ADAB SALAM (3)

ADAB SALAM (3)

16. Bolehnya Memberi Salam kepada Orang yang Sedang Shalat dan Menjawab dengan Isyarat

Dibolehkan memberi salam kepada orang yang sedang shalat, sebagaimana telah ditegaskan melalui persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Mereka biasa memberi salam kepada beliau saat beliau sedang shalat, dan beliau tidak mengingkari hal tersebut. Persetujuan ini menunjukkan kebolehannya.

Di antara dalilnya adalah hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu keperluan. Aku mendapati beliau sedang berjalan (Qutaibah berkata, sedang shalat). Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu beliau memberi isyarat kepadaku. Setelah selesai shalat, beliau memanggilku dan bersabda,

إِنَّكَ سَلَّمْتَ آنِفًا وَأَنَا أُصَلِّي

Tadi engkau memberi salam kepadaku, sedangkan aku sedang shalat.”

Pada saat itu beliau menghadap ke arah timur.” (HR Muslim)

Demikian pula hadis dari Shuhaib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang shalat, lalu aku mengucapkan salam kepadanya, dan beliau menjawab dengan isyarat. Shuhaib berkata: Aku tidak mengetahui kecuali ia menjawab dengan isyarat menggunakan jarinya. (HR Muslim dan Abu Dawud. al-Albani mengatakan, “Hadis ini sahih.”)

Hadis-hadis ini menunjukkan kebolehan memberi salam kepada orang yang sedang shalat, dan jawaban salam dari orang yang shalat dilakukan dengan isyarat.

Masalah: Apa sifat salam dengan isyarat dalam shalat?

Jawaban: Tidak ada sifat khusus dalam menjawab salam dengan isyarat saat shalat. Cara yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beragam:

🏀 Dengan jari, sebagaimana dalam hadis Shuhaib yang disebutkan sebelumnya.

🏀 Dengan tangan, sebagaimana dalam hadis Jabir. (HR Abu Dawud)

🏀 Dengan telapak tangan, sebagaimana dalam hadis Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Quba untuk shalat di sana. Kaum Anshar datang dan memberi salam kepadanya, sementara beliau sedang shalat. Aku bertanya kepada Bilal, “Bagaimana engkau melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salam mereka saat sedang shalat?” Bilal menjawab, “Beliau menjawab seperti ini,” lalu ia membuka telapak tangannya, dan Ja’far bin ‘Aun juga membuka telapak tangannya dengan bagian dalam menghadap ke bawah dan bagian luar menghadap ke atas. (HR Abu Dawud. al-Albani mengatakan, “Hadis ini hasan sahih.”)

Dalam kitab ‘Aun al-Ma’bud dijelaskan: Ketahuilah bahwa isyarat untuk menjawab salam dalam hadis ini dilakukan dengan seluruh telapak tangan, dalam hadis Jabir dengan tangan, dalam hadis Ibnu Umar dari Shuhaib dengan jari, dan dalam hadis Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi disebutkan bahwa beliau memberi isyarat dengan kepala. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa beliau menjawab dengan menggerakkan kepala. Semua riwayat ini dapat digabungkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut dalam berbagai kesempatan yang berbeda. Maka semuanya dianggap boleh. Wallahu a’lam.”

17. Bolehnya Memberi Salam kepada Orang yang Sedang Membaca al-Qur’an dan Wajib Menjawab Salam

Memberi salam kepada orang yang sedang membaca al-Qur’an diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian melarang, sebagian lagi membolehkannya. Pendapat yang lebih kuat adalah membolehkannya, karena tidak ada dalil yang mengecualikan orang yang membaca al-Qur’an dari keumuman nash yang menganjurkan menyebarkan salam dan mewajibkan menjawab salam.

Fakta bahwa seseorang sedang membaca al-Qur’an —yang merupakan salah satu bentuk dzikir tertinggi— tidak menghalangi orang lain untuk memberi salam, dan tidak menggugurkan kewajibannya untuk menjawab salam.

Dalam salah satu fatwanya, Lajnah Daimah (Komite Tetap Fatwa Arab Saudi) menjawab sebuah pertanyaan: Boleh memberi salam kepada orang yang sedang membaca al-Qur’an, dan ia wajib menjawab salam. Hal ini karena tidak ada dalil syar’i yang melarangnya. Hukum asalnya adalah keumuman dalil tentang dianjurkannya memulai salam dan wajibnya menjawab salam, kecuali ada dalil khusus yang mengecualikan.

18. Makruh Memberi Salam kepada Orang yang Sedang Buang Hajat

Dasar dari hal ini adalah riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: Seorang laki-laki melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang buang air kecil, lalu ia memberi salam, tetapi beliau tidak menjawabnya. (HR Muslim)

Oleh karena itu, orang yang sedang buang hajat (baik buang air kecil maupun besar) dimakruhkan menjawab salam. Hal ini disepakati oleh para ulama.

Disunahkan bagi orang yang diberi salam dalam kondisi seperti ini untuk menjawabnya setelah berwudhu, meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan dari al-Muhajir bin Qunfudz radhiyallahu ‘anhu: Ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang buang air kecil, lalu ia memberi salam. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawabnya hingga beliau berwudhu. Setelah itu beliau berkata,

إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا عَلَىٰ طُهْرٍ

Aku tidak suka menyebut Allah Azza wa Jalla kecuali dalam keadaan suci,” atau beliau berkata,

عَلَىٰ طَهَارَةٍ

dalam keadaan bersuci.” (HR Abu Dawud dan al-Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih, Ahmad, an-Nasa’i, dan ad-Darimi)

19. Disunahkan Memberi Salam Ketika Masuk ke Dalam Rumah

Jika rumah tersebut kosong, sebagian ulama dari kalangan sahabat dan lainnya menganjurkan agar seseorang mengucapkan salam kepada dirinya sendiri.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Jika seseorang masuk ke rumah yang tidak berpenghuni, hendaknya ia mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis shalihin’ (Semoga keselamatan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh).” (al-Adab al-Mufrad. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah. al-Albani menyatakan bahwa sanadnya hasan dalam Shahih al-Adab al-Mufrad)

Riwayat serupa juga disebutkan dari Mujahid dan lainnya.

Ibnu Hajar berkata, “Memberi salam kepada diri sendiri saat memasuki tempat yang tidak berpenghuni termasuk dalam keumuman anjuran menyebarkan salam, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ

Maka apabila kalian memasuki rumah-rumah, ucapkanlah salam kepada diri kalian sendiri.” (QS an-Nur: 61)”

Jika rumah tersebut berisi keluarga, disunahkan pula memberi salam kepada mereka. Diriwayatkan dari Abu Zubair, ia mendengar Jabir berkata, “Jika engkau masuk ke rumahmu, ucapkanlah salam kepada keluargamu, berupa salam penghormatan dari Allah yang diberkahi lagi baik.” (al-Adab al-Mufrad. al-Albani menyatakan bahwa sanadnya sahih)

Memberi salam ketika masuk ke rumah bukanlah wajib. Ibnu Juraij berkata: Aku bertanya kepada ‘Atha, “Apakah wajib bagiku untuk memberi salam jika aku keluar lalu masuk kembali?” Ia menjawab, “Tidak. Aku tidak mengetahui adanya kewajiban tersebut dari siapa pun. Namun, aku menyukai hal itu, dan aku tidak meninggalkannya kecuali karena lupa.”

Namun, seorang muslim tidak seharusnya meninggalkan salam setelah mengetahui keutamaannya. Salah satu keutamaannya disebutkan dalam hadis Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ: إِنْ عَاشَ كُفِيَ، وَإِنْ مَاتَ دَخَلَ الْجَنَّةَ: مَنْ دَخَلَ بَيْتَهُ بِسَلَامٍ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَمَنْ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ

Tiga orang yang semuanya berada dalam jaminan Allah: Jika ia hidup, Allah mencukupinya. Jika ia mati, Allah memasukkannya ke dalam Surga: (1) Orang yang masuk ke rumahnya dengan mengucapkan salam, maka ia berada dalam jaminan Allah; (2) Orang yang keluar menuju masjid, maka ia berada dalam jaminan Allah; dan (3) Orang yang keluar di jalan Allah, maka ia berada dalam jaminan Allah.” (al-Adab al-Mufrad. sl-Albani menyatakan bahwa hadis ini sahih)

20. Menjawab Salam yang Dibawa kepada Orang Lain serta kepada Pembawa Salam

Hal ini disebutkan dalam sunah. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya ayahku menyampaikan salam kepadamu.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

عَلَيْكَ وَعَلَىٰ أَبِيكَ السَّلَامُ

Alaika wa ‘ala abika as-salam (Semoga keselamatan atasmu dan atas ayahmu).” (HR Abu Dawud. Dinilai hasan oleh al-Albani. Hadis ini juga terdapat dalam Musnad Imam Ahmad)

Dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,

إِنَّ جِبْرِيلَ يَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلَامَ

Sesungguhnya Jibril menyampaikan salam kepadamu.”

Aku menjawab, “Wa ‘alaihis salam wa rahmatullah.” (HR al-Bukhari)

Dalam hadis tentang Jibril yang menyampaikan salam kepada Khadijah radhiyallahu ‘anha, Ibnu Hajar berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada Khadijah tentang salam dari Allah melalui Jibril, Khadijah berkata, ‘Sesungguhnya Allah adalah as-Salam, dari-Nya keselamatan, serta atasmu dan atas Jibril keselamatan.’”

Kesimpulan dari hadis-hadis ini menunjukkan bahwa menjawab salam yang dibawa oleh seseorang kepada orang lain tidak wajib, tetapi dianjurkan (sunah).

Ibnu Hajar berkata, “Aku tidak menemukan dalam jalur-jalur periwayatan hadis Aisyah bahwa ia menjawab salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga menunjukkan bahwa menjawab salam tersebut tidak wajib.”

Faidah: Ibnu Abdil Barr menyebutkan, “Seorang laki-laki berkata kepada Abu Dzar, ‘Fulan menyampaikan salam kepadamu.’ Abu Dzar menjawab, ‘Itu adalah hadiah yang baik dan beban yang ringan.’”

21. Mendahulukan Tahiyatul Masjid Sebelum Memberi Salam kepada Orang di Dalam Masjid

Bagi seseorang yang memasuki masjid, disunahkan untuk mendahulukan shalat Tahiyatul Masjid sebelum memberi salam kepada orang yang ada di dalamnya. Dalam hadis tentang orang yang keliru dalam shalatnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk masjid, kemudian seseorang masuk dan melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi menjawab salamnya, lalu bersabda,

ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

Kembalilah dan shalatlah, karena engkau belum shalat (diulang hingga tiga kali).’” (HR al-Bukhari)

bnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa seseorang yang masuk masjid memulai dengan shalat dua rakaat Tahiyatul Masjid, kemudian memberi salam kepada orang-orang. Dengan demikian, Tahiyatul Masjid didahulukan sebelum memberi salam kepada penghuni masjid, karena shalat tersebut adalah hak Allah Ta’ala, sedangkan salam adalah hak manusia. Dalam hal ini, hak Allah lebih utama untuk didahulukan.”

Ibnu Qayyim juga menggunakan hadis tentang orang yang keliru dalam shalatnya sebagai dalil, dengan mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari shalatnya yang keliru, tetapi tidak mengingkari keterlambatan salamnya kepada Nabi hingga setelah shalat.”

Hal ini menunjukkan bahwa sunahnya adalah mendahulukan Tahiyatul Masjid sebelum memberi salam kepada orang yang ada di masjid.

22. Makruh Memberi Salam Saat Khotbah Jumat

Dasar larangan ini adalah hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ: أَنْصِتْ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ

Jika engkau berkata kepada temanmu pada hari Jumat, ‘Diamlah,’ sedangkan imam sedang berkhotbah, maka engkau telah melakukan perbuatan sia-sia.” (HR al-Bukhari)

Oleh karena itu, tidak disyariatkan memberi salam saat khotbah Jumat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan jamaah untuk diam mendengarkan khotbah imam.

Masalah: Jika seseorang yang baru masuk masjid memberi salam saat khotbah Jumat, apakah wajib bagi jamaah untuk menjawab salamnya?

Jawaban: Lajnah Daimah (Komite Tetap Fatwa Arab Saudi) menjawab, “Tidak diperbolehkan bagi seseorang yang masuk masjid dan mendengar khotbah Jumat untuk memulai memberi salam kepada orang-orang di masjid. Begitu pula, tidak diperbolehkan bagi jamaah untuk menjawab salam tersebut. Namun, jika seseorang menjawab dengan isyarat, maka itu diperbolehkan.”

Masalah: Apa yang harus dilakukan jamaah jika orang di sebelahnya memberi salam dan menyalaminya saat khotbah Jumat?

Jawaban: Lajnah Daimah menjelaskan, “Ia boleh menyalaminya dengan tangan tanpa berbicara, dan menjawab salamnya setelah khatib selesai dari khotbah pertama. Jika salam diberikan saat imam sedang menyampaikan khotbah kedua, maka jawab salam tersebut setelah khotbah kedua selesai.”

23. Anjuran Mendahulukan Salam Sebelum Berbicara

Para ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa mendahulukan salam sebelum memulai pembicaraan atau menyampaikan kebutuhan adalah sunah.

Imam Nawawi berkata, “Sunahnya, seseorang memulai salam sebelum berbicara. Hadis-hadis sahih dan amalan para salaf serta khalaf mendukung hal ini, dan perkara ini sudah masyhur. Ini adalah pendapat yang dipegang dalam pembahasan ini.”

Adapun hadis yang diriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salam sebelum berbicara,” hadis ini lemah. At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini munkar (lemah sekali).

24. Memberi Salam kepada Pelaku Maksiat dan Ahli Bid’ah

Adapun pelaku maksiat, mereka tetap diberi salam dan wajib dijawab salamnya.

Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa seorang muslim yang tidak terkenal dengan kefasikan atau bid’ah, maka dianjurkan untuk memberi salam kepadanya, dan wajib menjawab salamnya.”

Namun, jika pelaku maksiat tersebut terkenal dengan kefasikannya, apakah dianjurkan untuk meninggalkan salam kepadanya?

Jawaban: Jika meninggalkan salam kepadanya membawa manfaat yang lebih besar, seperti membuatnya berhenti dari maksiat karena tidak diberi salam atau salamnya tidak dijawab, maka dianjurkan untuk tidak memberi salam kepadanya. Sebaliknya, jika diyakini bahwa meninggalkan salam justru akan memperburuk keadaannya atau mendorongnya semakin jauh dalam maksiat, maka lebih baik tetap memberi salam dan menjawab salamnya untuk mengurangi potensi kerusakan, karena tidak ada manfaat dalam meninggalkan salam.

Hal ini berkaitan dengan masalah hajr (memutus hubungan) yang diperbolehkan jika mendatangkan kemaslahatan.

Adapun ahli bid’ah, bid’ah terbagi menjadi dua jenis: bid’ah yang bersifat kufur dan bid’ah yang tidak sampai kepada kekufuran

Bagi pelaku bid’ah yang kufur, tidak diperbolehkan memberi salam kepadanya dalam keadaan apa pun. Adapun pelaku bid’ah yang tidak sampai pada kekufuran, maka hukumnya seperti pelaku maksiat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Berikut adalah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin tentang hajr (memutus hubungan) dengan ahli bid’ah. Penjelasannya dapat diterapkan pula pada masalah memberi salam kepada mereka, karena hajr mencakup meninggalkan salam, baik memulai atau menjawab.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Adapun memutus hubungan dengan mereka (ahli bid’ah), maka hal ini tergantung pada jenis bid’ahnya. Jika bid’ah tersebut termasuk kufur, maka wajib memutus hubungan dengannya. Namun, jika bid’ahnya tidak sampai pada kekufuran, maka kita berhenti sejenak untuk mempertimbangkan. Jika dalam memutus hubungan tersebut terdapat maslahat, maka kita melakukannya. Tetapi jika tidak ada maslahat, maka kita meninggalkannya. Karena hukum asal seorang mukmin adalah haram memutus hubungan dengannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُؤْمِنٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ

Tidak halal bagi seorang mukmin memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dasar utama dari semua ini adalah hadis panjang dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu tentang ketertinggalannya dari Perang Tabuk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga Allah menerima tobatnya. Dalam hadis itu Ka’ab berkata:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum muslimin berbicara kepada kami bertiga yang tidak ikut perang. Maka kami dijauhi oleh orang-orang, dan mereka berubah sikap terhadap kami, sehingga aku merasa bumi ini asing bagiku. Kami terus dalam keadaan seperti itu selama lima puluh malam. Adapun kedua sahabatku, mereka berdiam diri di rumah sambil menangis. Sedangkan aku, yang lebih muda dan lebih kuat, tetap keluar untuk melaksanakan shalat bersama kaum muslimin, berkeliling di pasar, tetapi tidak ada seorang pun yang berbicara kepadaku. Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberi salam kepadanya saat beliau duduk di majelisnya setelah shalat. Lalu aku berkata dalam hati, “Apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak?” (HR al-Bukhari)

25. Disunahkan Memberi Salam Sebelum Meninggalkan Majelis

Sebagaimana disunahkan untuk memberi salam saat datang ke majelis, maka disunahkan pula untuk memberi salam saat meninggalkan majelis.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Jika salah seorang dari kalian sampai di suatu majelis, maka hendaklah ia memberi salam. Jika ia hendak berdiri meninggalkan majelis, maka hendaklah ia memberi salam. Salam yang pertama tidak lebih berhak daripada yang terakhir.” (HR at-Tirmidzi dan ia mengatakan, “Hadis ini hasan,” Abu Dawud. Dinilai hasan sahih oleh al-Albani)

Baca sebelumnya: ADAB SALAM (2)

(Fuad bin Abdul Aziz asy-Syalhub)

Adab Kitabul Aadab