HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

Pertanyaan: Apa hukum orang yang tidak menyempurnakan shalat?

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah: Orang yang tidak menyempurnakan shalatnya dengan sempurna, yaitu meninggalkan beberapa hal yang menyempurnakan shalat, tidak berdosa, tetapi ia kehilangan pahala yang diperoleh dari penyempurnaan shalat. Contohnya, jika ia hanya mengucapkan “Subhana Rabbiyal ‘Azim” satu kali dengan tuma’ninah dalam rukuk, itu sudah cukup, tetapi ia kehilangan pahala tambahan dari memperbanyak tasbih.

Adapun orang yang tidak menegakkan shalat sama sekali, yaitu meninggalkannya secara total, maka ia adalah seorang kafir yang murtad dari Islam dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama. Ia keluar dari golongan kaum muslimin di dunia dan termasuk dalam golongan orang-orang kafir di akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa orang semacam itu akan dibangkitkan bersama Fir’aun, Haman, Qarun, dan Ubay bin Khalaf, para pemimpin kaum kafir. Ia akan dibangkitkan bersama mereka. Wal-’iyadzu billah.

Adapun di dunia, orang tersebut dianggap sebagai kafir murtad, dan penguasa wajib memanggilnya untuk melaksanakan shalat. Jika ia melaksanakan shalat, maka hal itu diterima. Namun, jika ia menolak dan tidak mau shalat, ia dihukum mati karena kemurtadannya, wal-’iyadzu billah. Setelah dieksekusi, jenazahnya dibawa jauh dari kota, kemudian dikuburkan di sebuah lubang yang digali di sana, agar tidak mengganggu orang lain dengan baunya dan supaya keluarga serta teman-temannya tidak terganggu oleh keberadaannya. Jenazahnya tidak memiliki kehormatan jika dibiarkan begitu saja di atas tanah. Oleh karena itu, ia tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Kematian orang seperti ini juga tidak diumumkan di masjid-masjid kaum muslimin untuk dishalatkan, karena ia adalah seorang kafir murtad.

Jika ada yang berkata, “Apa ini? Apakah ini balasan, toleransi, atau emosi?” Kami jawab, “Ini bukan balasan, bukan pula toleransi, dan bukan karena emosi. Kami mengatakannya berdasarkan tuntunan firman Allah Ta’ala, sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ucapan para sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum.”

Adapun firman Allah, Allah Ta’ala berfirman dalam surah at-Taubah tentang kaum musyrikin:

فَإِن تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُوا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudara kalian dalam agama.” (QS at-Taubah: 11)

Jika mereka tidak melakukannya, maka mereka bukan saudara kita dalam agama. Dan jika mereka bukan saudara kita dalam agama, maka mereka adalah kafir. Sebab, setiap mukmin, meskipun melakukan dosa besar, selama dosanya tidak mengeluarkannya dari Islam, tetaplah saudara kita. Bahkan, jika dua kelompok dari orang-orang mukmin berperang, tetap diketahui bahwa memerangi seorang muslim adalah suatu bentuk kekufuran, namun itu tidak mengeluarkannya dari agama; karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Meskipun demikian, orang yang berperang melawan saudaranya tetaplah saudara kita dan tidak keluar dari lingkaran iman, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِن فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ  إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin yang berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satunya melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangilah yang melanggar perjanjian itu hingga ia kembali kepada perintah Allah. Jika ia telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (QS al-Hujurat: 9-10)

Jika dua kelompok yang berperang itu tetap saudara-saudara kita, meskipun perbuatan itu merupakan dosa besar, maka ketika Allah berfirman tentang kaum musyrikin:

فَإِن تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُوا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudara kalian dalam agama.” (QS at-Taubah: 11), ini menunjukkan bahwa jika mereka tidak melaksanakan amalan-amalan tersebut, mereka bukanlah saudara kita dalam agama. Inilah yang ditegaskan dalam al-Qur’an.

Adapun dari sunah, maka perhatikanlah apa yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ

Pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim), dan kata “pemisah” menunjukkan adanya pemisahan dan perbedaan antara keduanya.

Pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” Maka, jika seseorang meninggalkan shalat, ia bukan lagi seorang muslim, melainkan menjadi seorang musyrik atau kafir.

Dan juga apa yang diriwayatkan oleh para ahli sunan dari Buraidah bin al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian yang ada antara kami dan mereka adalah shalat; maka siapa saja yang meninggalkannya, sungguh dia telah kafir.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Perjanjian yang ada antara kita dan orang-orang kafir, maksudnya adalah sesuatu yang memisahkan kita dari mereka adalah shalat. Maka, siapa yang meninggalkannya, dia telah kafir dan dia menjadi bagian dari mereka, bukan dari golongan kita.

Ini adalah teks yang jelas mengenai masalah in.

Adapun pernyataan yang disampaikan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Syaqiq – seorang tabi’in yang terkenal. Beliau rahimahullah berkata: “Para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganggap ada satu pun amal perbuatan yang jika ditinggalkan menjadi kekufuran, kecuali shalat.”

Telah dinukil adanya ijma’ (kesepakatan) para sahabat tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat oleh Imam Ishaq bin Rahuyah rahimahullah, seorang imam yang masyhur, serta sebagian ulama lainnya. Dan jika dianggap ada di antara mereka yang berbeda pendapat, mayoritas dari para sahabat – khususnya ahli fatwa di kalangan mereka – tetap berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.

Inilah dalil-dalil dari firman Allah Ta’ala, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu juga berkata – dan perhatikanlah hal ini: “Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Kalimat “tidak ada” (لَا) di sini merupakan penafian yang menunjukkan penafian secara mutlak, baik sedikit maupun banyak. Dan barang siapa tidak memiliki sedikit pun bagian dalam Islam, maka itu adalah kekafiran. Oleh karena itu, siapa pun yang meninggalkan shalat, dia adalah kafir.

Meninggalkan shalat memiliki konsekuensi, baik dari sisi agama maupun sisi lainnya, termasuk urusan-urusan duniawi:

Konsekuensi duniawi meliputi:

🏀 Orang yang meninggalkan shalat harus diajak untuk melaksanakan shalat. Jika ia kembali melaksanakan shalat, maka tidak ada masalah. Namun, jika ia menolak, maka ia harus dihukum mati. Tanggung jawab ini ada pada para pemimpin, dan jika mereka lalai dalam menegakkannya, Allah Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban mereka di Hari Kiamat. Setiap muslim yang murtad dari Islam harus diajak kembali, dan jika ia kembali, maka tidak ada masalah. Namun, jika ia tetap menolak, hukuman mati harus dijatuhkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR al-Bukhari)

🏀 Orang yang meninggalkan shalat tidak boleh dinikahkan jika ia melamar. Jika ia dinikahkan, pernikahannya dianggap batal, dan perempuan tersebut tidak halal baginya untuk digauli. Ia diperlakukan seperti orang asing, wal-’iyadzu billah, karena akadnya tidak sah. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala:

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Jika kalian mengetahui mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (perempuan beriman) tidak halal bagi orang-orang kafir, dan orang-orang kafir tidak halal bagi mereka.” (QS al-Mumtahanah: 10)

🏀 Orang yang meninggalkan shalat tidak memiliki kewalian atas anak-anaknya, saudara-saudaranya, atau siapa pun di antara manusia. Sebab, orang kafir tidak dapat menjadi wali atas seorang muslim, kecuali jika ia bertobat. Oleh karena itu, ia juga tidak berhak menikahkan anak perempuannya.

Seandainya seseorang, setelah menikah dan menjadi tua serta memiliki anak perempuan, kemudian berhenti shalat, wal-’iyadzu billah, maka ia tidak berhak menikahkan putrinya.

Jika ada yang berkata, “Ini menjadi masalah, karena ada orang yang memiliki anak perempuan tetapi mereka tidak shalat. Lalu, bagaimana kita harus menyikapinya?”

Kita katakan: Dalam keadaan seperti ini, jika pernikahan bagi anak perempuan tidak dapat dihindari, maka istrinya bisa meminta saudara laki-lakinya, pamannya, atau salah satu kerabat terdekat sesuai urutan kewalian, untuk menikahkan putrinya secara diam-diam tanpa sepengetahuan ayahnya. Dengan demikian, pernikahan dilakukan dengan akad yang sah. Namun, jika ayahnya yang menikahkannya sementara ia telah murtad dan kafir, maka akad tersebut tidak sah. Bahkan, jika ia menikahkannya seribu kali pun, akad itu tetap tidak ada artinya.

🏀 Jika seseorang meninggalkan shalat di tengah masa pernikahannya, maka pernikahannya menjadi batal. Contohnya, seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan dan keduanya shalat. Namun, jika kemudian suami meninggalkan shalat, kami katakan bahwa pemisahan wajib dilakukan antara suami dan istri hingga suami kembali melaksanakan shalat. Jika pemisahan telah dilakukan dan istri menyelesaikan masa ‘iddah, maka suami tidak bisa kembali kepadanya. Namun, jika suami kembali memeluk Islam sebelum masa ‘iddah berakhir, maka ia dapat kembali kepada istrinya.

Jika sebelum masa iddah selesai suami masuk Islam kembali dan melaksanakan shalat, maka istrinya tetap sah sebagai istrinya. Akan tetapi, jika masa iddah berakhir, maka pernikahannya dianggap batal, dan istrinya tidak halal baginya kecuali dengan akad baru, menurut pendapat mayoritas ulama.

Sebagian ulama berpendapat bahwa setelah masa iddah selesai, perempuan tersebut berhak atas dirinya sendiri. Namun, jika suaminya masuk Islam dan keduanya ingin kembali bersama, hal itu diperbolehkan tanpa akad baru. Pendapat ini dianggap lebih kuat karena didukung oleh dalil dari sunah.

Manfaat dari masa iddah adalah bahwa sebelum masa iddah selesai, jika suami masuk Islam, perempuan tersebut tidak memiliki pilihan untuk menolak. Namun, setelah masa iddah berakhir, dia memiliki pilihan: jika dia ingin kembali kepada suaminya, maka dia boleh melakukannya, dan jika dia tidak ingin, maka dia tidak perlu kembali.

🏀 Di antara konsekuensi lainnya adalah bahwa dia (yang meninggalkan shalat) tidak memiliki kewalian atas siapa pun yang berada di bawah perwaliannya, bahkan jika mereka muslim; karena salah satu syarat kewalian adalah keadilan, sedangkan orang kafir tidak dianggap adil. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat tidak dapat menjadi wali bagi siapa pun di antara hamba-hamba Allah yang muslim, bahkan jika itu adalah anak perempuannya sendiri, dia tidak boleh menikahkannya, karena dia tidak memiliki kewalian atasnya.

🏀 Di antara konsekuensi lainnya adalah orang yang meninggalkan shalat tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan bersama kaum muslimin. Sebaliknya, ia dibawa ke tempat terbuka, digali sebuah lubang, dan dikuburkan di sana tanpa penghormatan layaknya kuburan kaum muslimin, karena ia tidak lagi memiliki kehormatan secara syar’i.

Tidak halal bagi seseorang, yang mengetahui bahwa orang di dekatnya saat meninggal tidak melaksanakan shalat, untuk memandikannya, mengafani, atau menyerahkannya kepada kaum muslimin agar mereka menshalatkannya. Melakukan hal itu berarti menipu kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang-orang munafik—yang merupakan orang-orang kafir yang menampakkan keislaman:

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِمْ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ

Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan seorang pun dari mereka yang mati, dan jangan pula berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah.” (QS at-Taubah: 84)

Ayat ini menunjukkan bahwa kekufuran merupakan penghalang untuk dishalatkan dan untuk berdiri (berdoa) di kuburan setelah penguburan.

Allah Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik, meskipun mereka adalah kerabat dekat, setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang itu adalah penghuni Neraka.” (QS at-Taubah: 113).

Sebagian orang bertanya mengenai seseorang yang dituduh meninggalkan shalat, apakah ia boleh dishalatkan setelah kematiannya, sementara ada keraguan apakah ia benar-benar melaksanakan shalat atau tidak?

Kami katakan: Jika keraguan ini didasarkan pada alasan yang mendasar, maka ketika kamu hendak mendoakannya, ucapkanlah: “Ya Allah, jika dia seorang mukmin, maka ampunilah dia dan rahmatilah dia.” Dengan cara ini, kamu membatasi doa tersebut dan terhindar dari keburukan yang mungkin timbul.

Adapun hal-hal lain yang berkaitan dengan meninggalkan shalat, di antaranya:

1. Siksa abadi di kubur, sebagaimana siksaan yang dialami oleh orang kafir, atau bahkan lebih berat.

2. Dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat bersama Fir’aun, Haman, Qarun, dan Ubay bin Khalaf.

3. Dia akan dimasukkan ke dalam Neraka dan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak dianggap kafir dengan kekufuran yang mengeluarkannya dari agama. Mereka berdalil dengan beberapa nash. Namun, nash-nash tersebut tidak terlepas dari lima kondisi.

Pertama: Nash-nash tersebut mungkin tidak memiliki dalil yang relevan sama sekali terkait masalah ini, seperti pernyataan sebagian dari mereka yang berpendapat bahwa meninggalkan shalat bertentangan dengan firman Allah:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS an-Nisa: 48)

Mereka memasukkan orang yang meninggalkan shalat ke dalam cakupan ayat ini.

Maka kami katakan: Orang yang meninggalkan shalat, berdasarkan zahir hadis Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim, dianggap sebagai seorang musyrik, meskipun ia tidak sujud kepada berhala. Namun, ia mengikuti hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya?” (QS al-Jatsiyah: 23)

Kedua: Atau mereka berdalil dengan hadis-hadis yang dibatasi oleh syarat-syarat yang tidak mungkin dipenuhi oleh seseorang yang meninggalkan shalat. Misalnya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Neraka atas orang yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ dengan ikhlas mencari wajah Allah.” (HR al-Bukhari)

Ucapan beliau “dengan ikhlas mencari wajah Allah” secara tegas menegaskan bahwa seseorang yang meninggalkan shalat tidak mungkin memenuhi syarat ini. Sebab, siapa pun yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ dengan ikhlas untuk mencari wajah Allah, tentu akan melakukan amal yang sesuai dengan tujuan tersebut, yaitu mencari wajah Allah.

Amal yang paling agung untuk meraih ridha Allah ‘Azza wa Jalla adalah shalat. Maka, hadis ini tidak dapat dijadikan dalil bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir, karena hadis tersebut dibatasi dengan syarat yang sepenuhnya mencegah seseorang dari meninggalkan shalat. Dengan adanya syarat ini, tidak mungkin seseorang yang ikhlas mencari wajah Allah akan meninggalkan shalat.

Ketiga: Atau hadis tersebut dibatasi oleh kondisi di mana seseorang yang meninggalkan shalat memiliki uzur (alasan yang diterima). Seperti hadis Hudzaifah yang diriwayatkan oleh sebagian ahli sunan, tentang suatu kaum yang tidak mengetahui ajaran Islam kecuali ucapan ‘La ilaha illallah’, dan ini terjadi pada masa hilangnya ajaran Islam. Pada saat itu, mereka hanya mengetahui kalimat ‘La ilaha illallah’ dan tidak mengetahui sisa ajaran Islam. Kalimat ini akan menyelamatkan mereka dari Neraka karena mereka tertipu oleh ketidaktahuan mereka tentang sisa ajaran Islam. Kami sepakat dengan hal ini, yaitu jika ada suatu kaum di pedalaman yang jauh dari kota dan jauh dari ilmu, yang hanya memahami Islam sebatas ‘La ilaha illallah’ dan ajaran terkait dengannya, maka mereka tidak dianggap kafir.

Keempat: Mereka juga berdalil dengan hadis-hadis yang bersifat umum. Dalam kaidah ushul fiqh, nash yang bersifat umum harus dikhususkan dengan nash yang bersifat khusus. Maka, hadis-hadis umum yang menyatakan bahwa siapa saja yang mengucapkan ‘La ilaha illallah’ akan masuk Surga, dan yang semisalnya, kami katakan: Hadis-hadis ini dibatasi atau dikhususkan dengan hadis-hadis yang menyatakan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.

Kelima: Mereka juga berdalil dengan hadis-hadis lemah, yang tidak mampu menandingi hadis-hadis sahih yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, apalagi untuk menentangnya. Hadis-hadis lemah tersebut tidak dapat menentang atau menandingi hadis-hadis sahih yang dengan jelas menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.

Sebagian dari mereka, setelah gagal memberikan dalil bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir, menyatakan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Pemisah antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim), harus dipahami sebagai kekufuran kecil (kufr asghar) dan syirik kecil (syirk asghar). Dengan demikian, maknanya sama dengan pernyataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Kekufuran di bawah kekufuran.” Namun, pertanyaannya adalah: Apa yang mewajibkan kita untuk memahami hadis tersebut seperti itu? Sebab, ketika istilah kufr digunakan tanpa ada penentang, ia menunjukkan kekufuran hakiki, yaitu kufr akbar (kekafiran besar).

Bagaimana mungkin, padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Pemisah antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” Dalam sabda tersebut, beliau dengan tegas menetapkan batas yang jelas menggunakan kata “antara,” yang menunjukkan adanya pemisahan yang nyata antara dua hal tersebut. Ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kufr di sini adalah kekufuran akbar (kekafiran besar).

Pada saat itu, dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat menjadi tegas tanpa ada penentang atau yang dapat menyanggahnya.

Seorang hamba yang beriman, ketika Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan suatu hukum, wajib mengamalkannya. Sebab, kita bukanlah pembuat syariat; pembuat syariat adalah Allah. Apa yang Allah Ta’ala firmankan dan apa yang disabdakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah syariat. Kita wajib menerimanya, berhukum dengannya, dan meyakininya, baik sesuai dengan keinginan kita ataupun tidak. Maka, kita harus tunduk dan menerima apa yang telah ditetapkan oleh syariat.

Ketahuilah bahwa setiap perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat, apabila didasari oleh niat yang baik dan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencari kebenaran, tidak boleh menjadi alasan untuk mencela atau menganggap sesat orang yang berbeda pendapat. Sebab, orang tersebut adalah seorang mujtahid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ، ثُمَّ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, lalu ia berijtihad dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Jika ia berijtihad dan salah, maka ia tetap mendapatkan satu pahala.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Tidaklah menjadi hak seseorang untuk mencela saudaranya hanya karena ia berbeda pendapat berdasarkan dalil yang diyakininya.

Adapun orang yang membangkang dan tetap bersikeras setelah hujah ditegakkan atasnya, maka dialah yang pantas disalahkan.

Dengan penjelasan ini, kita memahami bahwa harus berhati-hati sepenuhnya dari meremehkan shalat. Setiap orang yang melihat seseorang meremehkan shalat wajib menasihatinya dengan tegas dan sungguh-sungguh.

Semoga Allah memberikan hidayah melalui nasihat tersebut, sehingga ia dapat meraih banyak kebaikan.

Baca juga: HUKUM-HUKUM SHALAT

Baca juga: PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN AMAL

Baca juga: HAKIKAT TAKWA

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih Riyadhush Shalihin