TIDAK ADA HIJRAH SETELAH PENAKLUKAN MAKKAH

TIDAK ADA HIJRAH SETELAH PENAKLUKAN MAKKAH

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‏لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا‏

Tidak ada hijrah setelah penaklukan (Makkah), tetapi jihad dan niat tetap ada. Jika kalian diminta untuk berangkat (berperang), maka berangkatlah.” (Muttafaqun ‘alaih).

PENJELASAN

Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan hijrah setelah penaklukan (Makkah). Beliau bersabda, “Tidak ada hijrah.” Penafian ini tidak bersifat umum, artinya hijrah tidak dibatalkan dengan penaklukan, tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

لَا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ، وَلَا تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Hijrah tidak akan terputus sampai tobat terputus, dan tobat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari barat.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad)

Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi yang dimaksud dengan penafian hijrah di sini adalah penafian hijrah dari Makkah, karena Makkah setelah penaklukan menjadi negeri Islam dan tidak akan kembali menjadi negeri kafir. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan adanya hijrah setelah penaklukan.

Awalnya Makkah berada di bawah kekuasaan kaum musyrikin. Mereka mengusir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sana. Beliau hijrah atas izin Rabb-nya ke Madinah. Setelah delapan tahun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Makkah sebagai penakluk yang menang dan diberi kemenangan. Shalawat dan salam atasnya. Maka, Makkah yang dulunya negeri kafir telah menjadi negeri iman dan negeri Islam. Tidak ada hijrah darinya setelah itu.

Dalam hal ini terdapat bukti bahwa Makkah tidak akan kembali menjadi negeri kafir. Makkah akan tetap menjadi negeri Islam sampai Hari Kiamat atau sampai Allah menghendakinya.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tetapi jihad dan niat tetap ada.” Yaitu, setelah perkara ini adalah jihad, yaitu penduduk Makkah keluar dari Makkah untuk berjihad. Niat yang dimaksud adalah niat yang baik untuk berjihad di jalan Allah, yaitu dengan berniat bahwa tujuan dari jihadnya adalah untuk meninggikan kalimat Allah yang Maha Tinggi.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian diminta untuk berangkat, maka berangkatlah.” Artinya, jika pemimpin kalian memerintahkan kalian untuk berjihad di jalan Allah, maka berangkatlah dengan segera dan penuh semangat. Ketika jihad menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individu), maka ketika itu manusia harus berangkat berjihad. Tidak seorang pun boleh tinggal kecuali dengan izin Allah, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلْتُمْ إِلَى ٱلْأَرْضِ ۚ أَرَضِيتُم بِٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا مِنَ ٱلْءَاخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا فِى ٱلْءَاخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ إِلَّا تَنفِرُوا۟ يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيْـًٔا

Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan akan menggantikan kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi mudarat kepada-Nya sedikitpun.” (QS at-Taubah: 38-39)

Ini adalah keadaan pertama di mana jihad menjadi fardhu ‘ain.

Keadaan kedua adalah jika musuh mengepung sebuah negeri, yaitu musuh datang hingga sampai ke negeri itu dan mengepung negeri itu, maka jihad menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individu). Wajib bagi setiap orang untuk berperang, bahkan bagi perempuan dan orang tua yang mampu dalam keadan ini, karena ini adalah pertempuran untuk mempertahankan diri.

Ada perbedaan antara pertempuran untuk mempertahankan diri dan pertempuran untuk menyerang. Maka dalam keadaan ini, semua orang wajib berangkat untuk mempertahankan negeri mereka.

Keadaan ketiga adalah ketika dua barisan telah berhadapan; barisan kaum kafir dan barisan kaum muslimin, maka jihad menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individu), dan tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk mundur, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلْأَدْبَارَ وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُۥٓ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِّقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٍ فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأْوَىٰهُ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu lari membelakangi mereka. Barangsiapa lari di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah Neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS al-Anfal: 15-16)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan berpaling di hari pertempuran sebagai salah satu dari tujuh dosa besar yang membinasakan.

Keadaan keempat adalah jika seorang individu diperlukan, yaitu jika ada senjata yang tidak dikenal kecuali oleh satu individu, dan orang-orang membutuhkan orang tersebut, maka dia harus menggunakan senjata baru ini. Dalam keadaan seperti ini, wajib baginya untuk berjihad meskipun imam tidak memintanya untuk pergi, karena dia sangat diperlukan.

Maka dalam empat keadaan ini, jihad menjadi fardhu ‘ain. Selain dari itu, jihad adalah fardhu kifayah.

Para ulama berkata, “Wajib bagi kaum muslimin untuk berjihad setidaknya sekali dalam setahun melawan musuh-musuh Allah agar kalimat Allah yang Maha Tinggi menjadi tegak. Mereka tidak berperang untuk mempertahankan tanah air mereka hanya karena itu adalah tanah air mereka, karena mempertahankan tanah air dalam konteks ini adalah tujuan yang sama bagi orang mukmin maupun kafir; bahkan orang kafir pun mempertahankan tanah air mereka. Namun, seorang muslim mempertahankan agama Allah dengan membela tanah airnya, bukan karena tanah air itu sendiri, tetapi karena tanah air tersebut adalah negeri Islam. Oleh karena itu, ia membela tanah airnya untuk melindungi Islam yang ada di negeri tersebut.

Oleh karena itu, dalam situasi yang kita hadapi saat ini, kita harus mengingatkan semua orang bahwa seruan untuk membebaskan tanah air dan seruan serupa lainnya adalah tidak tepat. Sebaliknya, harus dikatakan kepada orang-orang bahwa kita berperang demi agama kita di atas segalanya, karena negeri kita adalah negeri yang beragama. Negeri Islam membutuhkan perlindungan dan pembelaan dengan niat tersebut. Adapun pembelaan dengan niat nasionalisme atau kebangsaan, maka itu sama saja bagi orang mukmin maupun kafir, dan tidak bermanfaat bagi pemiliknya pada Hari Kiamat, karena niat tersebut bukanlah niat syahid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang seseorang yang berperang dengan berani, berperang dengan fanatisme, dan berperang untuk menunjukkan tempatnya (riya), manakah di antara mereka yang berada di jalan Allah? Beliau bersabda,

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Barangsiapa berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka dia berada di jalan Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Perhatikan syarat ini: “Barangsiapa berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi,” bukan karena tanah airnya. Jika kamu berperang untuk tanah airmu, maka kamu dan orang kafir sama saja. Tetapi, berperanglah agar kalimat Allah menjadi tinggi, dimana hal itu tercermin dalam negerimu, karena negerimu adalah negeri Islam, maka dalam keadaan ini, berperanglah di jalan Allah.

Telah diriwayatkan darinya shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

لَا يُكْلَمُ أَحَدٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِهِ – إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ: اللَّوْنُ لَوْنُ الدَّمِ، وَالرِّيحُ رِيحُ الْمِسْكِ

Tidak seorang pun terluka di jalan Allah -dan Allah lebih mengetahui siapa yang terluka di jalan-Nya- kecuali ia akan datang pada Hari Kiamat dengan luka yang mengalirkan darah. Warna (darahnya) adalah warna darah, tetapi baunya adalah bau minyak kasturi.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Perhatikanlah, bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan syarat bagi syahadah (kesyahidan), yaitu seseorang berperang di jalan Allah, dan berperang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat Allah yang Maha Tinggi.

Para ulama harus menjelaskan kepada orang-orang bahwa berperang demi tanah air tidaklah benar kecuali berperang untuk meninggikan kalimat Allah Yang Maha Tinggi. Oleh karena itu, ketika seseorang mengatakan bahwa dia berperang demi tanah airnya karena tanah airnya adalah negeri Islam, maka dia sebenarnya berperang untuk melindungi Islam dan melawan musuh-musuh Islam. Jadi niatnya harus benar, yaitu berperang untuk meninggikan kalimat Allah Yang Maha Tinggi, melawan musuh-musuhnya dan musuh-musuh Islam.

Wallahu a’lam.

Baca juga: MEMBANTU ORANG LAIN DALAM KETAATAN KEPADA ALLAH

Baca juga: DUA ORANG YANG SALING MEMBUNUH

Baca juga: MACAM-MACAM HIJRAH

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Akidah Riyadhush Shalihin