SUNAH FITRAH

SUNAH FITRAH

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa fitrah bermakna as-sunnah. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa fitrah bermakna ad-din (agama).

Penjelasan tentang sunah fitrah terdapat pada beberapa hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: وَالِاسْتِحْدَادُ، الْخِتَانُ،  وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَنَتْفُ الْإِبِطِ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ

Lima hal termasuk fitrah: istihdad (mencukur bulu kemaluan), khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَشَرَةٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَالاسْتِنْشَاقُ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ. قَالَ مُصْعَبٌ: وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ، إِلا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةُ

Ada sepuluh hal termasuk fitrah: memotong kumis, memotong kuku, mencuci sela-sela jari dan kerut-kerut punggung jari, memelihara jenggot, bersiwak, membersihkan hidung (menghirup air dengan hidung dan menghembuskannya), mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan, dan beristinja.”

Mush’ab (perawi hadis) berkata: Aku lupa yang kesepuluh. Kemungkinan besar adalah berkumur-kumur. (HR Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Abu Dawud)

1. Memotong Kumis

Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ، فَلَيْسَ مِنَّا

Barangsiapa tidak memotong sebagian kumisnya, ia bukan golongan kami.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa-i, dan at-Tirmidzi)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوسَ

Potonglah kumis dan peliharalah jenggot. Berbedalah dengan orang-orang majusi.” (HR Muslim dan Ahmad)

Dalam redaksi hadis-hadis di atas, terdapat perintah untuk mencukur kumis, memotong kumis, dan mencukur habis kumis.

Disebutkan pada hadis Aisyah dengan redaksi ‘memotong kumis’.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan memotong kumis adalah memangkas hingga tepi bibir tampak, bukan memotong hingga pangkalnya.”

Imam an-Nawawi melanjutkan, “Adapun riwayat, ‘Cukur kumis itu’, maknanya adalah cukurlah bagian yang panjang, yang melebihi bibir.”

Imam Malik rahimahullah berkata, “Diambil sebagian kumis hingga tepi bibir tampak.”

Hanbal berkata, “Abu Abdullah (Imam Ahmad) ditanya, ‘Menurutmu, sebaiknya seorang laki-laki mengambil kumisnya dengan cara mencukur habis atau bagaimana?’ Dia menjawab, ‘Dia boleh mencukur habis atau sekedar memotongnya.’”

Aku (penulis) berkata, “Adapun hadis-hadis tentang perintah mencukur habis “al-jazzu” dan “an-nahku”, maka lebih utama dibawa pada makna al-mubalaghah (berlebih-lebihan) dalam memotong kumis dan ia ada pada makna ihfa’.

2. Memelihara Jenggot

Diwajibkan memelihara jenggot dan diharamkan mencukurnya. Hal ini disebabkan adanya perintah untuk memelihara jenggot dengan beragam ungkapan seperti, a’fu, aufu, arkhu, waffiru. Sedangkan perintah menunjukkan wajib, sebagaimana yang telah menjadi ketetapan di dalam ilmu ushul.

Kemudian ketahuilah, saudaraku seiman, bahwa mencukur jenggot, selain merupakan perbuatan maksiat, juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap kejantanan dan upaya menyerupai perempuan dan anak kecil, bahkan menyerupai orang kafir, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوسَ

Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot, berbedalah dengan orangorang majusi.” (HR Muslim dan Ahmad)

Sebagian orang berhujah, “Sebagian orang musyrik di zaman sekarang memelihara jenggot.”

Kita jawab, “Jika mereka memelihara jenggot, maka mereka telah kembali kepada karakter awal penciptaan (ashlul fithrah), sedangkan seorang muslim tidak dibenarkan menentang fitrahnya. Selain itu, mencukur jenggot di kalangan orang-orang musyrik merupakan kebiasaan asal mereka. Jika ternyata mereka menyalahi kebiasaan asal mereka dengan memelihara jenggot, maka tidak ada keharusan bagi kita untuk menyelisihi mereka. Selain itu, memelihara jenggot adalah bagian dari syiar Islam dan syiar para rasul. Illat (motivasi hukum) yang terkandung dalam hadis di atas adalah untuk menyelisihi orang-orang musyrik, dan ini adalah salah satu alasan dari banyak alasan. Ini bukan satu-satunya illat (penyebab keharusan memelihara jenggot).

