TIBA DI MADINAH

TIBA DI MADINAH

Orang-orang Anshar yang mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan Makkah untuk hijrah ke Madinah pergi ke al-Harrah sejak pagi setiap hari untuk menyambut beliau. Ketika panas terasa sangat menyengat, mereka kembali ke rumah masing-masing.

Pada hari Senin tangggal dua belas Rabi’ul Awwal tahun keempatbelas kenabian, yang merupakan tahun pertama Hijriah dan bertepatan dengan tanggal 23 September 620 Masehi, mereka keluar rumah seperti biasanya. Ketika panas sangat menyengat mereka pun kembali ke rumah masing-masing. Ketika seorang laki-laki Yahudi memanjat salah satu pagar di Madinah untuk suatu keperluan, ia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rombongannya.

Ia berteriak sekeras-kerasnya, “Wahai orang-orang Arab, itulah orang yang tengah kalian tunggu!”

Segera kaum muslimin keluar rumah untuk menyambut Rasulullah di depan al-Harrah. Teriakan dan takbir membahana dari pemukiman Bani Amru bin Auf. Kaum muslimin yang lain pun bertakbir. Mereka bergembira dengan kedatangan beliau. Mereka menemui dan mengucapkan salam kenabian kepada beliau.

Sebagian dari mereka yang belum pernah bertemu dengan Rasulullah memberi salam kepada Abu Bakr. Mereka mengira bahwa Abu Bakr adalah Rasulullah. Karena panas semakin menyengat, Abu Bakr bangkit dan menaungi Rasulullah dengan sorbannya. Ketika itulah orang-orang itu menyadari kekeliruan mereka. Mereka berkumpul di sekeliling beliau dan memerhatikan beliau dengan seksama, sementara beliau tetap tenang.

Kemudian wahyu turun kepada beliau:

 فَاِنَّ اللّٰهَ هُوَ مَوْلٰىهُ وَجِبْرِيْلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ بَعْدَ ذٰلِكَ ظَهِيْرٌ

Sesungguhnya Allah menjadi pelindungnya. Demikian pula Jibril dan orang-orang mukmin yang saleh. Selain itu, malaikat-malaikat juga ikut menolong.” (QS at-Tahrim: 4)

Para perempuan, pelayan, dan anak-anak bersorak-sorai, “Muhammad telah datang! Rasulullah telah datang! Allah Mahabesar! Muhammad telah datang!”

Mereka menyenandungkan syair:

Telah terbit purnama kepada kami

Dari Tsaniyatul Wada’

Wajib bagi kita untuk bersyukur

Karena adanya seorang dai yang menyeru kepada Allah

Dari al-Harrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Quba. Di sana Rasulullah beristirahat di Bani Amru bin Auf dari Aus, yaitu di rumah Kultsum bin al-Hidm. Beliau tinggal sementara di sana selama empat belas malam. Di Quba beliau mendirikan masjid Quba. Masjid itu merupakan masjid pertama yang didirikan Rasulullah setelah hijrah.

Setelah itu, dengan perintah dari Allah Ta’ala Rasulullah melanjutkan perjalanan. Abu Bakr membonceng di belakang beliau. Beliau mengirim pesan kepada Bani an-Najjar, paman-pamannya. Mereka berdatangan dengan menghunus pedang-pedang mereka.

Sebelum memasuki kota Madinah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salat Jumat di Bani Salim bin Auf. Beliau mengumpulkan kaum muslimin di masjid yang berada di tengah lembah itu. Saat itu mereka berjumlah seratus orang. Salat Jumat itu adalah salat Jumat pertama yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.

Setelah salat Jumat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki kota Madinah. Suasana kota penuh kegembiraan. Setiap kali beliau melewati rumah orang-orang Anshar, penghuninya memegangi tali kekang unta yang beliau tunggangi sambil berkata, “Tinggallah di tempat kami yang banyak penduduknya, lengkap peralatannya, penuh kedamaian dan terlindungi!”

Beliau merespons permintaan mereka dengan berkata, “Biarkan unta ini berjalan, karena sesungguhnya ia telah diperintah!

Unta itu terus berjalan hingga tiba di suatu tempat yang di kemudian hari dibangun masjid Nabawi. Unta itu duduk, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak turun hingga unta itu berjalan sedikit. Unta itu menoleh dan berjalan kembali ke tempat pertama, kemudian duduk. Beliau pun turun. Tempat itu berada di tanah milik Bani an-Najjar, di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari.

Abu Ayyub segera mengambil perbekalan Rasulullah dan membawanya ke rumahnya.

Rasulullah berkata, “Seseorang harus membawa barang-barangnya sendiri.”

As’ad bin Zurarah mengambil unta beliau.

Rasulullah tinggal di lantai bawah rumah Abu Ayyub, sementara Abu Ayyub berada di lantai atas.

Suatu malam Abu Ayyub tersadar dan berkata, “Kita berjalan di atas kepala Rasulullah.”

Maka mereka pun bergeser ke bagian pinggir.

Pagi harinya ia meminta Rasulullah pindah ke lantai atas.

Rasulullah berkata, “Lantai bawah lebih baik.”

Abu Ayyub berkata, “Aku tidak bisa tinggal di loteng yang ada engkau di bawahnya.”

Rasulullah pun pindah ke lantai atas, dan Abu Ayyub turun ke lantai bawah.

Abu Ayyub selalu membuat makanan untuk Rasulullah. Setiap kali piring makan beliau dikembalikan setelah makan, Abu Ayyub bertanya tentang jejak jari-jari beliau di piring tersebut. Setelah mengetahuinya, ia pun mengikuti jejak jari-jari di piring tersebut.

Suatu hari ia membuatkan makanan yang mengandung bawang putih. Ketika piringnya dikembalikan, ia bertanya tentang bekas jari-jari Rasulullah. Dikatakan kepadanya bahwa beliau belum makan. Ia terkejut dan segera ke atas menemui Rasulullah.

Abu Ayyub bertanya, “Apakah makanan ini haram?”

Rasulullah menjawab, “Tidak! Namun aku tidak menyukainya.”

Hal itu karena Rasulullah senantiasa didatangi oleh malaikat. Dan malaikat terganggu dengan bau yang mengganggu manusia.

Abu Ayyub berkata, “Aku tidak akan menyukai apa yang engkau tidak sukai.”

Suatu hari ketika bejana air milik Abu Ayyub yang saat itu masih berada di lantai atas pecah, ia dan istrinya Ummu Ayyub segera mengeringkan air tumpahan dengan satu-satunya selimut yang mereka miliki. Mereka khawatir air itu merembes dan mengenai Rasulullah di lantai bawah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di rumah Abu Ayyub selama sebulan.

Tidak satu malam pun berlalu melainkan di depan pintu rumah yang ditinggali Rasulullah terdapat tiga atau empat sahabat Anshar. Mereka bergantian membawakan makanan untuk beliau hingga beliau pindah dari rumah Abu Ayyub ke rumahnya sendiri.

Sementara itu, Abu Bakr tinggal di rumah Habib. Ada juga yang mengatakan bahwa ia tinggal di rumah Khubaib bin Yusaf di as-Sinah, dan yang lain mengatakan di rumah Kharijah bin Zaid.

Baca sebelumnya: BERTEMU BANI ASLAM

(Prof Dr Mahdi Rizqullah Ahmad)

Kisah