SIFAT SALAT NABI – SUJUD

SIFAT SALAT NABI – SUJUD

Setelah memuji Allah Ta’ala dengan membaca doa yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika berdiri i’tidal), langkah selanjutnya yang dilakukan seseorang dalam salatnya adalah turun untuk sujud sambil mengucapkan takbir, “Allahu akbar.” Takbir tidak dibaca sebelumnya atau setelahnya. Takbir dibaca pada saat turun untuk sujud.

Tata Cara Turun dari I’tidal untuk Sujud

Turun dari i’tidal untuk sujud dilakukan tanpa mengangkat kedua tangan, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma -dan ia dikenal sebagai orang yang paling gigih dalam menjalankan sunah dan paling getol mempelajarinya-, ia berkata, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangan bila melakukan takbiratul ihram, saat bertakbir untuk rukuk, dan saat bangkit dari rukuk.” Ia melanjutkan, “Dan beliau tidak melakukan hal itu (mengangkat kedua tangan) saat sujud atau bangkit dari sujud.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Ketika turun untuk sujud seseorang tidak meletakkan kedua tangan terlebih dahulu di tanah. Ia lebih dahulu meletakkan kedua lutut, setelah itu kedua tangan, setelah itu dahi dan hidung. Dengan demikian, bagian yang lebih dulu sampai ke tanah adalah kedua lutut, setelah itu kedua telapak tangan, setelah itu dahi dan hidung. Selain tabiat sujud mengharuskan seperti itu, amalan ini juga sesuai dengan tuntunan sunah.

an-Nasai dan Abu Dawud meriwayatkan dari Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangannya.” (HR Abu Dawud dan an-Nasa-i)

Terkait hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa-i dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Apabila salah seorang dari kalian sujud, janganlah ia duduk seperti duduknya unta. Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya,” (HR Abu Dawud dan an-Nasa-i) penjelasannya adalah sebagai berikut:

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah ia duduk seperti duduknya unta,” yaitu seperti cara duduknya unta.

Unta ketika akan duduk (menderum) lebih dulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua kaki, seperti yang diketahui oleh siapa pun yang pernah melihat unta. Ketika akan menderum, unta lebih dulu menurunkan bagian depan tubuhnya sebelum bagian belakang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mendahulukan kedua tangan ketika seseorang turun untuk sujud karena perbuatan itu seperti menderumnya unta.

Ketika salat seseorang berada di maqam yang tinggi dan mulia di hadapan Allah Ta’ala. Lantas bagaimana ia menyerupai hewan dengan meletakkan kedua tangan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, padahal perbuatan menyerupai hewan disebutkan di dalam al-Qur’an tidak lain adalah dalam konteks celaan? Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ الْكَلْبِۚ اِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ اَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْۗ ذٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Maka perumpamaannya adalah seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya. Jika kamu membiarkannya, ia pun menjulurkan lidahnya. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisahkisah itu agar mereka berpikir.” (QS al-A’raf: 176)

مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرٰىةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ اَسْفَارًاۗ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ

Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat kemudian tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS al-Jumu’ah: 5)

Sementara itu, di dalam sunah disebutkan,

الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ

Orang yang menarik kembali hibahnya laksana anjing yang muntah, lalu menjilati kembali muntahnya itu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Jadi, ketika hendak sujud kedua lutut didahulukan sebelum kedua tangan.

Jika ada yang mengatakan bahwa orang yang turun untuk sujud dengan mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan berarti ia duduk seperti duduknya unta. Sebab, kedua lutut unta berada di kedua tangannya, dan ketika hendak duduk (menderum), unta merebahkan kedua lututnya terlebih dahulu.

Tanggapan kami adalah sebagai berikut: Memang kedua lutut unta berada di kedua tangannya. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata, “Janganlah ia duduk dengan apa unta duduk.” Andaikan beliau berkata, “Janganlah ia duduk dengan apa unta duduk,” tentu kami katakan, “Janganlah engkau mendahulukan kedua lutut,” karena ketika kamu mendahulukan kedua lutut, berarti kamu duduk seperti duduknya unta. Tetapi yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan adalah, “Janganlah ia duduk seperti duduknya unta.” Apa yang dilarang di sini adalah sifat sujud, karena beliau menyebut dengan huruf kaf (kama) yang menunjukkan penyerupaan. Apa yang dilarang bukanlah bagian tubuh untuk sujud. Seandainya yang dilarang di sini adalah bagian tubuh untuk sujud, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Janganlah ia duduk dengan apa unta duduk.”

Dengan demikian, yang dilarang adalah sifat, tata cara, dan keadaan sujud, bukan bagian tubuh untuk sujud. Perbedaan ini tentu jelas sekali bagi siapa saja yang merenungkannya, sehingga kita tidak perlu membuang-buang waktu dan berusaha mengatakan, “Lutut unta ada di tangannya, dan unta tidak duduk dengan tangannya.” Kita tidak memerlukan perdebatan seperti ini, karena larangannya sudah jelas: larangan terkait sifat sujud, bukan bagian tubuh yang digunakan untuk sujud.

Jika ada yang mengatakan bahwa bagian akhir hadis menyebutkan, “Janganlah ia duduk seperti duduknya unta. Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” Seperti itulah lafal hadis.

Tanggapan kami adalah sebagai berikut: Jika kalimat terakhir ini sahih, berarti hadis ini kontradiktif, karena bagian akhir menunjukkan kedua tangan didahulukan dalam sujud, sementara bagian awal hadis menunjukkan larangan mendahulukan kedua tangan dalam sujud.

Karena itulah al-Allamah al-Hafizh al-Muhaddits Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bagian akhir hadis, ‘Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya,’ adalah kekeliruan perawi, karena bagian akhir hadis ini tidak sesuai dengan bagian awalnya. Karena bagian akhir hadis tidak sesuai dengan bagian awalnya, maka kita mengacu pada dalil, bukan pada perumpamaan, karena sabda, ‘Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya’ adalah sebuah penyerupaan.

Dengan demikian, jika kita ingin mengembalikan persoalan ini kepada asal hadis, maka yang benar adalah, ‘Hendaklah ia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya,’ karena ketika seseorang lebih dulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, berarti ia duduk seperti duduknya unta. Ketika menderum, unta terlebih dulu meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Siapa pun yang pernah melihat unta duduk, tentu akan tahu permasalahan ini dengan jelas. Jadi, jika kita menginginkan bagian akhir hadis sesuai dengan bagian awalnya, maka yang benar adalah, ‘Hendaklah ia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya,’ karena ketika seseorang lebih dulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut seperti yang kamu katakan, berarti ia duduk seperti duduknya unta, sehingga bagian awal dan akhir hadis kontradiktif.

Lebih tepatnya kami katakan seperti ini: Perawi hadis keliru dan kata-katanya terbalik. Manusia bisa saja keliru. Kita tidak mengatakan bahwa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertolak belakang.

Dengan demikian, sunah yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait sujud adalah meletakkan kedua lutut terlebih dahulu sebelum kedua tangan.”

Seperti itulah penegasan Ibnu Qayyim. Aku sengaja menukil pernyataannya ini untuk memperkuat kata-katanya, bukan berdalil pada kata-katanya, karena perkataan ahli ilmu tidak dijadikan dalil, tapi diperkuat. Untuk itu, mereka berkata, “Pernyataan ahli ilmu diperkuat, bukan dijadikan dalil.” Maksudnya, ketika seorang ahli ilmu mengatakan sesuatu, kamu harus berkata kepadanya, “Apa dalilnya?” Sementara, jika kamu menjadikan perkataan seorang ahli ilmu sebagai hujah bagi orang lain, maka hal ini tidak benar karena seorang ahli ilmu bisa keliru dan bisa benar. Hanya saja, orang awam diperintahkan untuk bertanya kepada ahli ilmu. Adanya perintah Allah Ta’ala kepada orang awam untuk bertanya kepada ahli ilmu tidak lain adalah agar ia berpegangan pada ucapan mereka:

فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (QS an-Nahl: 43)

Untuk itu, persoalan ini perlu diperhatikan agar hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ini sesuai dengan hadis Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bahwa kedua lutut didahulukan saat turun untuk sujud sebelum kedua tangan, tidak seperti dinyatakan oleh sebagian orang bahwa hadis Abu Hurairah menunjukkan bahwa turun untuk sujud dilakukan dengan kedua tangan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, karena unta ketika menderum menurunkan kedua lututnya terlebih dahulu.

Walau begitu, perlu diperhatikan bahwa orang yang tidak mampu turun dengan kedua lutut terlebih dahulu karena kedua lututnya sakit atau alasan yang lain, tidak mengapa mendahulukan kedua tangan saat turun untuk sujud sebelum kedua lutut.

Posisi Sujud

Posisi sujud adalah sebagai berikut:

1. Sujud di atas tujuh anggota tubuh

Tujuh anggota tubuh yang dimaksud adalah (1) dahi dan hidung (Kedua anggota tubuh ini terhitung satu karena hidung mengikuti dahi), (2 dan 3) dua telapak tangan, (4 dan 5) dua lutut, dan (6 dan 7) ujung-ujung dua kaki. Tidak boleh ada satu pun dari tujuh anggota tubuh itu terangkat saat sujud, karena Allah memerintahkan kita bersujud dengan tujuh anggota tubuh.

Disebutkan di dalam Shahih al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أمِرْتُ أَنْ أسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أعْظُمٍ

Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh tulang.”

Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merinci tulang apa saja melalui sabda beliau,

على الجَبْهَةِ ـ وَأشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أنْفِهِ ـ وَالْيَدَيْنِ، وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَأطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ، وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

Di atas dahi (beliau berisyarat dengan tangan ke hidung), kedua tangan, kedua lutut, dan ujung-ujung kedua kaki. Dan kami (diperintahkan untuk) tidak menyatukan pakaian dan rambut.” (HR al-Bukhari)

Disebutkan dalam salah satu riwayat Shahih Muslim: “Dua telapak tangan,” menggantikan, “Dua tangan.”

Catatan: Sebagian orang bersujud dengan menempatkan kuku ibu jari di tanah, sementara bagian tangan lainnya terangkat. Apakah kamu berkata, “Ibu jari menyentuh tanah atau kuku ibu jari menyentuh tanah?” Praktik seperti ini keliru. Aku meragukan kesahan sujud seperti ini, bahkan harus ada semacam itika’, menyandar.

2. Meletakkan kedua telapak tangan di tanah

Meletakkan tangan boleh dalam posisi berikut:

🔻 Sejajar dengan dahi dan hidung. Hal ini seperti disebutkan dalam riwayat Shahih Muslim dari hadis Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu terkait sifat salat Nabi shallallahu ‘alaihi wa salla. Ia berkata, “Ketika sujud beliau sujud di antara dua telapak tangan beliau.” (HR Muslim)

Abu Dawud meriwayatkan hadis dari Wa’il: “Ketika sujud beliau meletakkan dahi beliau di antara kedua telapak tangan beliau.” (HR Abu Dawud)

🔻 Sejajar dengan pundak. Disebutkan dalam Sunan Abu Dawud dalam salah satu riwayat dari Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu: “Setelah itu beliau sujud, lalu beliau meletakkan hidung dan dahi (benar-benar melekat di tanah), menjauhkan kedua tangan beliau dari kedua sisi tubuh beliau, dan meletakkan kedua tangan beliau sejajar dengan kedua pundak beliau.” (HR Abu Dawud)

an-Nasa-i meriwayatkan hadis dari Wa’il: “Lalu beliau bertakbir sambil mengangkat kedua tangan beliau, yaitu saat takbiratul ihram hingga aku melihat kedua ibu jari beliau dekat dengan kedua telinga beliau. Saat hendak rukuk, beliau bertakbir sambil mengangkat kedua tangan beliau. Setelah itu beliau bangun dari rukuk dan membaca, ‘Sami’allahu liman hamidah.’ Setelah itu bertakbir dan sujud. Posisi kedua tangan dengan kedua telinga beliau sama seperti saat beliau memulai salat (posisi saat takbiratul ihram).” (HR an-Nasa-i)

Dengan demikian, kedua tangan memiliki dua posisi, yaitu sejajar dengan dahi dan hidung, selanjutnya ketika sujud juga dengan posisi yang sama, atau sejajar dengan kedua pundak, selanjutnya ketika sujud juga dengan posisi yang sama.

3. Membentangkan kedua telapak tangan di atas tanah

4. Meluruskan jari-jari tangan rapat menghadap ke kiblat

Abu Dawud meriwayatkan hadis dari Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu dalam salah satu riwayat: “Ketika sujud beliau meletakkan kedua tangan beliau dengan tidak membentangkannya (di atas tanah) dan tidak pula menggenggamnya. Beliau menghadapkan ujung-ujung jari beliau ke kiblat.” (HR Abu Dawud)

Riwayat lain menyebutkan: “Beliau kemudian sujud, lalu beliau (sujud dengan) tegak di atas kedua telapak tangan, kedua lutut, dan bagian depan kedua kaki beliau saat sujud.” (HR Abu Dawud)

5. Sujud dengan i’tidal

Sujud dengan I’tidal adalah sujud seperti biasa: tidak membentangkan punggung dan tidak pula membungkukkannya.

Sebagian orang membentangkan punggung saat sujud, hingga kamu mungkin bertanya, “Dia sedang tengkurap atau sujud?”

Sujud tidak dilakukan dengan membentangkan punggung. Punggung cukup diangkat hingga menjauh dari kedua paha. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ

I’tidal-lah saat sujud.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Membentangkan punggung dalam sujud yang dilakukan oleh sebagian orang dikiranya sunah, padahal menyalahi sunah, dan bahkan bidah. Mereka melakukan hal itu untuk mengabdikan diri kepada Allah Ta’ala, padahal cara seperti itu tidak disebutkan dalam sunah. Selain itu, sujud dengan cara seperti itu sangat memberatkan. Dengan membentangkan punggung, berat badan bertumpu pada dahi, sedangkan leher tertekuk. Sunahnya adalah kamu mengangkat punggungmu hingga menjauh dari kedua paha, bukan dengan membentangkan punggung.

Ada perbedaan antara membentangkan dan mengangkat punggung. Sunah tidak menyebutkan saat bersujud seseorang harus membentangkan punggung. Membentangkan punggung hanya dilakukan saat rukuk. Apa pun itu, jika sujud dengan cara seperti itu sunah, tentu siapa pun kuat melakukannya. Namun ternyata sujud dengan cara seperti itu bukan sunah.

6. Menegakkan dan meninggikan kedua lengan, bukan menghamparkannya di tanah, juga tidak meletakkan kedua lengan di atas kedua lutut

Abu Dawud meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ، فَلَا يَفْتَرِشْ يَدَيْهِ افْتِرَاشَ الْكَلْبِ، وَلْيَضُمَّ فَخْذَيْهِ

Apabila salah seorang dari kalian sujud, janganlah ia menghamparkan kedua tangannya seperti anjing menghamparkan kedua tangannya. Hendaklah ia menyatukan kedua pahanya.” (HR Abu Dawud)

Muslim meriwayatkan dari al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَجَدْتَ، فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ

Apabila engkau sujud, maka letakkanlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu.” (HR Muslim)

7. Menjauhkan kedua lengan tangan dari kedua sisi tubuh

Kecuali jika berada dalam saf salat, sujud dengan menjauhkan kedua lengan dari kedua sisi tubuh tidak dilakukan. Sebab, ketika seseorang melakukan sujud dengan cara seperti ini, tentu ia akan mempersempit dan menyusahkan orang yang ada di sebelahnya. Tidak sepatutnya larangan dilanggar demi sunah. Hanya saja, ketika tangan dijauhkan dari kedua sisi tubuh, jari-jari tangan tetap harus menghadap kiblat, tidak boleh menyimpang dari kiblat.

Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dari Abdullah bin Malik bin Buhainah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika salat, beliau merenggangkan kedua tangan beliau hingga terlihat putih kedua ketiak beliau.” (HR al-Bukhari)

Muslim meriwayatkan dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud, seandainya seekor hewan melintas di antara kedua tangan beliau, tentu ia bisa melintas.” (HR Muslim)

Riwayat an-Nasa-i menyebutkan, “Ketika sujud, beliau menjauhkan kedua tangan beliau hingga seandainya seekor hewan melintas di bawah kedua tangan beliau, tentu ia bisa melintas.” (HR an-Nasa-i)

8. Mengangkat perut dari kedua paha sehingga posisi punggung terangkat

9. Mengangkat kedua paha dari kedua betis

Abu Dawud meriwayatkan hadis dari Wa’il radhiyallahu ‘anhu dalam salah satu riwayat: “Apabila sujud, beliau merenggangkan kedua paha beliau tanpa sedikit pun melekatkan perut di kedua paha beliau.” (HR Abu Dawud)

10. Menegakkan kedua kaki dan merapatkannya, bukan merenggangkan keduanya, dengan posisi jari-jari kaki di tanah menghadap ke kiblat

Sebagian ulama menjelaskan, hendaklah orang yang salat bertumpu pada kedua kaki semampunya agar jari-jari kaki menghadap ke kiblat, sebab ada sebagian orang yang ibu jari kakinya panjang sementara jari kelingking kakinya pendek sehingga sulit jika jari kelingking kaki menyentuh tanah.

Muslim meriwayatkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur pada suatu malam. Lalu aku mencari-cari beliau hingga tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau dan beliau berada di masjid. Kedua telapak kaki beliau tegak berdiri.” (HR Muslim)

Satu tangan tentu tidak menyentuh kedua kaki sekaligus, kecuali jika kedua kaki dirapatkan.

Riwayat an-Nasa-i menyebutkan, “Aku (Aisyah) sampai ke tempat beliau saat beliau sujud dengan kedua kaki tegak.” (HR an-Nasa-i)

Seperti itu juga yang disebutkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merapatkan kedua kaki beliau saat sujud. (HR Ibnu Khuzaimah)

Sebagian ulama berkata, “Kedua kaki tidak dirapatkan. Posisi kedua kaki disesuaikan dengan kondisi seseorang. Jika ia kurus, ia merapatkan jarak di antara kedua kaki. Jika ia gemuk, ia memperlebar jarak di antara kedua kaki.”

Sebagian lainnya berkata, “Kedua kaki tidak dirapatkan. Keduanya direnggangkan sekira sejengkal.”

Ada dua hal dalam pernyataan para ulama ini. Pertama: Merenggangkan kedua kaki. Kedua: Seukuran sejengkal. Berarti kita memerlukan dua dalil. Dalil pertama bahwa kedua kaki direnggangkan, dan dalil kedua bahwa kedua kaki direnggangkan seukuran sejengkal.

Mungkin ada yang berkata bahwa dalil kedua untuk kaki direnggangkan adalah bahwa posisi alami kedua kaki adalah renggang, karena merapatkan kedua kaki berada di luar kebiasaan seseorang.

Tanggapan kami adalah sebagai berikut: Mereka merenggangkan kedua kaki berdasarkan kebiasaan. Adapun merenggangkan kaki seukuran sejengkal tentu memerlukan dalil, karena kaidah mengatakan: Apa pun ukuran, entah berupa hitungan, tata cara atau bentuk memerlukan dalil. Jika tidak ada dalil, berarti itu hanya menerka-nerka tanpa landasan dalil.

Dengan demikian, merenggangkan kaki seukuran sejengkal saat sujud memerlukan dalil.

Orang mungkin berkata terkait merenggangkan kaki, “Dalilnya adalah karena tidak adanya dalil. Menurut kebiasaan, kedua kaki umumnya renggang, seperti halnya kedua lutut umumnya renggang.”

Namun, merapatkan kedua kaki saat sujud adalah lebih mendekati sunah.

Terkait kedua lutut, menurutku sunahnya adalah tidak ada dalil yang menyebutkan keduanya, entah dirapatkan atau pun direnggangkan. Dengan demikian, kedua lutut diposisikan seperti biasanya tanpa dirapatkan.

11. Tidak menghamparkan kedua lengan di tanah

al-Bukhari meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اعْتَدِلُوْا فِى السُّجُوْدِ، وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

I’tidal-lah dalam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya seperti anjing menghamparkan kedua lengannya.” (HR al-Bukhari)

12. Tidak menyatukan rambut atau pakaian

Yaitu, tidak mengumpulkan pakaian dan rambut agar tidak bertebaran saat rukuk dan sujud, tetapi membiarkannya apa adanya, sehingga baju dan rambut menyentuh tanah. Hal ini dilakukan agar orang yang salat bersujud dengan seluruh anggota sujud, baju dan rambutnya.

al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْنَا أَنْ نَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ وَلَا نَكُفَّ ثَوْبًا وَلَا شَعَرًا

Kami diperintahkan sujud di atas tujuh tulang. Dan kami (diperintahkan untuk) tidak menyatukan pakaian dan rambut.” (HR al-Bukhari)

Riwayat Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan sujud di atas tujuh (tulang). Beliau juga dilarang menyatukan rambut dan pakaian beliau.” (HR Muslim)

13. Jika sujudnya lama dan berat bagi seseorang untuk mengangkat kedua tangannya, ia boleh bertumpu pada kedua lutut

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluhkan beratnya sujud jika mereka merenggangkan (lengan).

Beliau bersabda,

اسْتَعِينُوا بِالرُّكَبِ

Gunakanlah lutut kalian (sebagai tumpuan).” (HR Abu Dawud)

14. Menyentuh tanah pada saat sujud meski tanahnya becek

al-Bukhari meriwayatkan hadis dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu terkait mimpi Lailatul Qadar yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau bersabda,

إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ، ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوَتْرِ، وَإِنِّي رَأَيْتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ، فَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلْيَرْجِعْ

Sungguh aku diperlihatkan (dalam mimpi) tentang Lailatul Qadar yang aku lupa atau dilupakan waktu pastinya. Tetapi, carilah pada sepuluh malam terakhir dan pada malam yang ganjil. Sungguh aku melihat dalam mimpi bahwa aku sujud di atas tanah dan air (yang becek). Oleh karena itu, barangsiapa sudah beritikaf bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka pulanglah.”

Maka kami pun pulang. Tidaklah kami melihat awan yang tipis sekalipun di langit hingga kemudian tiba-tiba datang awan yang banyak, lalu hujan turun hingga air menetes (karena bocor) lewat atap masjid yang terbuat dari daun kurma. Kemudian setelah salat (Subuh) aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud di atas air dan tanah yang becek hingga aku melihat sisa-sisanya pada dahi beliau. (HR al-Bukhari)

15. Tidak meratakan tanah, kecuali jika diperlukan

al-Bukhari meriwayatkan dari Mu’aiqib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda terkait seseorang yang meratakan tanah tempat ia sujud,

إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا، فَوَاحِدَةً

Jika engkau melakukannya, maka lakukanlah sekali saja.” (HR al-Bukhari)

16. Boleh sujud di atas sapu tangan dan semacamnya yang tidak menempel pada tubuh

al-Bukhari meriwayatkan dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam salat di atas khumrah (sejenis tikar dari pelepah kurma yang hanya cukup untuk dahi dan kedua telapak tangan). (HR al-Bukhari)

17. Tidak sujud di atas kain atau semacamnya yang menempel pada tubuh, kecuali jika diperlukan

al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Kami pernah salat dalam keadaan panas terik. Tak seorang pun dari kami mampu meletakkan dahinya di atas tanah. Oleh karena itu, masing-masing dari kami meletakkan kain, lalu sujud di atasnya.” (HR al-Bukhari)

Ucapan Anas, “Tak seorang pun dari kami mampu meletakkan dahinya di atas tanah.” Artinya, mereka tidak akan melakukan hal demikian apabila mereka mampu meletakkan dahinya di atas tanah.

Ucapan Anas, “Tak seorang pun dari kami mampu,” menunjukkan bahwa hukum perbuatan itu adalah makruh, yang hanya dilakukan dalam keadaan mendesak.

18. Tidak sujud di atas anggota sujud

Hukum sujud di atas anggota sujud adalah haram dan membatalkan salat. Contohnya adalah meletakkan satu tangan di atas tangan yang lain atau meletakkan satu kaki di atas kaki yang lain. Jika hal itu dilakukan, maka ia seolah-olah sujud di atas satu tangan dari dua tangan yang diwajibkan, atau sujud di atas satu kaki dari dua kaki yang diwajibkan.

Bersujud di atas tujuh anggota sujud hukumnya wajib dalam setiap keadaan sujud. Artinya, seseorang tidak boleh mengangkat salah satu atau lebih anggota sujud saat sedang sujud. Jika hal itu dilakukan sepanjang sujud, maka tidak diragukan lagi bahwa sujudnya tidak sah karena ada anggota sujud yang tidak disertakan dalam sujud. Jika hal itu dilakukan di pertengahan sujud, seperti mengangkat salah satu kaki untuk menggaruk kaki lain yang gatal, maka hal itu perlu dicermati lagi. Bisa jadi salatnya tidak sah atau bisa jadi salatnya tetap sah karena yang dijadikan acuan adalah keumumannya dan mana yang lebih dominan. Jika sujud di atas tujuh anggota sujud lebih dominan, maka salatnya sah. Jika sujud tidak di atas tujuh anggota sujud lebih dominan, maka salatnya tidak sah sah karena ia telah meninggalkan rukun tersebut pada sebagian sujud. Oleh karena itu, untuk kehati-hatian, seseorang hendaklah menjaga anggota sujudnya dari terangkat dari tanah. Ia harus bersabar meskipun tangan atau kakinya terasa gatal saat sujud.

Baca juga: POSISI KAKI SAAT BERDIRI

Baca juga: RUKUK DAN TATA CARANYA

Baca juga: ZIKIR-ZIKIR SAAT RUKUK

Baca juga: BANGUN DARI RUKUK

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih