SERUAN ISLAM UNTUK BEKERJA

SERUAN ISLAM UNTUK BEKERJA

Agama Islam mengajarkan umatnya untuk memilih pekerjaan yang baik dan melarang bermalas-malasan. Sangat banyak dalil dari al-Quran dan as-Sunnah yang menjelaskan hal itu.

Allah Ta’ala berfirman:

وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا

Dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS an-Naba’: 11)

Yaitu, Kami menjadikan siang agar kalian bekerja dan mencari penghidupan kalian.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ مَكَّنّٰكُمْ فِى الْاَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ

Dan sungguh Kami telah menempatkan kalian di bumi dan Kami sediakan (sumber) penghidupan untuk kalian. (Tetapi) sedikit sekali kalian bersyukur.” (QS al-A’raf: 10)

Yaitu, Allah Ta’ala mencurahkan nikmat yang sangat banyak kepada manusia, menjelaskan cara-cara mendapatkan rezeki yang banyak, membentangkan dan menundukkan bumi untuk mereka, memudahkan bagi mereka untuk memperoleh sarana pertanian, perindustrian, perdagangan, ilmu pengetahuan dan penerapannya, serta memudahkan bagi mereka untuk memperoleh kesenangan dan pelayanan.

Allah Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ

Dialah yang menjadikan bumi untuk kalian yang mudah dijelajahi. Maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kalian (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS al-Mulk: 15)

Yaitu, bepergianlah kalian ke tempat atau daerah yang kalian kehendaki untuk melakukan berbagai pekerjaan dan perniagaan.

Ketika manusia bekerja untuk mendapatkan harta demi kelangsungan hidup dan memenuhi nafkah wajib yang dibebankan kepadanya, Allah Ta’ala menyamakan derajat mereka yang bekerja untuk mendapatkan harta yang halal dengan para mujahid di jalan Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

لِمَ اَنْ سَيَكُوْنُ مِنْكُمْ مَّرْضٰىۙ وَاٰخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ ۙوَاٰخَرُوْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ

Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kalian orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah, serta yang lain berperang di jalan Allah.” (QS al-Muzzammil: 20)

Di antara faedah yang dapat diambil oleh orang yang bekerja adalah menjaga kehormatan diri, memberi nafkah kepada orang-orang yang wajib dinafkahi seperti orang tua, istri dan anak, juga demi membayar beban yang wajib ditunaikan seperti hutang, kafarat dan nazar, selain sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa seorang laki-laki melintas di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat melihat keteguhan dan keuletan orang itu. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya kekuatan dan keuletannya digunakan untuk berjuang di jalan Allah, tentu hal itu lebih baik baginya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 إَنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَ إَنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ،  فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَ إَنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعُفُّهَا، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَ إَنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاًء وَمُفَا خَرَةً، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ الشَّيْطَانِ

Jika ia keluar untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia keluar untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah renta, maka ia berada di jalan Allah. Jika ia keluar untuk bekerja demi menjaga kehormatan diri sendiri, maka ia berada di jalan Allah. Namun, jika ia keluar untuk bekerja karena riya’ dan untuk menyombongkan diri, maka ia berada di jalan setan.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani)

Hadis ini menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan usaha yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, kedua orang tuanya dan keluarganya sebagai usaha di jalan Allah. Yang dimaksud jalan Allah adalah jalan yang menyampaikannya kepada rida Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukan pekerjaan yang halal sebelum dan sesudah diutus menjadi rasul, yaitu perniagaan. Beliau lebih banyak melakukan perniagaan sebelum diutus menjadi rasul daripada setelahnya. Hal itu karena beliau sibuk dengan wahyu dan dakwah untuk menyampaikan ajaran Islam. Namun demikian, beliau menganjurkan umatnya untuk melakukan pekerjaan yang halal dan mendapatkan harta dengan jalan yang baik. Bahkan beliau senantiasa memotivasi umatnya untuk bekerja dan mengunjungi pasar atau tempat-tempat transaksi jual-beli. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu,

نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang saleh.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi)

Demikianlah, para sahabat selalu berpedoman kepada petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ditemukan dalam sunah atau pendapat sahabat anjuran bermalas-malasan, tidak mencari pekerjaan, berpangku tangan, dan hidup dari belas kasihan orang lain.

Dengan menelaah kisah mereka, kita menemukan bahwa kebanyakan para sahabat radhiyallahu ‘anhuma memiliki pekerjaan dan keahlian untuk mendapatkan harta yang halal. Bahkan Islam mewajibkan bekerja untuk memperoleh harta agar dapat melaksanakan perintah yang diwajibkan. Apabila suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka hukum sesuatu itu menjadi wajib. Oleh karena itu, setiap orang wajib memiliki harta untuk memberikan nafkah atas diri sendiri, istri, anak-anak dan sanak-kerabat, membayar hutang dan lain-lain. Jika seseorang tidak mau bekerja padahal ia sanggup bekerja, maka ia benar-benar telah berbuat zalim kepada diri sendiri.

Said bin al-Musayyab rahimahullah berkata, “Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak menyukai harta, karena harta merupakan alat untuk beribadah kepada Rabb-Nya, menunaikan amanah, menjaga kehormatan dirinya, dan tidak meminta-minta kepada orang lain.”

Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ: الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ

Tiga golongan yang berhak mendapatkan pertolongan Allah, (yaitu) mujahid yang berjuang di jalan Allah, budak mukatab (budak yang membuat perjanjian merdeka dengan majikan dan membayar uang tebusan) yang ingin menebus dirinya, dan orang yang menikah demi menjaga kehormatan dirinya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim)

Hadis ini menyebutkan segala yang dibutuhkan oleh seorang mukmin untuk berjihad di jalan Allah, membebaskan budak, dan menjaga kemaluannya. Hadis ini juga mengabarkan bahwa kewajiban-kewajiban di atas merupakan bagian dari ibadah kepada Allah Ta’ala, meninggikan panji Islam, membayar hutang, menjaga diri dan tidak meminta-minta kepada orang lain yang semua itu tidak terlaksana kecuali dengan harta. Kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan sesuatu, maka hukum sesuatu itu adalah wajib. Barangsiapa tidak mencintai kewajiban yang agung ini dimana agama ini tidak tegak kecuali dengannya, maka tidak ada kebaikan sama sekali pada dirinya.

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tidaklah ajal menjemputku di suatu tempat yang lebih aku cintai daripada ia menjemputku pada saat aku bekerja mencari karunia Allah.”

Ini merupakan seruan untuk bekerja dan berusaha demi mendapatkan harta yang dibolehkan syariat, halal, berasal dari yang disyariatkan, dan diperoleh dengan cara yang benar. Sangat banyak dalil yang melarang seorang muslim memasukkan sesuatu yang haram ke dalam perutnya.

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبٰتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًاۗ اِنِّيْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ

Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh Aku Mahamengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS al-Mukminun: 51)

Said bin Jubair dan adh-Dhahhak menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan makanlah makanan yang baik itu adalah yang halal.

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika kalian hanya menyembah kepada-Nya.” (QS al-Baqarah: 172)

Pada ayat ini, Allah Ta’ala menyuruh hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memakan yang baik-baik, yakni segala yang dihalalkan, dibolehkan dan diizinkan oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala juga memerintahkan agar mereka bersyukur kepada-Nya atas semua karunia yang Dia diberikan, jika mereka benar-benar hamba Allah Ta’ala.

Ungkapan makan pada ayat-ayat tersebut berdasarkan pada pemanfaatannya secara umum, karena pada umumnya segala yang diperoleh seseorang akan dinikmatinya dalam bentuk makanan dan minuman.

Baca juga: MENGAMBIL HARTA YANG DIHALALKAN DAN MENINGGALKAN HARTA YANG DIHARAMKAN

Baca juga: SEGERA TINGGALKAN PEKERJAAN BATIL

Baca juga: DILARANG MELAKUKAN PEKERJAAN YANG BUKAN BIDANGNYA

(Aziz bin Farhan al-Anzi)

Serba-Serbi