RUKUN ISLAM – MENGUCAPKAN DUA KALIMAT SYAHADAT

RUKUN ISLAM – MENGUCAPKAN DUA KALIMAT SYAHADAT

Jibril berkata, “Jelaskanlah kepadaku tentang Islam.” Maksudnya, apa itu Islam? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Ini adalah Rukun Islam yang pertama, yaitu kamu bersaksi dengan lisanmu dan meyakini dengan hatimu bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Subahanahu wa Ta’ala. Artinya, hanya Allah yang berhak diibadahi dengan benar.

Uluhiyah Allah merupakan cabang dari rububiyah-Nya, karena barangsiapa menyembah Allah, berarti ia telah mengakui rububiyah-Nya. Sebab, sesembahan haruslah Rabb yang menciptakan, mengatur, dan memelihara. Sesembahan juga harus memiliki sifat-sifat yang sempurna. Oleh karena itu, orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla mengalami kekurangan besar dalam peribadatan mereka, karena mereka menyembah sesuatu yang kosong dan tidak memiliki makna yang hakiki.

Rabb harus memiliki sifat-sifat yang sempurna agar Dia dapat disembah sesuai dengan konsekuensi sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَا

Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu.” (QS al-A’raf : 180)

Perintah “berdoalah kepada-Nya” berarti sembahlah Dia dan bertawasullah dengan nama-nama-Nya untuk mencapai keinginan kalian. Maka, “doa” di sini mencakup dua jenis doa: doa permohonan (doa al-mas’alah) dan doa ibadah (doa al-’ibadah).

Yang penting adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah.” Artinya, tidak ada yang berhak disembah dari makhluk, baik itu malaikat yang dekat dengan Allah, nabi yang diutus, matahari, bulan, pohon, batu, daratan, lautan, wali, orang saleh, maupun syuhada. Tidak ada yang berhak disembah selain Allah semata.

Kalimat ini (laa ilaaha illallah) adalah pesan yang Allah sampaikan melalui semua rasul.

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Aku. Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’” (QS al-Anbiya: 25)

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu.’” (QS an-Nahl: 36)

Artinya, jauhilah kesyirikan.

Kalimat ini, jika seseorang mewujudkannya dengan sungguh-sungguh, mengucapkannya dari hati, dan berkomitmen terhadap apa yang dituntut darinya berupa iman dan amal saleh, maka dengan kalimat itu dia akan masuk Surga.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، دَخَلَ الجَنَّةَ

Barang siapa yang akhir ucapannya adalah ‘laa ilaaha illallah’, maka dia akan masuk Surga.” (HR Abu Dawud)

Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk di antara mereka.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah” berarti kamu bersaksi bahwa Muhammad bin Abdullah, dari Bani Hasyim dan keturunan Quraisy, seorang Arab, adalah utusan Allah. Beliau tidak menyebutkan rasul-rasul yang lain karena risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghapus semua agama sebelumnya. Segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantikan ajaran-ajaran yang datang sebelumnya. Maka, semua agama menjadi batal dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agama Yahudi menjadi batil, begitu pula agama Nasrani, dan keduanya tidak diterima oleh Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali lmran: 85)

Mereka bersusah payah dalam ibadah yang mereka ada-adakan dengan kelelahan yang luar biasa dan menghadapi kesulitan yang besar. Namun, semua itu sia-sia dan tidak bermanfaat bagi mereka sedikit pun, karena ibadah tersebut tidak akan diterima dari mereka.

Firman-Nya: “Dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” menunjukkan bahwa meskipun mereka meraih keuntungan di dunia, mereka tidak akan mendapatkan keuntungan di akhirat, karena agama mereka batil.

Orang-orang Nasrani yang saat ini mengklaim mengikuti Isa bin Maryam ‘alaihishshalatu wassalam adalah pendusta. al-Masih (Isa) berlepas diri dari mereka. Ketika al-Masih datang, dia akan memerangi mereka. Di akhir zaman, Isa akan turun dan tidak akan menerima agama selain Islam. Dia akan mematahkan salib, membunuh babi, dan menghapuskan jizyah, sehingga tidak ada yang diterima kecuali Islam.

Sabda beliau, “Dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah” berarti bahwa beliau diutus untuk seluruh makhluk, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

تَبَارَكَ ٱلَّذِى نَزَّلَ ٱلْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِۦ لِيَكُونَ لِلْعَٰلَمِينَ نَذِيرًا

Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (yaitu al-Qur’an) kepada hamba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS al-Furqan: 1)

Maksudnya, bagi seluruh manusia dan makhluk secara keseluruhan.

Allah Ta’ala juga berfirman:

قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا ٱلَّذِى لَهُۥ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْىِۦ وَيُمِيتُ ۖ فَـَٔامِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِ ٱلنَّبِىِّ ٱلْأُمِّىِّ ٱلَّذِى يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَكَلِمَٰتِهِۦ وَٱتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Dan ikutilah dia, supaya kalian mendapat petunjuk.” (QS al-A’raf: 158)

Dengan demikian, beliau adalah rasul yang diutus untuk seluruh makhluk.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah,

إِنَّهُ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ؛ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Sesungguhnya tidak ada seorang pun dari umat ini, baik Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentang aku dan kemudian meninggal tanpa beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, kita beriman dan meyakini bahwa semua orang Nasrani, Yahudi, dan selain mereka dari kalangan orang kafir, adalah penghuni Neraka, karena ini adalah kesaksian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Surga diharamkan bagi mereka karena mereka adalah orang-orang kafir, musuh Allah Ta’ala dan para rasul-Nya ‘alaihimushshalatu wassalam. Mereka adalah musuh Ibrahim, Nuh, Muhammad, Musa, Isa, dan semua rasul ‘alaihimushshalatu wassalam.

Sabda beliau, “Engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah” bersamaan dengan “dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah” mengandung dua syarat ibadah, yaitu: keikhlasan kepada Allah dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, barang siapa mengatakan “laa ilaaha illallah” berarti ia telah mengikhlaskan ibadahnya hanya kepada Allah, dan barang siapa bersaksi bahwa “Muhammad adalah utusan Allah” berarti ia mengikuti Rasulullah dan tidak mengikuti selainnya. Oleh karena itu, kedua kalimat ini dianggap sebagai satu rukun dari rukun-rukun Islam, karena keduanya merujuk pada satu tujuan, yaitu memperbaiki ibadah. Sebab, ibadah tidak akan sah kecuali berdasarkan dua syahadat ini: syahadat bahwa tidak ada ilah selain Allah, yang dengannya seseorang mencapai keikhlasan, dan syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yang dengannya seseorang mencapai ittiba’ (mengikuti) Rasulullah.

Sabda beliau “dan Muhammad adalah utusan Allah” berarti kamu bersaksi dengan lisan dan meyakini dengan hati bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Beliau diutus kepada seluruh alam sebagai rahmat bagi semua makhluk, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS al-Anbiya: 107)

Kamu juga harus meyakini bahwa beliau adalah penutup para nabi, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّۦنَ

Muhammad sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian. Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS al-Ahzab: 40)

Tidak ada nabi setelah beliau. Barang siapa mengaku sebagai nabi setelah beliau, dia seorang kafir dan pendusta. Barang siapa mempercayainya, dia seorang kafir.

Konsekuensi dari syahadat ini adalah mengikuti beliau dalam syariat dan sunahnya, serta tidak menambah-nambah dalam agamanya sesuatu yang bukan darinya. Oleh karena itu, kami mengatakan: Sesungguhnya para pelaku bid’ah yang mengada-adakan sesuatu dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bukan berasal darinya, mereka belum merealisasikan syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah, meskipun mereka mengklaim mencintai dan mengagungkannya. Seandainya mereka benar-benar mencintainya dengan sepenuh cinta dan menghormatinya dengan sepenuh penghormatan, mereka tidak akan mendahului beliau, dan tidak akan memasukkan sesuatu ke dalam syariatnya yang bukan bagian darinya. Maka, hakikat dari bid’ah adalah bentuk penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seolah-olah pelaku bid’ah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan agama dan syariat, karena masih ada agama dan syariat yang beliau belum sampaikan.”

Selanjutnya, dalam bid’ah terdapat bahaya lain yang sangat besar, yaitu bahwa bid’ah mengandung pendustaan terhadap firman Allah Ta’ala:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ

Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian.” (QS al-Ma’idah: 3)

Hal itu karena jika Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama, maka itu berarti tidak ada agama lagi setelah apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, para pelaku bid’ah telah membuat syariat dalam agama Allah yang bukan darinya, seperti berbagai bacaan tasbih, tahlil, gerakan, dan lainnya. Maka, sesungguhnya mereka, pada hakikatnya, mendustakan makna dari firman Allah Ta’ala: “Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian.”

Demikian pula, para pelaku bid’ah sebenarnya mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menuduh beliau tidak menyempurnakan syariat bagi umat manusia, padahal beliau terbebas dari tuduhan tersebut.

Di antara kesempurnaan syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah adalah membenarkan segala yang beliau kabarkan. Maka, setiap yang sahih dari beliau wajib kamu percayai, dan jangan menentangnya dengan akalmu, perkiraanmu, atau bayanganmu. Sebab, jika kamu hanya beriman kepada apa yang disetujui oleh akalmu, maka kamu belum benar-benar beriman, melainkan mengikuti hawa nafsumu, bukan petunjuk. Orang yang benar-benar beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berkata terhadap setiap berita yang sahih dari beliau, “Kami dengar, kami taati, dan kami percaya.”

Adapun seseorang yang berkata, “Mengapa begini? Bagaimana bisa begitu?” Maka, orang tersebut belum benar-benar beriman. Oleh karena itu, dikhawatirkan terhadap orang-orang yang menjadikan akal mereka sebagai hakim atas apa yang dikabarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika mereka hanya menerima apa yang sesuai dengan akal mereka — padahal akal mereka terbatas — maka mereka belum benar-benar beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belum merealisasikan syahadat bahwa beliau adalah utusan Allah secara hakiki. Mereka memiliki kelemahan dalam syahadat ini sebesar keraguan yang ada dalam diri mereka terhadap apa yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian pula, salah satu bentuk merealisasikan syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah adalah tidak berlebihan dalam memuliakannya hingga mengangkatnya ke derajat yang lebih tinggi dari yang Allah tetapkan, seperti meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menghilangkan bahaya, bahkan sampai meminta langsung kepada beliau di sisi kubur beliau untuk menghilangkan bahaya dan mendatangkan manfaat. Ini adalah bentuk pengagungan yang berlebihan terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan kesyirikan terhadap Allah Azza wa Jalla. Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya tidak memiliki kemampuan untuk melakukan apa pun bagi dirinya sendiri. Bahkan, ketika terjadi kekeringan pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, para sahabat tidak datang ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta hujan atau memohon beliau berdoa kepada Allah. Sebaliknya, Umar berdoa, “Ya Allah, dahulu kami bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Engkau memberi kami hujan. Kini kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami.” (HR al-Bukhari) Lalu Umar meminta Abbas untuk berdiri dan memohon kepada Allah agar menurunkan hujan.

Kenapa demikian? Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. Tidak ada lagi amal bagi beliau setelah wafat.

Beliau bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memiliki kuasa untuk memberikan manfaat atau mendoakanmu saat beliau berada di dalam kuburnya. Maka, siapa pun yang menempatkan beliau di atas kedudukan yang Allah tetapkan, sesungguhnya ia belum merealisasikan syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Bahkan, orang tersebut seakan-akan telah bersaksi bahwa Muhammad adalah tuhan bersama Allah — na’udzu billah. Sebab, makna Rasulullah adalah bahwa beliau seorang hamba yang tidak disembah dan seorang Rasul yang tidak didustakan. Kita dalam shalat kita setiap hari mengucapkan: “Aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Beliau adalah seorang hamba seperti hamba-hamba yang lain, yang berada di bawah kekuasaan Allah, dan Allah-lah yang disembah, Dia-lah Tuhan yang Mahaagung dan Dialah Rabb. Oleh karena itu, kami katakan kepada orang-orang yang berlebihan dalam mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menempatkan beliau di atas kedudukan yang Allah tetapkan: Sesungguhnya kalian belum merealisasikan syahadat Laa ilaaha illallah maupun syahadat Muhammadun Rasulullah.

Intinya, kedua syahadat ini memiliki kedudukan yang agung. Seluruh ajaran Islam bertumpu pada keduanya. Oleh karena itu, jika seseorang ingin berbicara tentang apa yang berkaitan dengan kedua syahadat ini, baik dari segi lafaz, pemahaman, makna, maupun isyaratnya, ia akan memerlukan waktu yang lama, bahkan berhari-hari. Namun, kami hanya memberikan isyarat singkat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keduanya, dan kami memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikannya dalam keyakinan, ucapan, dan perbuatan.

Baca juga: MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH

Baca juga: MAKNA ‘MUHAMMAD RASULULLAH’

Baca juga: IKHLAS DALAM BERAMAL DAN MENAFKAHKAN HARTA

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Akidah Riyadhush Shalihin