SYARAT-SYARAT DIPERBOLEHKANNYA TAYAMUM

SYARAT-SYARAT DIPERBOLEHKANNYA TAYAMUM

Tayamum diperbolehkan dengan syarat-syarat berikut:

1. Adanya Penghalang dalam Penggunaan Air

Penghalang dalam penggunaan air adalah:

a. Tidak ada air

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا

Lalu kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah.” (QS al-Ma’idah: 6)

b. Ada air, tapi air itu diperlukan untuk minum atau masak

Jika air yang tersedia digunakan untuk bersuci, maka kebutuhan seseorang tidak akan terpenuhi. Dia khawatir dirinya akan kehausan, begitu juga dengan orang lain dan hewan peliharaannya. Dalam keadaan demikian, dia diperbolehkan bertayamum.

c. Ada air, tetapi air itu dikhawatirkan akan membahayakan tubuhnya jika digunakan untuk bersuci, baik berupa penyakit atau tertundanya kesembuhan.

Dalam keadaan demikian dia diperbolehkan bertayamum. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS al-Ma’idah: 6)

d. Orang yang ingin bersuci tidak mampu menggunakan air karena sedang sakit yang menyebabkan dia tidak dapat bergerak, dan tidak seorang pun membantunya untuk berwudhu. Kemudian, dia khawatir waktu shalat akan habis. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertayamum

e. Orang yang ingin bersuci khawatir kedinginan bila menggunakan air dan tidak memiliki sesuatu yang dapat menghangatkan tubuhnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertayamum. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah membunuh dirimu.” (QS an-Nisa’: 29)

Apabila seorang muslim mendapatkan air yang hanya cukup untuk sebagian dari kebutuhan bersucinya, maka dia tetap menggunakan air itu pada anggota wudhu atau bagian tubuh yang memungkinkan, sementara sisanya dilengkapi dengan bertayamum. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS at-Taghabun: 16)

Apabila pada tubuh seseorang terdapat luka yang membahayakan jika dibasuh atau diusap dengan air, maka dia cukup bertayamum untuk bagian yang terluka tersebut, dan membasuh bagian tubuh lainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

 وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah membunuh dirimu.” (QS an-Nisa’: 29)

Jika lukanya tidak berbahaya bila diusap, maka hendaklah dia mengusap pembalut luka yang menutupinya dengan air. Hal itu sudah cukup mewakili tayamum.

2. Masuk Waktu Shalat

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bumi dijadikan bagiku sebagai masjid dan sesuatu yang menyucikan. Kapan saja aku bertemu dengan waktu shalat, aku bertayamum dan shalat.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad)

Dan dari Abu Umamah radhiyallalhu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bumi dijadikan seluruhnya bagiku dan umatku sebagai masjid dan sesuatu yang menyucikan. Siapa pun dari umatku bertemu dengan waktu shalat, maka di sanalah masjidnya (tempat shalatnya) dan di sana pula tempat bersuci.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Baihaqi. Lihat al-Irwa’)

Mereka yang mensyaratkan harus masuk waktu shalat untuk tayamum adalah Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada syarat untuk itu, dan pendapat ini diunggulkan oleh asy-Syaukani dalam Nailul Authar.

Maksud hadis, “Siapa pun dari umatku bertemu dengan waktu shalat,” adalah siapa pun dari umatku yang bertemu dengan waktu shalat sedangkan ia tidak dalam keadaan suci. Berdasarkan hal ini, apabila seseorang masih memiliki tayamum lalu tiba waktu shalat berikutnya, maka ia boleh melaksanakan shalat dengan tayamum yang pertama. Pendapat ini dianggap sebagai pendapat yang unggul.

3. Tanah (debu) yang baik

Tanah (debu) yang digunakan harus tanah (debu) yang baik, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا

Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS al-Ma’idah: 6)

Ulama berbeda pendapat tentang makna ash-sha’id ath-thayyib (tanah yang baik). asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud adalah debu tanah. Sedangkan Malik, Abu Hanifah, Atha’, al-Auza’i, dan ats-Tsauri berpendapat bahwa tayamum sah dengan tanah dan apa saja yang ada di atasnya.

Menurutku, pendapat yang kedua adalah pendapat yang unggul.

Di dalam al-Qamus dan kitab-kitab lughah lain disebutkan bahwa ash-sha’id adalah debu tanah atau permukaan tanah. Dengan demikian Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad berkata, “Begitu juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertayamum dengan tanah yang ia shalat di atasnya, baik tanah itu berdebu, berair, atau berpasir. Sahih darinya shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, ‘Siapa pun dari umatku bertemu dengan waktu shalat, maka di sanalah masjidnya (tempat shalatnya) dan di sana pula tempat bersuci,’ adalah nash yang jelas, bahwa orang yang mendapatkan waktu shalat di tempat yang berpasir, maka pasir itu adalah penyucinya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama para sahabat dalam perang Tabuk, mereka melintasi padang pasir dan perbekalan air mereka sangat minim. Tidak terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa beliau membawa tanah, tidak juga memerintahkan membawanya, dan tidak seorang sahabat pun melakukannya, padahal telah diketahui secara pasti bahwa di padang sahara, pasir lebih banyak dibanding tanah, demikian juga di negeri Hijaz dan lainnya. Barangsiapa memikirkan hal ini, niscaya ia menetapkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertayamum dengan pasir, Wallahu a’lam, dan yang demikian adalah pendapat mayoritas ulama.”

Namun perlu dicatat bahwa beliau tidak pernah bertayamum dengan sesuatu yang sifatnya telah berubah dari hasil pembakaran, seperti abu. Beliau juga tidak pernah bertayamum dengan dempul kering, semen, dan kapur.

Baca juga: DIWAJIBKANNYA SHALAT LIMA WAKTU

Baca juga: KEUTAMAAN SHALAT BERJAMAAH DI MASJID

Baca juga: KAPAN TAYAMUM DIPERBOLEHKAN?

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih