SYARAT SAH SHALAT: NIAT

SYARAT SAH SHALAT: NIAT

Sesungguhnya shalat tidak sah kecuali dengan niat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (pahala) sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Ayat-ayat tentang hal ini banyak.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّ

Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menjemputnya, maka sungguh pahalanya telah tetap di sisi Allah.” (QS an-Nisa: 100)

Jadi, niat adalah salah satu syarat sahnya shalat. Shalat tidak sah kecuali dengannya. Niat pada dasarnya tidaklah sulit. Setiap orang yang berakal dan bertindak dengan kesadaran, ketika melakukan suatu perbuatan, sebenarnya sudah memiliki niat. Niat tidak memerlukan usaha yang berlebihan, juga tidak membutuhkan pengucapan, karena tempatnya di hati, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan niat dengan lisan, tidak pula memerintahkan umatnya untuk melakukannya, dan tidak ada seorang pun dari sahabatnya yang melakukannya. Oleh karena itu, mengucapkan niat dengan lisan adalah bid’ah. Ini merupakan pendapat yang paling kuat. Seakan-akan kamu menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya shalat, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengucapkan, “Ya Allah, aku berniat shalat.”

Suatu ketika, seseorang – semoga Allah merahmatinya – menceritakan kepadaku sebuah kisah yang cukup menggelitik. Ia berkata, “Pada masa lampau, ada seorang laki-laki di Masjidil Haram yang hendak melaksanakan shalat. Ketika iqamah dikumandangkan, laki-laki itu berdoa, ‘Ya Allah, aku berniat menunaikan shalat Dzuhur empat rakaat karena-Mu di belakang imam Masjidil Haram.’”

Ketika laki-laki itu hendak mengucapkan takbir, seseorang di sebelahnya berkata, “Tunggu, masih ada yang kurang!” Ia pun bertanya, “Apa yang kurang?” Orang tersebut menjawab, “Sebutkan juga hari, tanggal, bulan, dan tahun, agar tidak ada yang terlewat. Ini seperti menulis sebuah dokumen.” Laki-laki itu pun terkejut. Sungguh, ini benar-benar mengherankan. Apakah kamu sedang mengajari Allah ‘Azza wa Jalla tentang apa yang hendak kamu lakukan? Allah Mahamengetahui apa yang terlintas dalam hatimu.

Apakah kamu hendak mengajarkan Allah tentang jumlah rakaat dan waktu shalatmu? Tidak perlu, karena Allah sudah mengetahui semuanya. Niat itu tempatnya di dalam hati.

Namun, sebagaimana kita ketahui, shalat terbagi menjadi beberapa jenis: shalat sunah mutlak, shalat sunah yang ditentukan, dan shalat fardhu.

Shalat fardhu ada lima: Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Jika kamu datang ke masjid pada waktu Subuh, shalat apa yang akan kamu kerjakan? Tentu bukan shalat Maghrib, melainkan Subuh. Saat kamu datang dan bertakbir, niat untuk menunaikan shalat sudah ada dalam hatimu. Namun, mungkin saja kamu lupa bahwa saat itu adalah waktu Subuh.

Ada satu permasalahan: Kamu datang untuk shalat, bertakbir, tetapi lupa shalat apa yang sedang kamu laksanakan. Hal ini sering terjadi, terutama ketika seseorang datang dengan terburu-buru karena khawatir ketinggalan rakaat. Misalnya, kamu datang, bertakbir, tetapi tidak secara sadar mengingat bahwa kamu hendak shalat Subuh. Dalam kondisi ini, tidak ada masalah. Fakta bahwa shalat ini dilakukan pada waktunya sudah menjadi bukti bahwa kamu memang bermaksud melaksanakan shalat tersebut. Oleh karena itu, jika seseorang bertanya kepadamu, “Apakah kamu bermaksud melaksanakan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, atau Isya?” Kamu pasti akan menjawab, “Tidak, aku hanya bermaksud melaksanakan shalat Subuh.”

Jadi, kamu tidak perlu secara khusus menyatakan niat bahwa itu adalah shalat Subuh. Memang benar, jika kamu secara eksplisit berniat shalat Subuh, itu lebih sempurna. Namun, terkadang penentuan shalat bisa terlupakan. Oleh karena itu, kami katakan bahwa waktu shalat itu sendiri yang menentukan jenis shalat yang sedang kamu laksanakan.

Penentuan shalat fardhu dapat dilakukan dengan dua cara:

Cara pertama: Seseorang menentukannya dalam hati, misalnya dia berniat untuk shalat Dzuhur. Ini adalah cara yang jelas dan mudah dipahami.

Cara kedua: Waktu shalat itu sendiri. Selama kamu melaksanakan shalat pada waktunya, maka itulah shalat yang dimaksud.

Cara kedua ini hanya berlaku untuk shalat yang dilakukan pada waktunya. Namun, jika seseorang memiliki shalat yang tertunda (qadha), seperti ketika ia tertidur sepanjang hari sehingga melewatkan shalat Dzuhur, Ashar, dan Maghrib, maka ketika hendak mengqadha shalat tersebut, ia harus secara khusus menetapkan niat untuk shalat yang akan diqadha. Hal ini karena shalat tersebut tidak lagi memiliki waktu khusus.

Shalat sunah tertentu, seperti shalat Witir, dua rakaat Dhuha, dan shalat rawatib untuk lima waktu shalat fardhu, harus ditentukan dengan niat yang spesifik, namun niat tersebut berada di dalam hati, bukan diucapkan dengan lisan. Jika, misalnya, kamu hendak shalat Witir, lalu bertakbir tanpa meniatkan shalat Witir, dan baru berniat di tengah-tengah shalat, maka shalat tersebut tidak sah. Sebab, shalat Witir adalah shalat sunah tertentu, dan shalat sunah tertentu harus ditentukan dengan niat yang jelas sejak awal.

Adapun shalat sunah mutlak tidak membutuhkan niat khusus selain niat untuk melaksanakan shalat itu sendiri; niat untuk menunaikan shalat tetap diperlukan. Misalnya, jika seseorang berwudhu di waktu dhuha dan ingin shalat sebanyak yang dia kehendaki, maka kami katakan: cukup dengan niat untuk shalat. Hal ini karena shalat sunah mutlak tidak memiliki penentuan khusus.

Perpindahan Niat di Tengah Shalat

Jika seseorang ingin berpindah dari satu niat ke niat lain di tengah shalat, apakah hal ini diperbolehkan?

Perpindahan dari shalat tertentu ke shalat tertentu lainnya, atau dari shalat sunah mutlak ke shalat sunah tertentu, tidak sah.

Contoh perpindahan dari shalat sunah mutlak ke shalat sunah tertentu: Seseorang sedang melaksanakan shalat sunah mutlak, lalu di tengah-tengah shalat ia teringat bahwa ia belum melaksanakan shalat sunah rawatib Subuh. Kemudian ia berniat mengubah shalat tersebut menjadi shalat sunah rawatib Subuh. Dalam hal ini, kita katakan bahwa shalat sunah rawatib Subuh tersebut tidak sah, karena perpindahan dari shalat sunah mutlak ke shalat sunah tertentu tidak diperbolehkan. Shalat sunah tertentu harus diniatkan sejak awal pelaksanaannya. Oleh karena itu, shalat sunah rawatib Subuh harus diniatkan dari takbir hingga salam.

Contoh perpindahan dari shalat tertentu ke shalat tertentu lainnya: Seseorang sedang melaksanakan shalat Ashar, kemudian di tengah-tengah shalat ia teringat bahwa ia belum melaksanakan shalat Dzuhur, atau bahwa shalat Dzuhurnya sebelumnya dilakukan tanpa wudhu. Lalu, ia berniat untuk mengubah shalat yang sedang dilakukannya menjadi shalat Dzuhur. Apakah shalat tersebut sah untuk Dzuhur? Jawabannya: Tidak sah, karena perpindahan dari satu shalat tertentu ke shalat tertentu lainnya tidak diperbolehkan dalam syariat.

Shalat Ashar yang ia mulai juga menjadi tidak sah, karena ia telah membatalkannya dengan niat berpindah ke shalat Dzuhur. Jadi, shalat tersebut tidak sah baik untuk Dzuhur maupun Ashar. Shalat Ashar tidak sah karena ia telah memutuskannya di tengah jalan, sementara shalat Dzuhur tidak sah karena tidak diniatkan sejak awal, yakni dari takbiratul ihram. Dalam syariat, shalat Dzuhur harus diniatkan sejak takbiratul ihram hingga salam.

Perpindahan dari shalat tertentu ke shalat sunah mutlak diperbolehkan dan tidak ada masalah dalam hal ini. Misalnya, seseorang memulai shalat fardhu, kemudian teringat bahwa ia memiliki janji yang mendesak dan tidak bisa ditunda. Dalam keadaan tersebut, ia mengubah niat shalatnya menjadi shalat sunah. Shalat tersebut tetap sah selama waktu shalat fardhu masih luas dan ia tidak melewatkan kesempatan untuk shalat berjamaah.

Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi:

Syarat pertama: Waktu shalat harus masih luas.

Syarat kedua: Shalat berjamaah belum terlewat.

Sebagai contoh, jika seseorang sedang melaksanakan shalat berjamaah, ia tidak diperbolehkan mengubah niatnya menjadi shalat sunah mutlak, karena hal ini berarti ia meninggalkan shalat berjamaah.

Apabila waktu shalat sudah sempit, maka tidak sah mengubah niat menjadi shalat sunah mutlak, karena ketika waktu shalat fardhu sudah sempit, tidak ada ruang untuk melaksanakan shalat lain selain shalat fardhu tersebut. Namun, jika waktu masih luas dan shalat berjamaah sudah terlewat, maka diperbolehkan mengubah niat menjadi shalat sunah mutlak, lalu menyelesaikan dua rakaat sebelum pergi untuk memenuhi janjinya. Setelah itu, ia dapat kembali dan melaksanakan shalat fardhunya.

Dengan demikian, perpindahan niat yang diperbolehkan berlaku dalam tiga kondisi:

1️⃣ Dari shalat sunah mutlak ke shalat tertentu: Shalat tertentu tidak sah, tetapi shalat sunah mutlak tetap sah.

2️⃣ Dari shalat tertentu ke shalat tertentu lainnya: Shalat pertama batal, dan shalat kedua tidak sah.

3️⃣ Dari shalat tertentu ke shalat sunah mutlak: Sah, dan shalat sunah mutlak tetap berlaku hingga selesai.

Niat Menjadi Imam dan Niat Mengikuti Imam

Shalat berjamaah memerlukan keberadaan imam dan makmum, dengan jumlah minimal dua orang: satu imam dan satu makmum. Semakin banyak jumlah jamaah, semakin Allah menyukainya. Niat makmum untuk mengikuti imam merupakan hal yang disepakati oleh para ulama. Oleh karena itu, ketika kamu melaksanakan shalat berjamaah, kamu harus berniat untuk mengikuti imam yang memimpin shalat tersebut. Namun, sebagaimana yang telah kami sampaikan, niat tidak memerlukan upaya yang besar, karena siapa pun yang datang ke masjid sudah memiliki niat untuk mengikuti imam. Demikian pula, siapa pun yang berkata kepada orang lain, ‘Shalatlah bersamaku,’ maka dia telah berniat untuk mengikuti imam.

Adapun mengenai imam, para ulama rahimahumullah berbeda pendapat tentang apakah ia harus berniat menjadi imam atau tidak.

Sebagian ulama berpendapat bahwa imam harus berniat menjadi imam. Berdasarkan pendapat ini, jika dua orang datang dan mendapati seseorang sedang shalat, lalu mereka berniat menjadikannya imam dan shalat di belakangnya sementara orang tersebut tidak mengetahui keberadaan mereka, tetapi mereka berdua berniat menjadikannya imam dan mengikuti gerakannya, maka menurut pendapat yang menyatakan bahwa imam harus berniat menjadi imam, shalat kedua orang tersebut tidak sah, karena imam tidak berniat menjadi imam. Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa imam tidak disyaratkan berniat menjadi imam menyatakan bahwa shalat kedua orang tersebut sah, karena mereka berdua telah mengikuti gerakan imam tersebut.

Pendapat pertama, yang menyatakan bahwa imam harus berniat menjadi imam, adalah pendapat yang masyhur dari mazhab Imam Ahmad rahimahullah.

Pendapat kedua, yang menyatakan bahwa tidak disyaratkan imam berniat menjadi imam, adalah pendapat mazhab Imam Malik rahimahullah. Mereka berdalil dengan kejadian ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sendiri pada suatu malam di bulan Ramadhan, kemudian beberapa orang masuk ke masjid dan shalat di belakang beliau. Pada saat itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berniat menjadi imam ketika memulai shalatnya.

Mereka juga berdalil dengan kisah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang bermalam di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk melaksanakan shalat malam. Awalnya beliau shalat sendiri, namun kemudian Ibnu Abbas bangun, berwudhu, dan bergabung dalam shalat bersama beliau. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Namun, tidak diragukan lagi bahwa kedua dalil ini sebenarnya tidak menunjukkan hal tersebut secara tegas, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada akhirnya berniat menjadi imam, meskipun niat tersebut datang di tengah-tengah shalat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada masalah jika seseorang berniat menjadi imam di tengah-tengah shalat.

Bagaimanapun, sikap yang lebih hati-hati dalam masalah ini adalah sebagai berikut: Jika dua orang datang kepada seseorang yang sedang shalat, hendaklah mereka memberitahunya bahwa dia akan menjadi imam bagi mereka. Jika ia diam, maka itu berarti ia menyetujui mereka sebagai makmum. Namun, jika ia menolak dan memberi isyarat dengan tangannya agar mereka tidak shalat di belakangnya, maka mereka tidak boleh shalat di belakangnya. Ini adalah langkah yang lebih hati-hati dan lebih utama.

Apakah Disyaratkan Kesamaan Jenis Syariat Shalat antara Imam dan Makmum?

Pertanyaan: Apakah sah seseorang yang melaksanakan shalat fardhu bermakmum kepada orang yang melaksanakan shalat sunah, atau seseorang yang melaksanakan shalat sunah bermakmum kepada orang yang melaksanakan shalat fardhu? Mari kita tinjau masalah ini.

Adapun seseorang yang melaksanakan shalat sunah di belakang orang yang melaksanakan shalat fardhu, hal ini tidak menjadi masalah, karena terdapat dalil dari sunah yang menunjukkan kebolehannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah selesai melaksanakan shalat Subuh di Masjid al-Khaif di Mina, kemudian mendapati dua orang yang tidak ikut shalat berjamaah. Beliau bertanya,

مَا مَنَعَكُمَا أَن تُصَلِّيَا فِي ٱلْقَوْمِ؟

Apa yang menghalangi kalian untuk shalat bersama orang-orang?

Keduanya menjawab, “Ya Rasulullah, kami sudah shalat di tempat kami.”

Mungkin mereka melaksanakan shalat di tempat mereka karena mengira tidak akan sempat mengikuti shalat berjamaah, atau karena alasan lain. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ

Jika kalian sudah shalat di tempat kalian, lalu datang ke masjid yang sedang melaksanakan shalat berjamaah, maka shalatlah bersama mereka, karena hal itu akan menjadi shalat sunah bagi kalian.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan dia berkata “Hasan sahih,” an-Nasa-i, dan Ahmad)

Kata “فإنها” merujuk pada shalat yang kedua, karena shalat yang pertama sudah mencukupi sebagai shalat fardhu, dan kewajiban pun sudah gugur dengan pelaksanaannya.

Jadi, jika makmum melaksanakan shalat sunah sementara imam melaksanakan shalat fardhu, hal ini tidak mengapa, sebagaimana telah ditunjukkan oleh sunah.

Adapun sebaliknya, jika imam melaksanakan shalat sunah sementara makmum melaksanakan shalat fardhu, seperti yang terjadi pada bulan Ramadhan ketika seseorang masuk ke masjid dan tertinggal shalat Isya, lalu mendapati orang-orang sedang melaksanakan shalat Tarawih, apakah dia ikut shalat bersama mereka dengan niat shalat Isya, ataukah dia melaksanakan shalat fardhu sendirian terlebih dahulu, kemudian baru mengikuti shalat Tarawih?

Ini merupakan masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tidak sah melaksanakan shalat fardhu di belakang imam yang melaksanakan shalat sunah, karena shalat fardhu memiliki kedudukan yang lebih tinggi, dan tidak mungkin shalat makmum memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada shalat imam.

Sebagian ulama berpendapat bahwa sah melaksanakan shalat fardhu di belakang imam yang melaksanakan shalat sunah, karena ada dalil dari sunah yang menunjukkan hal tersebut, yaitu Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu melaksanakan shalat Isya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia pergi ke kaumnya dan mengimami mereka dengan shalat yang sama. Maka shalat tersebut bagi Mu’adz adalah shalat sunah, sedangkan bagi kaumnya merupakan shalat fardhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal itu.

Jika ada yang berkata, “Mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahuinya?” Jawabannya adalah, jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, maka kesimpulan ini sahih sebagai dalil. Sebab, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu pernah dikeluhkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena memperpanjang shalat Isya. Maka tampaknya — dan Allah lebih mengetahui — bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberitahu tentang seluruh kejadian dan kisah tersebut.

Jika diperkirakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa Mu’adz shalat bersamanya, kemudian pergi ke kaumnya dan mengimami mereka, maka sesungguhnya Rabb Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, dan Dia adalah Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, baik di bumi maupun di langit. Jika Allah telah mengetahuinya dan tidak menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya untuk mengingkari perbuatan tersebut, hal itu menunjukkan kebolehannya. Sebab, Allah Ta’ala tidak akan membiarkan suatu ibadah dilakukan di atas dasar yang tidak disyariatkan secara mutlak. Oleh karena itu, kesimpulan ini tetap sahih dalam setiap kemungkinan.

Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah bahwa seseorang boleh melaksanakan shalat fardhu di belakang orang yang melaksanakan shalat sunah. Qiyas yang dijadikan alasan untuk melarang hal ini adalah qiyas yang bertentangan dengan teks dalil, sehingga harus ditolak dan dianggap tidak sah.

Jadi, jika kamu datang pada bulan Ramadhan dan mendapati orang-orang sedang melaksanakan shalat Tarawih sementara kamu belum melaksanakan shalat Isya, maka masuklah bersama mereka dengan niat shalat Isya. Jika kamu masuk pada rakaat pertama, maka setelah imam salam, shalatlah dua rakaat lagi untuk menyempurnakan empat rakaat. Jika kamu masuk pada rakaat kedua, maka setelah imam salam, shalatlah tiga rakaat lagi, karena kamu telah shalat satu rakaat bersama imam dan masih harus menyelesaikan tiga rakaat lagi.

Ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah Ta’ala, meskipun mazhabnya berbeda dalam hal ini. Namun, pendapat pribadi beliau adalah bahwa hal ini diperbolehkan.

Maka, kita dapat menyimpulkan sekarang:

🏀 Seseorang yang melaksanakan shalat fardhu di belakang orang yang juga melaksanakan shalat fardhu, diperbolehkan.

🏀 Seseorang yang melaksanakan shalat fardhu di belakang orang yang melaksanakan shalat sunah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

🏀 Seseorang yang melaksanakan shalat sunah di belakang orang yang melaksanakan shalat fardhu, diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama.

Apakah Jenis Shalat antara Imam dan Makmum Harus Sama?

Maksudnya, apakah shalat Dzuhur harus dilakukan bersama dengan Dzuhur, Ashar dengan Ashar, dan seterusnya, atau tidak?

Dalam hal ini juga terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa dua shalat tersebut harus sama jenisnya. Jadi, seseorang harus melaksanakan shalat Dzuhur di belakang orang yang melaksanakan shalat Dzuhur, melaksanakan shalat Ashar di belakang orang yang melaksanakan shalat Ashar, melaksanakan shalat Maghrib di belakang orang yang melaksanakan shalat Maghrib, melaksanakan shalat Isya di belakang orang yang melaksanakan shalat Isya, dan melaksanakan shalat Fajar di belakang orang yang melaksanakan shalat Fajar. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا جُعِلَ ٱلْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya imam diangkat untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihi imam.” (HR al-Bukhari)

Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada syarat khusus yang harus dipenuhi dalam hal ini. Oleh karena itu, diperbolehkan bagi seseorang untuk melaksanakan shalat Ashar di belakang imam yang sedang melaksanakan shalat Dzuhur, atau shalat Dzuhur di belakang imam yang sedang melaksanakan shalat Ashar, bahkan shalat Ashar di belakang imam yang sedang melaksanakan shalat Isya. Hal ini disebabkan karena kepemimpinan imam dalam situasi seperti ini tidak dipengaruhi oleh perbedaan jenis shalat. Jika seseorang diperbolehkan melaksanakan shalat fardhu di belakang imam yang juga sedang melaksanakan shalat fardhu, meskipun dengan hukum yang berbeda, maka perbedaan nama shalat tidak menjadi masalah. Pendapat ini dianggap lebih kuat.

Jika ada yang bertanya, “Aku datang untuk melaksanakan shalat Isya setelah adzan dikumandangkan. Namun ketika sedang shalat, aku teringat bahwa aku telah melaksanakan shalat Dzuhur tanpa wudhu. Bagaimana aku bisa melaksanakan shalat Dzuhur di belakang orang yang sedang melaksanakan shalat Isya?”

Katakan kepadanya, “Bergabunglah dengan imam dan laksanakanlah shalat Dzuhur. Kamu berniat untuk shalat Dzuhur, sedangkan imam berniat untuk shalat Isya. Hal ini tidak menjadi masalah, karena

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (pahala) sesuai dengan apa yang ia niatkan.’ (HR al-Bukhari dan Muslim)”

Sedangkan terkait sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya imam diangkat untuk diikuti, maka janganlah kalian berbeda dengannya,” tidak berarti kalian tidak boleh berbeda dalam niat. Nabi telah merinci maksudnya dengan bersabda,

إِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا

Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah; jika ia sujud, maka bersujudlah; dan jika ia bangkit, maka bangkitlah.” (bagian kedua dari hadis sebelumnya) Artinya, ikutilah imam dalam gerakan shalat dan jangan mendahuluinya. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saling menjelaskan antara satu bagian dengan bagian lainnya.

Pembahasan ini mengarah pada topik lain: Jika kedua shalat memiliki kesamaan dalam jumlah rakaat dan tata cara pelaksanaannya, maka tidak ada masalah, seperti dalam kasus shalat Dzuhur di belakang imam yang melaksanakan shalat Ashar. Jumlah rakaat dan tata cara keduanya sama, sehingga hal ini tidak menimbulkan keraguan atau masalah. Akan tetapi, jika terdapat perbedaan antara kedua shalat, misalnya makmum melaksanakan shalat dua rakaat sementara imam empat rakaat, atau sebaliknya; atau makmum melaksanakan tiga rakaat dan imam empat rakaat, atau sebaliknya, maka kami katakan: Jika shalat makmum lebih banyak rakaatnya, maka tidak ada masalah, seperti seseorang yang masuk masjid untuk melaksanakan shalat Maghrib. Ketika iqamat dikumandangkan, ia teringat bahwa ia telah melaksanakan shalat Ashar tanpa wudhu. Maka dalam hal ini, ia diwajibkan untuk melaksanakan shalat Ashar.

Katakan kepadanya, “Bergabunglah dengan imam dengan niat melaksanakan shalat Ashar. Setelah imam mengucapkan salam, tambahkan satu rakaat lagi untuk menyempurnakan empat rakaatmu. Ini tidak masalah.”

Jika shalat imam lebih banyak rakaatnya daripada shalat makmum, maka jika makmum masuk pada rakaat kedua atau setelahnya, tidak ada masalah. Namun, jika makmum masuk pada rakaat pertama, barulah muncul masalah. Contohnya, ketika kamu datang dan imam sedang melaksanakan shalat Isya—hal ini sering terjadi ketika shalat dijamak, seperti karena hujan. Jika seseorang datang dan mendapati mereka sedang berada di dua rakaat terakhir shalat Isya, katakan kepadanya, “Masuklah dengan niat melaksanakan shalat Maghrib, laksanakan dua rakaat, dan setelah imam mengucapkan salam, tambahkan satu rakaat lagi.” Ini tidak menimbulkan masalah.

Jika kamu datang dan mendapati mereka sedang melaksanakan shalat Isya, namun mereka berada di rakaat kedua, maka kami katakan, “Masuklah bersama mereka dengan niat shalat Maghrib, dan ucapkan salam bersama imam. Hal ini tidak menjadi masalah, karena kamu tidak menambah ataupun mengurangi rakaat.” Meskipun begitu, sebagian orang mungkin merasa ada keraguan dalam hal ini.

Mereka berkata, “Jika kamu bergabung dengan imam pada rakaat kedua, lalu duduk pada rakaat yang bagi imam adalah rakaat kedua, sedangkan bagi kamu adalah rakaat pertama, maka kamu telah duduk untuk tasyahud pada rakaat pertama.”

Katakan, “Hal ini tidak membahayakan. Bukankah jika kamu bergabung dengan imam pada shalat Dzuhur di rakaat kedua, imam akan duduk untuk tasyahud, meskipun bagimu itu adalah rakaat pertama? Ini sama, dan tidak ada masalah. Masalahnya hanya muncul jika kamu datang ke masjid dan mendapati mereka sedang melaksanakan shalat Isya di rakaat pertama, lalu kamu bergabung dengan mereka di rakaat pertama. Dalam situasi ini, kamu akan melaksanakan tiga rakaat bersama imam, dan kemudian imam akan bangkit untuk rakaat keempat. Apa yang harus kamu lakukan?”

Jika kamu bangkit bersama imam, maka kamu menambah satu rakaat, dan ini berarti kamu melaksanakan empat rakaat, padahal shalat Maghrib hanya tiga rakaat, bukan empat. Namun, jika kamu duduk, maka kamu tertinggal dari imam. Lalu, apa yang seharusnya kamu lakukan?

Katakan, “Duduklah, dan jika kamu berniat untuk menjamak shalat, niatkanlah untuk berpisah dari imam, bacalah tasyahud, dan ucapkan salam. Setelah itu, bergabunglah kembali dengan imam untuk menyelesaikan sisa shalat Isya, karena kamu masih dapat mengikutinya.”

Jika kamu tidak berniat untuk menjamak, atau termasuk di antara mereka yang tidak diperbolehkan menjamak, maka dalam keadaan ini kamu memiliki dua pilihan: Kamu bisa duduk untuk tasyahud dan menunggu imam sampai menyelesaikan rakaatnya, lalu bertasyahud dan mengucapkan salam bersamanya, atau kamu bisa berniat untuk shalat sendiri, lalu bertasyahud dan mengucapkan salam.

Pendapat yang kami sebutkan di atas adalah pendapat yang lebih kuat, dan ini merupakan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Niat untuk shalat sendirian dalam situasi ini dilakukan karena keadaan darurat, sebab seseorang tidak boleh menambah rakaat shalat Maghrib menjadi lebih dari tiga. Oleh karena itu, duduk dilakukan karena adanya kebutuhan syar’i, dan hal ini tidak mengapa.

Baca juga: IKHLAS DAN MENGHADIRKAN NIAT

Baca juga: DIWAJIBKANNYA SHALAT LIMA WAKTU

Baca juga: KEUTAMAAN SHALAT BERJAMAAH DI MASJID

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih Riyadhush Shalihin