MENCARI REZEKI DENGAN BERTAWAKAL KEPADA ALLAH

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kelembutan Hati