HUKUM MENGUSAP PADA KHUF DAN JABIRAH

HUKUM MENGUSAP PADA KHUF DAN JABIRAH

Telah disebutkan sebelumnya bahwa thaharah (bersuci) melibatkan empat anggota badan: wajah, tangan, kepala, dan kaki. Wajah dan kedua tangan dicuci, sementara kepala diusap. Adapun kedua kaki, bisa dicuci atau diusap. Jadi, dua anggota badan dicuci, satu diusap, dan satu lagi bisa dicuci atau diusap.

Adapun wajah, tidak boleh diusap kecuali jika terdapat jabirah, yaitu perban pada luka atau sesuatu yang sejenisnya.

Jika seseorang menutupi wajahnya untuk melindunginya dari sengatan matahari atau hal lainnya, maka ia tidak boleh mengusap di atas penutup tersebut, melainkan harus membuka penutupnya dan mencuci wajah. Kecuali dalam kondisi darurat, ia diperbolehkan mengusap penutup wajah tersebut sebagai pengganti mencuci wajah.

Adapun kedua tangan, tidak boleh diusap dan harus dicuci, kecuali jika ada keperluan mendesak, seperti alergi pada tangan yang berbahaya jika terkena air, sehingga digunakan perban atau sarung tangan untuk melindunginya. Dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa mengusapnya sebagai pengganti mencuci karena keperluan mendesak, sebagaimana hukum jabirah.

Adapun kepala, cukup diusap, dan bersucinya lebih ringan dibandingkan bagian tubuh lainnya. Oleh karena itu, jika seorang perempuan memiliki henna yang dilapisi di kepalanya, atau seseorang yang sedang berihram melapisi kepalanya, seperti yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka cukup mengusap lapisan tersebut tanpa perlu menghilangkannya.

Adapun kedua kaki, maka dicuci atau diusap. Oleh karena itu, al-Qur’an menyebutkannya dalam dua cara dalam pembacaan firman Allah Ta’ala: ‘wa arjulakum’ (dengan fathah) dan ‘wa arjulikum’ (dengan kasrah), sehingga terdapat bacaan ‘wa arjulakum’ dan bacaan ‘wa arjulikum’.

Bacaan dengan kasrah ‘wa arjulikum’ dihubungkan dengan firman-Nya: ‘wa m’sahuu bi ru’uusikum’, yang berarti ‘dan usaplah kaki kalian’. Sedangkan bacaan dengan fathah ‘wa arjulakum’ dihubungkan dengan firman-Nya: ‘faghsiluu wujuuhakum’, yang berarti ‘dan cucilah kaki kalian’.

Kapan kaki diusap? Kaki diusap jika seseorang memakai kaus kaki atau khuf. Kaus kaki terbuat dari kapas, wol, atau bahan sejenisnya, sedangkan khuf terbuat dari kulit atau bahan serupa. Kaki diusap pada keduanya dengan memenuhi empat syarat:

Syarat pertama: yaitu kesucian khuf atau kaus kaki. Jika keduanya terbuat dari bahan yang najis, seperti kulit yang najis, maka tidak sah diusap, karena najis merupakan kotoran yang tidak dapat menjadi suci meskipun diusap atau dicuci.

Adapun jika keduanya terkena najis, maka sudah jelas bahwa seseorang tidak boleh shalat dengan memakainya, sehingga tidak boleh diusap.

Syarat kedua: harus memakainya dalam keadaan suci setelah berwudhu dengan air.

Jika seseorang memakai kaus kaki atau khuf dalam keadaan bersuci dengan tayamum, maka ia tidak boleh mengusapnya. Misalnya, seseorang yang sedang bepergian memakai kaus kaki setelah bersuci dengan tayamum, lalu tiba di suatu kota, ia tidak boleh mengusapnya, karena tayamum hanya mencakup wajah dan kedua tangan, bukan kaki.

Syarat ini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada al-Mughirah bin Syu’bah,

إِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ

Sesungguhnya aku memakainya dalam keadaan suci.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Syarat ketiga: usapan hanya berlaku dalam keadaan hadas kecil, yaitu ketika berwudhu. Adapun ketika mandi janabah, khuf dan kaus kaki harus dilepas, dan kaki wajib dicuci, tidak boleh diusap. Jika seseorang dalam keadaan junub, maka mengusap khuf tidak diperbolehkan.

Syarat keempat: usapan dilakukan dalam batas waktu yang ditetapkan secara syar’i, yaitu satu hari satu malam bagi yang mukim, dan tiga hari tiga malam bagi yang bepergian. Waktu ini dihitung mulai dari usapan pertama setelah hadas, sedangkan waktu sebelum usapan pertama tidak termasuk dalam durasi tersebut.

Seandainya seseorang memakai khuf dalam keadaan suci pada Selasa pagi dan tetap suci hingga shalat Isya, kemudian ia tidur pada malam Rabu, kemudian saat bangun untuk shalat Subuh ia mengusap khuf, maka hari Selasa tidak dihitung karena itu terjadi sebelum usapan pertama. Waktu dihitung mulai dari Subuh pada hari Rabu. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tiga hari tiga malam bagi musafir, dan satu hari satu malam bagi orang yang menetap.” (HR Muslim)

Safwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami, ketika bepergian, agar tidak melepas khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena junub, namun (boleh diusap) karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur.” (HR at-Tirmidzi dan ia berkata, “Hasan sahih,” an-Nasa-i, dan Ibnu Majah) Jadi, yang menjadi acuan adalah usapan, bukan pemakaian khuf, dan bukan hadas setelah pemakaian.

Bagi orang yang mukim, masa usapan adalah sehari semalam, yaitu dua puluh empat jam. Sedangkan bagi musafir, masa usapan adalah tiga hari dengan malam-malamnya, yaitu tujuh puluh dua jam. Jika seseorang mengusap ketika masih mukim lalu bepergian sebelum masa usapannya habis, maka dia melanjutkan masa usapannya sebagai musafir selama tiga hari.

Contohnya, jika seseorang memakai khuf pada hari ini untuk shalat Subuh dan mengusapnya untuk shalat Dzuhur, kemudian ia bepergian setelah Dzuhur, maka ia melanjutkan usapan selama tiga hari sebagai musafir. Namun, jika kejadiannya sebaliknya, yaitu ia mengusap ketika sedang bepergian, lalu menetap, maka ia melanjutkan usapan sebagai mukim. Hal ini karena yang menjadi acuan adalah kondisi di akhir, bukan di awal.

Inilah pendapat yang dipegang oleh Imam Ahmad rahimahullah. Sebelumnya beliau berpendapat bahwa jika seseorang mengusap dalam keadaan mukim, lalu bepergian, maka ia harus menyempurnakan masa usapannya sebagai orang yang menetap. Namun, kemudian beliau menarik kembali pendapat ini dan mengatakan bahwa ia harus menyempurnakan usapannya sebagai musafir. Jangan heran jika seorang ulama kembali dari pendapatnya, karena kebenaran harus diikuti. Ketika kebenaran menjadi jelas bagi seseorang, ia wajib mengikutinya.

Imam Ahmad rahimahullah terkadang diriwayatkan memiliki lebih dari empat, lima, bahkan hingga tujuh pendapat dalam satu masalah. Beliau adalah satu individu yang terkadang dengan jelas menyatakan bahwa beliau telah menarik kembali pendapatnya, dan terkadang tidak. Jika beliau secara tegas menyatakan bahwa pendapat pertama telah ditarik kembali, maka tidak boleh lagi menyandarkan pendapat yang telah ditinggalkannya kepada beliau. Pendapat tersebut hanya boleh dinisbatkan kepadanya dengan penjelasan yang jelas, misalnya: “Beliau awalnya mengatakan ini, tetapi kemudian menarik kembali.” Namun, jika beliau tidak secara jelas menyatakan bahwa pendapatnya telah ditarik kembali, maka semua pendapat yang pernah beliau nyatakan harus dianggap sebagai miliknya. Oleh karena itu, dikatakan, “Beliau memiliki dua, tiga, atau empat pendapat.”

Imam Ahmad diriwayatkan memiliki banyak hadis, karena beliau adalah seorang ahli atsar yang berpegang teguh pada atsar. Seorang yang berpegang pada atsar tidak akan langsung mendapatkan semua atsar sekaligus sehingga dapat memahaminya dan menetapkan pendapatnya dalam satu waktu. Sebaliknya, atsar-atsar tersebut datang secara bertahap; hari ini disampaikan satu hadis kepadanya, dan keesokan harinya disampaikan hadis yang lain, dan begitu seterusnya.

Ketahuilah bahwa ketika masa diperbolehkannya mengusap khuf telah berakhir, namun seseorang masih dalam keadaan suci, maka wudhunya tidak batal. Akan tetapi, jika wudhunya batal, ia harus melepas khuf dan mencuci kedua kaki. Hanya berakhirnya masa mengusap khuf tidak membatalkan wudhu.

Demikian pula, jika seseorang melepas kedua khuf setelah mengusapnya, sementara masih dalam keadaan suci, wudhunya tidak batal dan ia tetap dianggap suci. Namun, jika ia ingin berwudhu kembali setelah melepas khuf tersebut, ia harus mencuci kedua kakinya.

Kaidah dalam masalah ini, agar tidak membingungkan, adalah: jika sesuatu yang telah diusap, seperti khuf, dilepas, maka tidak bisa diusap kembali. Untuk itu, seseorang harus mencuci kakinya terlebih dahulu, kemudian memakai kembali khuf tersebut jika ingin berwudhu.

Baca juga: SABAR ATAS MUSIBAH YANG DATANG TERUS MENERUS

Baca juga: ADAB BERJALAN

Baca juga: BERSAMA ORANG YANG DICINTAI PADA HARI KIAMAT

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih Riyadhush Shalihin