SUCI ADALAH DI ANTARA SYARAT SAH SHALAT

SUCI ADALAH DI ANTARA SYARAT SAH SHALAT

Di antara syarat mendirikan shalat adalah suci. Tidak diterima shalat seseorang yang tidak dalam keadaan suci.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kalian jika berhadas sampai ia berwudhu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, seseorang harus bersuci sesuai cara yang diperintahkan. Jika ia berhadas kecil seperti buang air kecil, buang air besar, buang angin, tidur, dan makan daging unta, maka ia harus berwudhu.

Fardu wudhu adalah sebagai berikut: Membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai kedua siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai siku, dan usaplah kepala kalian dan (basuhlah) kaki kalian sampai kedua mata kaki.” (QS al-Maidah: 6)

Termasuk bagian dari kepala adalah kedua telinga, dan termasuk membasuh wajah adalah berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke hidung). Maka ketika berwudhu, ia harus menyucikan empat bagian ini, yakni membasuh tiga anggota wudhu dan mengusap satu anggota wudhu.

Adapun istinja dan istijmar adalah menghilangkan najis yang tidak ada hubungannya dengan wudhu. Jika seseorang buang air kecil atau buang air besar kemudian beristinja, lalu ia pergi (bekerja), maka ketika datang waktu shalat, ia bisa langsung berwudhu untuk menyucikan empat anggota badan itu tanpa perlu lagi beristinja, karena istinja adalah menghilangkah najis. Jika najis sudah hilang, maka ia tidak perlu mengulang mencucinya, kecuali jika ia buang air lagi.

Yang benar, jika seseorang lupa untuk beristijmar secara syar’i, kemudian berwudhu, maka wudhunya sah, karena sebagaimana yang aku katakan di atas, tidak ada hubungan antara istijmar dan wudhu.

Adapun jika ia berhadas besar seperti junub, maka ia harus mandi dengan menyiramkan air ke seluruh tubuhnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا

Dan jika kamu junub maka mandilah!” (QS al-Ma’idah: 6)

Termasuk bagian mandi adalah berkumur-kumur dan beristinsyaq, karena mulut dan hidung berada di wajah. Ia wajib membersihkan keduanya sebagaimana wajibnya membersihkan dahi, pipi, dan jenggot.

Mandi wajib cukup dengan menyiramkan air ke seluruh tubuh, baik dimulai dengan menyiram kepala, dada, punggung, bagian bawah badan, atau menyelam di kolam dan keluar dengan niat mandi besar.

Berwudhu dalam mandi wajib adalah sunah, bukan wajib. Berwudhu disunahkan sebelum mandi. Jika ia mandi, maka ia tidak perlu lagi berwudhu untuk yang kedua kalinya, karena tidak disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu setelah mandi.

Jika ia tidak menemukan air, atau dalam keadaan sakit dan khawatir air membahayakan tubuhnya, atau cuaca sangat dingin dan tidak memiliki pemanas air, maka ia boleh bertayamum, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu!” (QS al-Ma’idah: 6)

Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang yang safar (dalam perjalanan) atau sakit, jika tidak menemukan air, boleh bertayamum.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa cuaca dingin menjadi uzur sehingga seseorang bertayamum adalah kisah Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya bersama satu pasukan pada sebuah peperangan. Lalu ia junub. Ia bertayamum dan shalat bersama para sahabat mengimami mereka. Ketika mereka kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya kepadanya, “Apakah kamu shalat mengimami sahabat-sahabatmu dalam keadaan junub?” Ia menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Lalu ia membaca firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu.” (QS an-Nisa: 29) “Aku takut dingin, maka aku bertayamum dengan debu yang suci. Kemudian aku shalat.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui perbuatan Amr bin al-Ash. Beliau tidak menyuruhnya mengulangi shalatnya. Karena takut akan mudarat, maka ia seperti orang yang berada dalam bahaya, tetapi dengan syarat bahwa ketakutan atau kekhawatiran itu besar atau benar-benar dirasakan. Jika kekhawatiran itu hanya prasangka, maka takut dingin itu tidak bisa dijadikan alasan (uzur) dan ia tidak boleh bertayamum.

Ketahuilah bahwa kedudukan bersuci dengan tayamum adalah sama dengan kedudukan bersuci dengan air. Bersuci dengan tayamum tidak batal kecuali dengan sesuatu yang membatalkan bersuci dengan air, atau hilangnya uzur yang membolehkan bertayamum.

Barangsiapa bertayamum karena tidak ada air kemudian ia menemukan air, maka ia harus bersuci dengan air, karena Allah Ta’ala menjadikan tanah untuk bersuci jika tidak ada air.

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ، فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ

Debu (tanah) yang baik adalah alat bersuci orang muslim meskipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia telah mendapatkan air, hendaklah ia membasuh kulitnya, karena hal itu lebih baik baginya.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ahmad)

Dalam Shahih al-Bukhari dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, dalam hadis yang panjang tentang orang yang mengasingkan diri dan tidak shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya kepadanya,

مَا مَنَعَكَ، يَا فُلَانُ، أَنْ تُصَلِّيَ مَعَ الْقَوْمِ

Wahai Fulan, apa yang menghalangimu untuk shalat bersama orang banyak?

Ia menjawab, “Aku sedang janabat dan tidak ada air.”

Beliau bersabda,

عَلَيْكَ بِالصَّعِيدِ، فَإِنَّهُ يَكْفِيكَ

Hendaklah kamu menggunakan debu. Itu cukup bagimu.”

Kemudian ada air, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya air seraya bersabda,

اذْهَبْ فَأَفْرِغْهُ عَلَيْكَ

Pergilah, kemudian mandilah.” (HR al-Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa jika air ditemukan, maka tayamum menjadi batal. Ini menjadi kaidah umum sehingga mereka berkata, “Jika ada air, maka tayamum menjadi batal.” Adapun jika tidak ada air, maka uzur tetap ada. Kedudukannya seperti bersuci dengan air. Ia tidak batal dengan keluarnya waktu.

Misalnya, seorang musafir tidak mendapatkan air sehingga ia bertayamum untuk shalat Dzuhur. Jika ia tidak berhadas sampai waktu Isya, maka ia tidak harus mengulangi tayamumnya. Tayamum tidak batal dengan keluarnya waktu, karena tayamum suci secara syariat, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ

Sapulah wajah dan tangan kalian dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian.” (QS al-Ma’idah: 6)

Oleh karena itu, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa bersuci dengan tayamum adalah suci, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

جُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا. وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ، فَلْيُصَلِّ

Dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci. Siapa saja dari umatku menemui waktu shalat, hendaklah ia shalat.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis lain disebutkan, “Hendaklah ia bersuci dan shalat.” (Shahih al-Jami’)

Ini termasuk perkara penting dalam mendirikan shalat, yaitu menjaga kesucian.

Baca juga: MENGUSAP SEPATU DAN PENUTUP

Baca juga: SYARAT SAH SHALAT

Baca juga: TAHARAH INDRAWI

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih