HUKUM MENIKAH DENGAN PEREMPUAN MUSYRIK

HUKUM MENIKAH DENGAN PEREMPUAN MUSYRIK

Seorang muslim diharamkan menikahi perempuan musyrik, kecuali perempuan ahlul kitab. Yang dimaksud dengan perempuan musyrik adalah perempuan penyembah berhala, ateis, murtad dari Islam, penyembah patung, penyembah kemaluan perempuan, serta perempuan-perempuan lain yang termasuk dalam kategori tersebut. Mengenai larangan ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ

Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (QS al-Mumtahanah: 10)

Mengenai penafsiran ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah mengharamkan hamba-Nya yang mukmin menikahi perempuan musyrik, dan Dia juga mengharamkan untuk melanjutkan pernikahan yang telah terjadi sebelumnya dengan mereka.”

Dalam kitab Shahih al-Bukhari disebutkan riwayat dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari al-Miswar dan Marwan bin al-Hakam: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat kesepakatan dengan orang kafir Quraisy pada Perjanjian Hudaibiyah, tiba-tiba datang perempuan-perempuan mukminah kepada beliau. Lalu, Allah menurunkan ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka…”

hingga firman-Nya:

وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ

“…Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (QS al-Mumtahanah: 10)

Pada hari itu, ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menceraikan dua istrinya. Salah satu dari mereka kemudian dinikahi oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan, sementara yang lainnya dinikahi oleh Shafwan bin Umayyah.

Pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Dan janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak perempuan yang mukmin lebih baik daripada perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan (memberi) ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat (perintah-perintah)-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS al-Baqarah: 221)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir-nya: Ayat ini menegaskan larangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum mukminin untuk menikahi perempuan-perempuan musyrik yang menyembah berhala. Jika yang dimaksud dalam ayat ini adalah perempuan musyrik secara umum, maka itu mencakup semua perempuan musyrik, baik dari golongan ahlul kitab maupun penyembah berhala. Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecualikan perempuan ahlul kitab dari keharaman ini melalui firman-Nya:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ

(Dan dihalalkan menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, apabila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik.” (QS al-Maa’idah: 5)

Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman,” ‘Ali bin Abi Thalhah menuturkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecualikan perempuan ahlul kitab dari larangan ini.” Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Makhul, al-Hasan, adh-Dhahhak, Zaid bin Aslam, ar-Rabi’ bin Anas, dan ulama lainnya.

Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah perempuan musyrik yang menyembah berhala, bukan seluruh perempuan dari kalangan ahlul kitab. Sebenarnya, pendapat ini hampir memiliki makna yang sama dengan pendapat sebelumnya. Wallahu a’lam.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Abu Ja’far bin Jarir rahimahullah menyebutkan setelah menukil ijma’ ulama tentang kebolehan menikahi perempuan ahlul kitab, “Sesungguhnya ‘Umar tidak menyukai tindakan tersebut. Alasannya adalah agar laki-laki muslim tidak meninggalkan perempuan muslimah, atau alasan lain yang serupa. Hal ini sebagaimana diriwayatkan kepada kami oleh Abu Kuraib; Idris meriwayatkan kepadanya; ash-Shult bin Bahram meriwayatkan kepadanya, dari Syafiq, yang berkata: ‘Hudzaifah menikahi seorang perempuan Yahudi. Lalu ‘Umar menulis surat kepadanya: ‘Ceraikanlah dia.’ Hudzaifah membalas: ‘Apakah engkau menganggap hal ini haram, sehingga aku harus menceraikannya?’ ‘Umar menjawab: ‘Aku tidak menganggapnya haram, namun aku khawatir kalian akan menikahi perempuan-perempuan pelacur dari kalangan mereka.’” Sanad atsar ini sahih.

al-Khallal meriwayatkan riwayat serupa dari Muhammad bin Isma’il, dari Waki’, dari ash-Shult.’ Kemudian, beliau rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Zaid bin Wahb, yang berkata: ‘Umar bin al-Khaththab berkata kepadaku, “Laki-laki muslim boleh menikahi perempuan Nasrani, namun laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi perempuan muslimah.” Ibnu Jarir menilai bahwa sanad ini lebih sahih dibandingkan dengan riwayat yang pertama.

Terdapat banyak atsar dari ulama salaf yang membolehkan menikahi perempuan ahlul kitab. Salah satunya adalah kisah Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang menikahi seorang perempuan Yahudi, meskipun ia sudah memiliki dua istri dari kalangan Arab. Riwayat lengkapnya disebutkan oleh Abu Wa’il, yang berkata: Hudzaifah menikahi seorang perempuan Yahudi. Lalu, ‘Umar menulis surat kepadanya: “Ceraikanlah dia.” Hudzaifah membalas: “Jika perbuatan ini diharamkan, pasti aku akan menceraikannya.” ‘Umar kemudian membalas lagi: “Aku tidak menganggap perbuatan itu haram. Namun, aku khawatir kalian akan menikahi perempuan-perempuan pelacur dari golongan mereka.”

Atsar lainnya dari Abu ‘Iyyadh, yang berkata, “Diperbolehkan menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani, kecuali perempuan Yahudi dan Nasrani yang memerangi kaum muslimin (kafir harbi).”

Pada dasarnya, seorang laki-laki muslim diperbolehkan menikahi perempuan ahlul kitab, namun hal ini tetap disyaratkan selama diyakini tidak akan menimbulkan kemudaratan. Selain itu, semua risiko yang mungkin timbul setelah pernikahan harus dipertimbangkan dengan matang. Sebab, pada masa salafush shalih, mereka yang menikahi perempuan ahlul kitab memiliki kemampuan untuk membimbing istri-istri mereka menuju Islam dengan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta mampu mendidik anak-anak mereka dengan baik.

Namun, kenyataannya saat ini, pernikahan dengan perempuan muslimah yang tidak taat saja sudah dapat memberikan efek negatif pada suaminya. Sang suami sering kali terjerumus ke dalam dosa, dan kualitas imannya semakin menurun. Lalu, apa yang akan terjadi jika seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahlul kitab?

Aku bertanya kepada guru kami, al-Albani rahimahullah, tentang hukum menikahi perempuan ahlul kitab. Beliau menjawab, “Menurutku, laki-laki muslim sebaiknya tidak menikahi perempuan ahlul kitab. Alasannya tidak lain adalah untuk menutup segala kemungkinan yang dapat mengantarkan kepada kemudaratan. Meskipun demikian, jika seorang laki-laki muslim tetap menikahi perempuan ahlul kitab, maka pernikahannya tetap sah.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ul Fatawa, “Tidak boleh menikah dengan perempuan majusi, sebagaimana tidak diperbolehkan menikahi perempuan penyembah berhala. Ini adalah pendapat dari madzhab empat imam. Imam Ahmad meriwayatkan dari lima orang sahabat tentang hukum hewan sembelihan dan perempuan-perempuan musyrik. Selain itu, Imam Ahmad juga menganggap perbedaan pendapat dalam hal ini sebagai perselisihan dengan ahlul bid’ah.”

Aku bertanya kepada guru kami, al-Albani, tentang hukum menikahi perempuan majusi. Beliau menjawab, “Hukumnya haram.”

Aku juga menanyakan kepada syekh kami tentang pendapat sebagian ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan non-muslim selain Yahudi dan Nasrani, yang diklaim juga memiliki kitab suci. Beliau menjawab, “Menurutku, tidak ada ahlul kitab selain kaum Yahudi dan Nasrani.”

Disebutkan dalam al-Irwa’: al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Hasan bin Muhammad bin ‘Ali, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada kaum majusi di Hajar untuk mengajak mereka kepada Islam. Siapa saja yang masuk Islam, keislamannya akan diterima; namun siapa yang menolak, diwajibkan membayar jizyah. Sesungguhnya, hewan sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan perempuan mereka tidak boleh dinikahi.

al-Baihaqi melanjutkan: Hadis ini berstatus mursal, namun ijma’ mayoritas kaum muslimin mengenai kandungan hukumnya telah memperkuat riwayat ini. Adapun riwayat mengenai pernikahan Hudzaifah dengan perempuan majusi, riwayat tersebut tidak sahih.

Guru kami, al-Albani rahimahullah, berkomentar tentang hadis al-Hasan bin Muhammad bin ‘Ali di atas, “Para perawinya tsiqah.”

Baca juga: PEREMPUAN BERPAKAIAN TETAPI TELANJANG

Baca juga: TIDAK MELAMPAUI BATAS DALAM AGAMA

Baca juga: MANHAJ (JALAN) GOLONGAN YANG SELAMAT

(Syekh Husain bin ‘Audah al-‘Awaisyah)

Fikih