HUKUM MEMAKAI GELANG, BENANG DAN SEBAGAINYA UNTUK MENOLAK BENCANA

HUKUM MEMAKAI GELANG, BENANG DAN SEBAGAINYA UNTUK MENOLAK BENCANA

Manusia memerlukan pelindung untuk mendapatkan keselamatan dan menghindari keburukan dalam kehidupannya. Mereka meminta pertolongan kepada pelindung untuk menjaga dirinya, anak-anaknya, nikmat-nikmat yang diperolehnya, dan semua yang disukainya. Pelindung itu adalah Rabb alam semesta.

Sebagian manusia terkadang menyimpang dari berlindung kepada Rabb yang Mahaagung yang memiliki kekuatan dan keperkasaan. Mereka berpaling ke berbagai perkara yang diharamkan. Mereka menyangka bahwa perkara-perkara itu dapat melindungi mereka, anak-anaknya, kenikmatan-kenikmatannya, serta semua yang disukainya.

Di antara perkara yang diharamkan itu adalah memakai gelang, benang dan semisalnya, seperti wada’ah, tamimah, mismar, kharzah (semacam jimat) untuk melenyapkan bencana setelah bencana turun, atau menolak dan menghalangi bencana sebelum bencana turun. Inti dari semua itu adalah satu, yaitu meminta kepada selain Allah Ta’ala sesuatu yang hanya Allah yang mampu memberikannya. Memakai gelang, benang dan semisalnya itu termasuk perbuatan jahiliah. Dahulu, kaum jahiliah menggantungkan gelang, benang dan semisalnya pada anak-anak dan binatang-binatang mereka. Perbuatan itu adalah syirik besar yang menafikan tauhid secara keseluruhan, atau syirik kecil yang menafikan kesempurnaan wajibnya. Perbuatan itu adalah syirik karena yang mampu menyembuhkan dan melindungi dari segala sesuatu hanyalah Allah, sedangkan meminta kesembuhan dan keberkahan kepada gelang, benang dan selainnya menghancurkan nilai-nilai tauhid.

Memakai gelang, benang dan selainnya ada dua macam.

Pertama: Meyakini bahwa benda-benda itu adalah sebab, dan ini adalah syirik kecil.

Kedua: Meyakini bahwa benda-benda itu dapat menolak mudarat atau mendatangkan manfaat, dan ini adalah syirik besar. Dikatakan syirik besar karena pelaku syirik meyakini bahwa pada benda-benda itu terdapat sesuatu yang dapat memberi manfaat dan menolak mudarat selain Allah. Padahal Allah Ta’ala memerintahkan agar kita mengatakan kepada kaum musyrikin:

قُلْ اَفَرَءَيْتُمْ مَّا تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ اَرَادَنِيَ اللّٰهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كٰشِفٰتُ ضُرِّهٖٓ اَوْ اَرَادَنِيْ بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكٰتُ رَحْمَتِهٖ

Katakanlah, ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kalian seru selain Allah. Jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhala kalian itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?’ Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nyalah orang-orang yang bertawakal berserah diri.’” (QS az-Zumar: 38)

Yakni, sampaikanlah kepadaku tentang berhala-berhala dan sembahan-sembahan yang kalian mohon selain Allah. Jika aku tertimpa penyakit, kefakiran, bencana atau kesusahan, “apakah berhala-berhala kalian itu dapat menghilangkan kemudaratan itu?” Yakni, kalian mengetahui dan mengakui bahwa mereka tidak mampu menghilangkan penyakit, kefakiran, bencana atau kesusahan. “Atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku” berupa kesehatan, afiat, dan kebaikan, “apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?” Yakni, kalian mengetahui bahwa mereka tidak mampu sedikit pun menahan rahmat Allah itu. Kalian juga mengakui bahwa mereka tidak kuasa melakukan hal itu sedikit pun. Jika kalian sudah tahu bahwa mereka tidak kuasa melakukan hal itu, mengapa kalian bergantung kepada mereka, dan bukan kepada Allah?

Kemudian Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya dengan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku. KepadaNyalah orang-orang yang bertawakal berserah diri.” Maksudnya, Allah Ta’ala akan mencukupkan siapa saja yang bertawakal kepada-Nya, menyerahkan segala urusannya kepada-Nya, dan bersandar kepada-Nya. Jika sembahan-sembahan yang mereka mohon selain Allah tidak kuasa untuk menghilangkan mudarat yang dikehendaki oleh Allah pada hamba-hamba-Nya, atau menahan rahmat-Nya yang diturunkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, maka mestinya mereka menjadikan Allah satu-satunya sembahan mereka, dan semua urusan mereka diserahkan kepada-Nya. Ini merupakan suatu kaharusan yang tidak bisa ditawar lagi.

(Ayat yang semisal dengan ayat di atas) cukup banyak dalam al-Qur’an, untuk membantah kaum musyrikin dengan hujah yang dapat menumbangkan kemusyrikan dan menyamakan selain Allah dengan Allah dalam ibadah, dengan membuat permisalan dan selainnya, yang dengannya mereka akan mengetahui bahwa ibadah hanya kepada Allah semata. Mereka mengakuinya, tetapi tetap menolak untuk beribadah kepada Allah. Hal itu karena mereka memohon kepada sembahan-sembahan tersebut dalam makna sebagai perantara di sisi Allah.

مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰى

Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS az-Zumar: 3)

Bukan dalam pengertian bahwa sembahan-sembahan itu dapat menghilangkan mudarat dan mengabulkan permohonan doa orang yang membutuhkan, sebagaimana firman-Nya:

فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَ

Hanya kepada-Nyalah kalian meminta pertolongan.” (QS an-Nahl: 53)

Muqatil berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka. Tetapi mereka diam, karena mereka tidak meyakini bahwa sembahan-sembahan tersebut dapat menghilangkan kemudaratan. Jika demikian, maka penyembahan mereka kepada sembahan-sembahan di samping menyembah Allah adalah batil. Jika itu batil, maka memakai gelang, benang dan semisalnya adalah juga batil.

Ayat ini dan ayat semisalnya menilai batil keterpautan hati kepada selain Allah dalam hal mendatangkan manfaat dan menolak mudarat. Keterpautan hati hanyalah kepada Allah, dan bahwa semua jenis peribadatan tidak patut untuk selain Allah walau hanya sedikit, sebagaimana ditunjukkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijmak ulama. Demikian pula, tidak patut sedikit pun dari macam-macam keterpautan kecuali kepada Allah.

Baca juga: MENGGANTUNG TAMIMAH (JIMAT) ADALAH KESYIRIKAN

Baca juga: KEUTAMAAN TAUHID DAN DOSA-DOSA YANG DIHAPUS KARENANYA

Baca juga: MEWASPADAI ORANG YANG MENYESATKAN DAN TUKANG SIHIR

Baca juga: PEMBEDA DENGAN KESYIRIKAN DAN KEKAFIRAN

(Abdul Malik bin Muhammad Abdurrahman al-Qasim)

Akidah