SIFAT MALU

SIFAT MALU

Di antara sifat terpuji yang diseru oleh syariat adalah sifat malu. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Musa ‘alaihissalam ketika beliau membantu memberi minum ternak dua orang perempuan:

فَجَاۤءَتْهُ اِحْدٰىهُمَا تَمْشِيْ عَلَى اسْتِحْيَاۤءٍ ۖقَالَتْ اِنَّ اَبِيْ يَدْعُوْكَ لِيَجْزِيَكَ اَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan. Ia berkata, ‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” (QS al-Qashash: 25)

Dari Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku berwasiat kepadamu agar kamu malu kepada Allah sebagaimana kamu malu kepada seorang laki-laki saleh dari kaummu.” (HR Ahmad dan al-Baihaqi)

Dari Ibnu Mas’ud al-Badari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْت

Sesungguhnya di antara perkara yang diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’” (HR al-Bukhari)

Hadis ini menjadi dalil bahwa malu adalah perisai bagi seseorang dari perbuatan yang dapat memudaratkan agamanya atau merusak akhlak dan muru’ahnya. Jika rasa malu hilang dari seseorang, maka dia tidak akan menghiraukan keburukan apapun yang dilakukannya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً. فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ. وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ. وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانُ

Iman memiliki tujuh puluhan atau enam puluhan cabang. Cabang yang paling tinggi adalah ucapan, لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ (tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah). Dan cabang yang paling rendah adalah menghilangkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Bangsa Arab di zaman jahiliah menghiasi diri mereka dengan sifat malu. Sebelum keislamannya, Abu Sufyan ketika ditanya oleh Heraklius, raja Romawi yang bertanya kepadanya tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Seandainya bukan karena rasa malu terhadap perasaan bahwa mereka mendapatiku berdusta, aku pasti berbohong kepadanya.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Malu termasuk akhlak yang paling baik, mulia, agung, dan banyak manfaat. Malu merupakan sifat khusus bagi kemanusiaan sehingga orang yang tidak memiliki rasa malu tidak memiliki sifat kemanusiaan kecuali daging, darah, dan fisik. Dia tidak memiliki sedikit pun kebaikan. Kalau bukan karena sifat malu, maka tamu tidak akan dihormati, janji tidak akan ditepati, amanah tidak akan ditunaikan, dan kebutuhan seseorang tidak akan dipenuhi. Kalau bukan karena sifat malu, seseorang tidak akan mencari sifat-sifat baik untuk dikerjakan dan sifat-sifat buruk untuk ditinggalkan, aurat tidak ditutup, dan perbuatan mesum tidak dicegah. Sungguh jelas bahwa kalau bukan karena rasa malu terhadap Allah al-Khalik dan sesama makhluk, maka kebaikan tidak akan pernah disentuh dan keburukan tidak akan pernah dijauhi… dan seterusnya.”

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang rasa malunya sedikit, maka sifat waraknya pun sedikit. Barangsiapa yang sifat waraknya sedikit, maka hatinya pasti mati.”

Dari ‘Abdillah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang laki-laki Ansar yang sedang menasehati saudaranya tentang sifat malu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْهُ، فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الْإِيمَانِ

Biarkanlah dia, sebab sifat malu adalah bagian dari iman.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Seorang penyair berkata:

Apabila engkau tidak takut akibat yang terjadi pada waktu malam

dan tidak malu, maka lakukanlah semua yang engkau kehendaki

Demi Allah, tidak ada kebaikan yang diharap dalam kehidupan ini

dan tidak ada manfaat bagi dunia jika sifat malu telah sirna

Seseorang tetap hidup dalam kebaikan selama dia memiliki rasa malu

Dan tangkai tetap tegak selama kulit yang melapisinya masih menetap

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Salah satu akibat kemaksiatan adalah hilangnya rasa malu sebagai unsur utama hidupnya hati. Dia adalah pondasi setiap kebaikan. Maka, hilangnya rasa malu dari seseorang berarti sirnanya seluruh kebaikan.

Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih,

اَلْـحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إلَّا بِخَيْرٍ

Rasa malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.” (HR al-Bukhari dan Muslim) Maksudnya adalah dosa-dosa akan melemahkan rasa malu seorang hamba, bahkan akan menghilangkannya. Terkadang dia tidak merasakan adanya tatapan manusia terhadap keadaannya yang buruk. Selain itu, banyak manusia menceritakan keburukan dirinya dan kebusukan perbuatannya. Faktor utama yang mendorong hal itu adalah sirnanya rasa malu. Pada saat seseorang telah sampai pada tingkat ini, maka kebaikan tidak bisa diharapkan lagi darinya. Barangsiapa malu bermaksiat kepada Allah, Allah pun malu menyiksanya pada hari dia menghadap Allah. Barangsiapa tidak malu bermaksiat kepada Allah, Allah pun tidak malu menimpakan siksa kepada dirinya.”

Contohnya adalah orang yang bepergian ke luar negeri hanya untuk mencari kesenangan dan syahwat. Di antara mereka ada yang bangga menceritakan kebinalan yang dilakukannya, seperti minum khamar dan berbuat zina.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ. وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهِرِةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِالْلَيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهَ اللهُ، فَيَقُوْلُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا. وَقدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وُيُصْبِحُ يَكْشِفُ سَتَرَ اللهُ عَنْهُ

Setiap umatku dimaafkan kecuali al-mujahirin (orang yang menampakkan kemaksiatannya). Termasuk menampakkan kemaksiatan adalah seseorang melakukan perbuatan (tercela) di malam hari, kemudian ia menjumpai waktu subuh dan Allah telah menutupi aibnya. Namun dia berkata, ‘Wahai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu.’ Padahal malam harinya Allah telah menutup kemaksiatannya, tetapi pagi harinya dia menyingkap apa yang telah ditutup oleh Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Mereka akan mendapatkan bagian dari apa yang difirmankan Allah Ta’ala:

اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (QS al-Nur: 19)

Perlu dikatahui bahwa meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar bukan bagian dari sifat malu. Allah Ta’ala berfirman:

وَاللّٰهُ لَا يَسْتَحْيٖ مِنَ الْحَقِّ

Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (QS al-Ahzab: 53)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Terkadang orang yang pemalu merasa malu mengarahkan orang yang dihormatinya kepada kebenaran, sehingga ia meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar. Terkadang rasa malu menyebabkan ia meninggalkan beberapa haknya. Maka jawaban terhadap perkara ini adalah apa yang diungkapkan oleh para ulama, seperti Abu Amr bin Ashalah bahwa perkara ini tidak termasuk ke dalam kategori malu, bahkan termasuk kelemahan, kehinaan, dan kehancuran. Hal itu karena malu adalah sifat baik yang mendorong seseorang meninggalkan perbuatan buruk dan mencegah seseorang dari melalaikan hak orang lain.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan amar makruf dan nahi mungkar serta memerintahkan untuk mengubahnya.

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا، فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِلِسَانِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu pula, maka ubahlah dengan hatinya; dan itu adalah selemah-lemah keimanan.” (HR Muslim)

Baca juga: MALU TERMASUK AKHAK MULIA

Baca juga: MALU ADALAH BAGIAN DARI IMAN

(Dr Amin bin ‘Abdullah asy-Syaqawi)

Kelembutan Hati