Setelah membaca doa istiftah, orang yang salat selanjutnya membaca ta’awwudz, yaitu mengucapkan,
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku berlindung kepada Allah dari (gangguan) setan yang terkutuk.”
atau
أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
“Aku berlindung kepada Allah yang Mahamendengar dan Mahamengetahui dari (gangguan) setan yang terkutuk, dari bisikan, tiupan, dan gangguannya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah. al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan.)
Atau membaca,
أَعُوذُ بِا السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku berlindung kepada Zat yang Mahamendengar dan Mahamengetahui dari (gangguan) setan yang terkutuk.”
Membaca ta’awwudz adalah untuk membaca al-Qur’an, dan bukan untuk salat. Jika ta’awwudz untuk salat, pasti diucapkan setelah takbiratul ihram atau sebelum takbiratul ihram.
Allah Ta’ala berfirman:
فَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ
“Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca al-Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS an-Nahl: 98)
Faedah membaca ta’awwudz adalah agar setan jauh dari hati orang yang membaca Kitabullah sehingga ia dapat menadaburinya, memahami maknanya, dan mengambil manfaat darinya.
Tentu terdapat perbedaan antara membaca al-Qur’an dengan menghadirkan hati dan membaca al-Qur’an dengan hati yang lalai. Jika kamu membaca al-Qur’an dengan menghadirkan hati, maka kamu dapat memahami makna-maknanya dan mengambil manfaat darinya; tidak seperti ketika kamu membacanya dengan hati yang lalai. Cobalah, niscaya kamu akan mendapatkan perbedaannya. Oleh karena itu, disyariatkan mendahukukan bacaan ta’awwudz ketika hendak membaca al-Qur’an di dalam salat maupun di luar salat. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa membaca ta’awwudz ketika hendak membaca al-Qur’an adalah wajib, karena Allah Ta’ala berfirman:
فَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ
“Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca al-Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS an-Nahl: 98)
Arti “Aku berlindung kepada Allah’ adalah aku bersandar dan berpegang pada kekuasaan Allah, karena Allah adalah Zat memohon kebaikan dan Zat memohon perlindungan.
Setan adalah satu kata jenis yang mencakup segala jenis setan. Ia mencakup setan utama, yaitu setan yang diperintahkan oleh Allah untuk bersujud kepada Adam ‘alaihissalam, tetapi tidak mau bersujud; juga mencakup anak keturunan setan.
Kata ‘setan’ diambil dari kata syathana, yang artinya jauh, karena setan amat jauh dari rahmat Allah. Allah melaknat, mengusir, dan menjauhkannya dari rahmat-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ini diambil dari kata syatha idza ghadhiba (Ia nekat bila marah), sebab karakter setan adalah selalu nekat, marah, sombong, dan tergesa-gesa. Oleh karena itu, ia tidak dapat menerima perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Bahkan ia menolaknya dan mengingkari keharusan bersujud.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ قَالَ ءَاَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِيْنًا
“Dan (ingatlah) tatkala Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian semua kepada Adam,’ lalu mereka sujud kecuali Iblis. Ia berkata, ‘Apakah aku harus bersujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?’” (QS al-Isra’ : 61)
Bagaimana pun juga setan selalu berusaha merusak salat seseorang. Ia mendatangi orang yang sedang salat melalui segala jalan. Kalau jalan yang satu tertutup, ia segera membuka jalan yang lain. Jika jalan itu tertutup juga, ia pun segera membuka jalan lainnya. Demikianlah seterusnya. Oleh sebab itu, seseorang disyariatkan untuk meminta perlindungan dari godaan setan yang terkutuk sejak awal salat dan sebelum membaca ayat untuk mengusir setan.
Makna “setan yang terkutuk” adalah:
♦ Setan marjum dengan laknat Allah, terusir, dan dijauhkan dari rahmat-Nya,
♦ Setan rajim, yaitu menyebabkan manusia terkutuk dengan perbuatan-perbuatan maksiat, karena setan mendorong pelaku maksiat untuk selalu berbuat maksiat.
Setelah membaca ta’awwudz, orang yang salat membaca basmalah, yaitu
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang.”
Basmalah biasanya terkait dengan sesuatu. Pendapat yang paling bagus mengenai sesuatu itu adalah kata kerja yang tidak disertakan sesudahnya, yang disesuaikan dengan alur kalimat. Kalau kamu mengucapkan basmalah untuk membaca, maka seolah-olah kamu mengatakan, ‘Dengan nama Allah aku membaca’. Kalau kamu mengucapkan basmalah sebelum makan, maka seolah-olah artinya, ‘Dengan nama Allah aku makan’. Kalau kamu hendak minum, maka seolah-olah artinya ‘Dengan nama Allah aku minum’. Kalau untuk wudu, ‘Dengan nama Allah aku berwudu’.
Dalam salat kita membaca basmalah untuk membaca al-Fatihah, sehingga seolah-oleh kita mengucapkan, ‘Dengan nama Allah aku membaca’.
Adapun lafaz ‘Allah’ adalah Rabb yang diibadahi dengan penuh kecintaan dan pengagungan.
Lafaz ‘ar-Rahman’ adalah salah satu nama Allah. Namun dari sisi i’rab ia adalah sifat. Artinya adalah Zat yang memiliki rahmat yang luas dan tersampaikan kepada seluruh makhluk.
Lafaz ‘ar-Rahim’ memiliki timbangan fa’il yang diambil dari kata rahmah. Akan tetapi, perbuatan lebih diperhatikan pada kata ini daripada sifat. Sebab rahmat adalah sifat, sedangkan perbuatannya adalah menyampaikan rahmat kepada yang dirahmati.
Dalam salat jahriyyah yang bacaannya dibaca keras, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca basmalah secara perlahan. Sedangkan dalam salat sirriyyah yang bacaannya dibaca perlahan, sudah pasti beliau membaca basmalah secara perlahan.
Arti perlahan adalah tidak terdengar oleh makmum, meskipun bacaan sesudahnya dibaca dengan keras. Hal itu karena kebanyakan hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa beliau membaca basmalah secara perlahan. (Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari beberapa jalan dengan lafaz yang berbeda-beda. Dua di antaranya adalah:
1. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar mengawali bacaan salat mereka dengan membaca ‘al-Hamdu lillahi rabbil ‘aalamiin’. (HR al-Bukhari dan Muslim)
2. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami salat, dan tidak sedikit pun kami mendengar beliau membaca ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim’. Demikian pula Abu Bakr dan Umar mengimami salat. Kami tidak mendengar bacaan itu dari keduanya. (Diriwayatkan oleh an-Nasa-i dengan sanad yang sahih)
Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa semua hadis yang menyebutkan bahwa beliau membaca basmalah dengan keras adalah lemah.
Basmalah adalah ayat tersendiri yang digunakan sebagai pembuka bacaan setiap surat dalam al-Qur’an, kecuali surat at-Taubah. Tidak adanya basmalah pada surat at-Taubah adalah berkat ijtihad para sahabat radhiyallahu ‘anhuma. Tidak diragukan bahwa ijtihad itu didasari oleh tauqif (dasar yang baku). Kalau memang ayat basmalah diturunkan antara surat al-Anfal dan surat at-Taubah, tentu basmalah dicantumkan sebelum surat at-Taubah, karena Allah Ta’ala berfirman:
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ
“Sesungguhnya Kami–lah yang menurunkan al–Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS al-Hijr: 9)
Ketika basmalah tidak tercantum padanya, maka diketahui bahwa ijtihad para sahabat radhiyallahu ‘anhuma telah sesuai dengan kenyataan yang ada.
Dalil yang menunjukkan bahwa basmalah bukan bagian dari surat al-Fatihah adalah riwayat sahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا، قَالَ الْعَبْدُ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Allah berfirman, ‘Aku membagi salat antara Aku dan hamba–Ku menjadi dua bagian, dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia minta. Apabila hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,’ maka Allah Ta’ala berkata, ‘Hamba–Ku memuji–Ku.’ Apabila hamba mengucapkan, ‘Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang,’ maka Allah Ta’ala berkata, ‘Hamba–Ku memuji–Ku.’ Apabila hamba mengucapkan, ‘Pemilik Hari Kiamat,’ maka Allah berkata, ‘Hamba–Ku memuliakan-Ku.’ Selanjutnya Dia berkata, ‘Hamba–Ku menyerahkan urusannya kepada–Ku.’ Apabila hamba mengucapkan, ‘Hanya kepada–Mulah aku menyembah dan hanya kepada–Mulah aku memohon pertolongan,’ maka Allah berkata, ‘Ini antara Aku dan hamba–Ku. Dan hamba–Ku mendapatkan apa yang ia minta.’ Apabila hamba mengucapkan, ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.’ Allah berkata, ‘Ini untuk hambaKu, dan hambaKu mendapatkan apa yang ia minta.’” (HR Muslim)
Baca juga: TAKBIR DALAM SALAT
Baca juga: MENGANGKAT KEDUA TANGAN KETIKA BERTAKBIR
Baca juga: MELETAKKAN TANGAN KANAN DI ATAS TANGAN KIRI
Baca juga: MELIHAT KE TEMPAT SUJUD
Baca juga: MEMBACA DOA ISTIFTAH
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)