Dalam mencukur jenggot ada bentuk upaya mengubah ciptaan Allah. Allah Ta’ala berfirman:

لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ

Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (QS ar-Rum: 30)

Dan firman Allah Ta’ala dalam menghikayatkan setan,

وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّٰهِ

Dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mengubahnya.” (QS an-Nisa’: 119)

Dan dalam hadis disebutkan,

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ، وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالنَّامِصَاتِ، وَالْمُتَنَمِّصَاتِ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ لِخَلْقِ اللَّهِ

Allah melaknat perempuan yang membuat tato, perempuan yang minta dibuatkan tato, perempuan yang mencabut bulu alis, perempuan yang minta dicabutkan bulu alisnya, perempuan yang merenggangkan gigi untuk kecantikan, dan perempuan yang mengubah ciptaan Allah.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Memotong jenggot termasuk dalam makna an-namshu, yaitu menghilangkan bulu wajah atau menghilangkan bulu alis bagi perempuan dengan alasan kecantikan. Jika menghilangkan bulu alis dilakukan oleh laki-laki, maka hal itu tentu lebih tercela.

Dengan demikian, tidak dikenal dalam sejarah para nabi, khulafaur rasyidin, dan para imam besar bahwa mereka mencukur jenggotnya. Barangsiapa menyelisihi mereka, maka ia telah menempuh jalan yang bukan jalan mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkanlah ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami memasukkannya ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS an-Nisa: 115)

Beberapa Catatan:

🌏 Tidak boleh memotong jenggot, baik yang melebar maupun yang memanjang, jika panjangnya kurang dari satu genggaman. Adapun hadis yang membolehkannya adalah dhaif dan tidak sah. Namun, yang menjadi perbedaan di antara ulama adalah apabila jenggot tersebut lebih dari satu genggaman.

Terdapat atsar yang sahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ketika ia berhaji atau berumrah, ia menggenggam jenggotnya, lalu memotong bagian yang melebihinya. Namun, perlu dicatat bahwa Ibnu Umar melakukannya ketika ia berhaji atau berumrah. Sepengetahuanku, tidak ada berita yang valid dari satu sahabat pun bahwa mereka melakukan hal itu selain dari Ibnu Umar. Demikian pula, tidak ada berita yang valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukan hal itu. Padahal, telah diketahui bahwa mereka memiliki jenggot yang lebat. Maka, pendapat yang benar adalah bahwa tidak boleh memotong jenggot sekalipun telah melebihi satu genggaman.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang terpilih dalam hal memotong jenggot adalah membiarkan jenggot dalam keadaan seperti itu, dan pada asalnya ia sama sekali tidak boleh dipotong. Sedangkan pendapat yang terpilih dalam hal memotong kumis adalah tidak memotong sampai pangkal, tetapi memotong sehingga tepi bibir terlihat.”

🌏 Pemangkas rambut tidak boleh mencukur jenggot orang lain. Jika ia melakukannya, maka ia berdosa. Harta yang ia peroleh dari hasil tersebut adalah haram.

Seseorang bertanya kepada Ibnu Sirin, “Profesi ibuku adalah penata rambut perempuan. Menurutmu, bolehkah aku memakan hartanya?” Ibnu Sirin menjawab, “Jika ibumu menyambung rambut, maka tidak boleh.” Yakni, ia tidak boleh memakan hartanya jika hasil yang diperoleh sang ibu dari hasil menyambung rambut dengan wig (rambut palsu). Maka, orang yang memotong jenggot orang lain adalah lebih besar kemaksiatannya daripada perempuan yang menyambung rambut.

3.Bersiwak

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Siwak dapat membersihkan mulut dan mendatangkan keridhaan Allah.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa-i, dan al-Bukhari)

Siwak adalah kayu atau yang sejenisnya yang dipakai untuk membersihkan gigi agar hilang warna kuningnya atau kotoran lainnya. Bersiwak adalah sunah muakkadah berdasarkan hadis berikut:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ، لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ

Seandainya tidak memberatkan umatku atau orang-orangku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Dan di dalam suatu riwayat,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي، لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ

Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR Bukhari)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kerap bersiwak. Beliau tidak mengkhususkan bersiwak hanya saat hendak shalat dan wudhu saja, tetapi juga bersiwak di setiap waktu, berdasarkan keumuman hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha. Bersiwak semakin disukai saat hendak shalat dan berwudhu serta di tempat-tempat lain berikut ini:

🏀 Ketika masuk rumah

Dari Miqdam bin Syuraih, dari bapaknya ia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apakah yang pertama kali dilakukan oleh Nabi setiap kali masuk ke dalam rumahnya?”

Aisyah menjawab, “Bersiwak.” (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

🏀 Ketika bangun tidur

Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila bangun di malam hari, mencuci dan membersihkan mulutnya dengan siwak.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Makna yasywush fahu adalah mencuci dan membersihkannya. Ada yang berpendapat, menggosoknya.

🏀 Ketika membaca al-Qur’an

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami diperintahkan bersiwak. Dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, ketika seorang hamba bersiwak, kemudian berdiri melaksanakan shalat, malaikat akan berdiri di belakangnya, mendengarkan bacaannya, lalu mendekatinya -atau kalimat semisalnya- hingga malaikat meletakkan mulutnya pada mulut sang hamba. Tidak ada sesuatu pun dari bacaan al-Qur’an yang keluar dari mulut sang hamba kecuali ia akan masuk ke dalam perut malaikat. Maka, bersihkanlah mulut-mulut kalian untuk membaca al-Qur’an.” (Hadis shahih li ghairihi. Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan al-Baihaqi. Lihat Silsilah as-Shahihah)

🏀 Ketika terjadi perubahan pada mulut

Hal itu karena siwak dapat membersihkan mulut, sebagaimana disebutkan dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah disebutkan sebelumnya.

Tata cara bersiwak

Adapun tata cara bersiwak, maka asy-Syaukani berkata dalam menjelaskan makna asy-syausu, “(Ada yang berpendapat: bahwa cara bersiwak adalah) menggerakkan siwak pada gigi dari bawah ke atas.”

al-Khaththabi berkata, “Yaitu menggosok gigi dengan siwak atau jari-jari dengan cara melintang (seukuran lebar gigi).”

Berdasarkan keterangan ini, maka cara bersiwak adalah menggerakkan siwak seukuran lebar dan panjang gigi, begitu juga melewatkan (menjalankan) siwak di langit-langit pangkal kerongkongan.

Dari Abi Musa, ia berkata, “Aku pernah masuk ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu beliau sedang bersiwak di mana ujung siwak berada di atas lidahnya sambil berkata, ‘Aa…aa.’” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa-i)

Beberapa peringatan:

Boleh bersiwak dengan apa saja yang dapat menghilangkan bau mulut, tetapi lebih utama bersiwak dengan batang pohon arak. Menggunakan sikat gigi juga dianggap bersiwak.

Orang yang berpuasa boleh bersiwak, baik sebelum tergelincir matahari maupun

Boleh bersiwak dengan tangan kanan atau tangan kiri. Perkara ini longgar karena tidak satu dalil pun membatasi salah satu dari Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa bersiwak dianjurkan dengan tangan kiri karena bersiwak adalah membersihkan. Sebagian lagi berpendapat bahwa dianjurkan bersiwak dengan tangan kanan karena bersiwak adalah ibadah. al-Malikiyah memberi rincian, “Jika bersiwak dilakukan dalam rangka membersihkan, maka bersiwak dilakukan dengan tangan kiri. Jika bersiwak dalam rangka at-ta’abbud (beribadah) seperti bersiwak untuk shalat, maka bersiwak dilakukan dengan tangan kanan. Ini merupakan perincian yang bagus. Namun yang lebih utama adalah boleh bersiwak dengan salah satu dari keduanya. Wallahu a’lam.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ada beberapa manfaat bersiwak, yaitu menyedapkan bau mulut dan menguatkan gusi, memutuskan lendir, memperjelas pandangan, menghilangkan warna kuning gigi, menyehatkan lambung, menjernihkan suara, membantu mencerna makanan, menyehatkan pita suara, menggiatkan dalam membaca al-Qur’an, berdzikir dan shalat, menghilangkan kantuk, diridhai oleh ar-Rabb, dikagumi oleh malaikat, dan memperbanyak kebaikan.

Makna al-hafar adalah warna kuning pada gigi.

4. Berkumur-kumur dan Istinsyaq

Akan datang penjelasan hukum-hukumnya dalam Bab Wudhu.

5. Memotong Kuku

Dalam sebagian riwayat ‘Qashshul Adhfar,’ ketentuan memotong kuku berlaku untuk kuku-kuku kedua tangan dan kedua kaki. Yang dimaksud dengan at-taqlim adalah al-qath yang berarti memotong. Istilah ini memiliki makna yang sama dengan al-qashshu. Memotong kuku adalah sunah menurut kesepakatan ulama. Laki-laki dan perempuan berada dalam ketentuan yang sama dalam hal memotong kuku.

Ketahuilah bahwa tidak satu dalil pun menjelaskan tentang cara memotong kuku. Dengan demikian, mendahulukan jari mana saja atau melakukan cara apa saja dianggap telah mencukupi. Wallahu a’lam.

Membiarkan kuku memanjang lebih dari empat puluh hari hukumnya makruh. Demikian juga bulu ketiak, bulu kemaluan, dan kumis. Hal ini berdasarkan hadis berikut:

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami diberi batas waktu dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan tidak lebih dari empat puluh malam.” (HR Muslim dan Ibnu Majah)

Dalam satu riwayat, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukan batas waktu bagi kami.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Peringatan: Tidak satu dalil pun mengharuskan mengubur potongan kuku dan potongan rambut. Kamu boleh membuangnya di tempat sampah, dan tidak perlu merasa bersalah.

6. Mencabut Bulu Ketiak

Hal ini adalah sunah menurut kesepakatan jumhur ulama. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang lebih utama dalam perkara ini adalah dengan cara mencabut, jika ia memang tahan untuk itu. Mencabut bulu ketiak juga dapat dilakukan dengan cara mencukur.”

7. Mencukur Bulu Kemaluan

Mencabut bulu kemaluan disebut juga istihdad. Hal ini adalah sunah menurut kesepakatan ulama. Maksud dari al-‘anah adalah rambut yang tumbuh di atas dan di sekitar kemaluan laki-laki, serta rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan perempuan, baik ia perawan maupun janda. Yang disunahkan dalam pengambilan bulu kemaluan adalah dengan mencukurnya sampai habis, seperti yang terdapat dalam nash hadis. Jika ia menghilangkannya dengan obat perontok bulu, memangkas, mencabut, atau semisalnya, maka maksud dari halqul anah (mencukur bulu kemaluan) telah tercapai. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Mencukur habis adalah lebih utama.”

8. Mencuci Buku-buku Jari Jemari

Mencuci buku-buku jari-jemari adalah sunah. Buku-buku jemari (al-barajim) adalah ruas dan lekukan jari-jemari. Ulama berkata, “Termasuk dalam bagian al-barajim adalah kotoran yang mengumpul pada lekuk-lekuk daun telinga dan di dasar lubang telinga.”

9. Istinja

Hal ini telah kami jelaskan secara rinci pada pembahasan sebelumnya.

10. Berkhitan

Khitan secara etimologi berarti menyucikan dan memotong. Untuk perempuan, khitan disebut khafadh, sedangkan untuk laki-laki disebut i’zar. Adapun yang tidak berkhitan disebut aqlafa dan aghlafa.

Khitan secara terminologi syariat adalah memotong kulit yang menutupi ujung kemaluan laki-laki, yang biasa disebut dengan kulup. Sedangkan khitan bagi perempuan adalah memotong kulit yang serupa dengan jengger ayam jantan (klitoris) yang berada di atas kemaluan.

Disyariatkannya berkhitan

Terdapat sejumlah dalil yang menerangkan disyariatkannya berkhitan bagi laki-laki dan perempuan. Di antaranya adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: وَالِاسْتِحْدَادُ، الْخِتَانُ،  وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَنَتْفُ الْإِبِطِ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ

Lima hal yang termasuk ke dalam fitrah: istihdad (mencukur bulu kemaluan), khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

Jika dua yang dikhitan bertemu, maka wajib mandi.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, ath-Thabrani, dan Ibnu Hibban. Dan diriwayatkan semisalnya oleh Muslim dan Malik)

Dan dari Ummu Atiyah al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seorang perempuan yang biasa mengkhitan perempuan di Madinah,

لَا تُنْهِكِي، فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى اْلبَعْلِ

Janganlah dihabiskan, karena benda itu menguntungkan perempuan dan disukai oleh suami.” (Hadis hasan li ghairihi. Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Lihat Silsilah ash-Shahihah)

Hukum berkhitan

Para ahli ilmu berbeda pendapat dalam menentukan hukum khitan sebagai berikut:

Asy-Syafi’iyyah berpendapat bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan.

Hanafiah dan Malikiyah berpendapat bahwa khitan sunah bagi laki-laki dan merupakan kemuliaan bagi perempuan.

Imam Ahmad mewajibkan khitan bagi laki-laki dan menganggapnya sebagai kemuliaan bagi perempuan. Namun, dalam satu riwayat lain, Imam Ahmad mewajibkan khitan bagi laki-laki dan perempuan.

Ukuran yang diambil dalam berkhitan

Pada laki-laki, kulit yang menutupi ujung kemaluan dipotong hingga seluruh bagian kepalanya terbuka. Sedangkan pada perempuan, kulit (klitoris) yang menonjol di atas farji dipotong sedikit, tidak berlebih-lebihan. Hal ini didasarkan pada hadis dari Ummu Atiyah, “Janganlah dihabiskan.”

Waktu berkhitan

Dalam Shahih al-Bukhari, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ditanya, “Seperti apakah kamu ketika Rasulullah wafat?

Ia menjawab, “Pada waktu itu aku telah dikhitan.”

Ia menjelaskan bahwa dahulu orang-orang tidak dikhitan kecuali setelah mereka dewasa (balig). (HR al-Bukhari dan Ahmad)

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Jabir, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan akikah untuk al-Hasan dan al-Husain serta mengkhitan mereka pada hari ketujuh setelah kelahiran. Akan tetapi, sanad hadis ini adalah lemah (HR al-Baihaqi dan Ibnu Ady) dan ia memiliki penguat dari hadis Ibnu Abbas: “Tujuh hal yang merupakan sunah yang berlaku pada anak kecil pada hari ketujuh: diberi nama, dikhitan, …” (HR ath-Thabrani). Syekh al-Albani berkata, “Akan tetapi, salah satu dari dua hadis ini menguatkan yang lain, karena jalur periwayatan keduanya berbeda dan juga tidak ada rawi dalam kedua hadis tersebut yang tertuduh (al-muttaham).”

Dengan demikian, sangat mungkin untuk dikatakan bahwa waktu ketujuh (hari ketujuh) adalah waktu diperbolehkannya berkhitan, sedangkan waktu dekatnya masa balig adalah waktu wajibnya berkhitan. Ini terkait dengan anak laki-laki. Adapun anak perempuan tidak ada batasan waktu untuk berkhitan. Patokan dalam urusan ini adalah at-ta’khir (menunda), agar kulit yang seperti ‘jengger ayam’ menampak dan tumbuh. Kulit tersebut tidak tampak kecuali pada usia-usia belakangan. Pihak yang menetapkan tampak dan tidaknya adalah dokter perempuan yang akan melakukan khitan terhadap anak perempuan.

Hikmah berkhitan

Banyak hikmah terkandung pada berkhitan, di antaranya adalah:

🏀 Menyempurnakan kefithrahan dimana ia merupakan syariat agama Ibrahim yang hanif.

🏀 Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa makna firman Allah Ta’alaShibghatallah (celupan Allah)” adalah bahwa berkhitan bagi orang-orang yang hanif ada pada kedudukan pembaptisan bagi para penyembah salib. Shibghatallah (celupan Allah) di dalam hati adalah mengetahuinya, mencintainya, menyembahnya, sedangkan shibghatallah pada badan adalah bilangan-bilangan al-fithrah, di antaranya adalah berkhitan.

🏀 Berkhitan dapat membersihkan kotoran dan najis yang berkumpul di dalam kulup.

🏀 Hikmah berkhitan bagi perempuan adalah bahwa khitan menguntungkan perempuan dan disukai oleh suami, sebagaimana yang tersebut pada hadis Ummu Atiyah al-Anshariyah di atas.

Baca juga: HUKUM KHITAN BAGI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Baca juga: HUKUM MENGANGKAT ANAK (TABANNI)

Baca juga: HUKUM MUSAQAH DAN MUZARA’AH

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih