MENGANGGAP ENTENG PERKARA YANG MEMBINASAKAN

MENGANGGAP ENTENG PERKARA YANG MEMBINASAKAN

Orang di zaman sekarang menganggap enteng sejumlah perkara yang di masa sahabat radhiuallahu ‘anhuma perkara-perkara itu dianggap besar dan membinasakan.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya kalian melakukan berbagai perbuatan yang dalam pandangan kalian lebih halus dari sehelai rambut, padahal di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menganggapnya perkara-perkara yang membinasakan.” (HR al-Bukhari)

PENJELASAN

Anas bin Malik tergolong sahabat yang berumur panjang. Ia masih hidup setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Usianya sekitar sembilan puluh tahun. Pada masanya perkara-perkara banyak berubah. Mereka menganggap enteng sejumlah perkara yang di masa sahabat radhiyallahu ‘anhum perkara-perkara itu dianggap besar.

Contohnya adalah salat berjamaah. Di zaman para sahabat, tidak seorang sahabat pun berani meninggalkannya kecuali orang munafik dan orang sakit (uzur). Namun, di masa setelah sahabat orang-orang menganggapnya remeh. Bahkan di zaman kita sekarang ini, banyak orang meremehkan salat itu sendiri, bukan hanya salat berjamaah. Mereka tidak salat, atau sesekali salat dan sesekali meninggalkannya, atau salat namun mereka akhirkan dari waktunya. Semua itu dianggap sebagai perkara yang enteng oleh mereka, padahal di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, semua itu dianggap perkara yang membinasakan.

Contoh lain adalah kecurangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kecurangan,

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Barangsiapa melakukan kecurangan, ia bukan termasuk golonganku.” (HR Muslim)

Tetapi lihatlah sekarang ini! Orang-orang melakukan kecurangan dan penipuan dengan gampang. Bahkan sebagian dari mereka mengangap kecurangan sebagai suatu keahlian dan kecerdasan dalam jual beli, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang-orang yang berbuat curang dan menipu.

Contoh lain adalah berdusta. Dusta merupakan perkara besar pada masa sahabat radhiyallahu ‘anhuma. Mereka memandangnya sebagai perkara yang membinasakan. Akan tetapi di zaman sekarang ini sebagian orang menganggap bahwa berdusta merupakan perkara enteng. Sering kita jumpai orang-orang berdusta dan tidak peduli dengan kedustaannya, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

Seseorang sering berdusta dan terbiasa berdusta hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Muslim)

Bahkan sebagian orang berani berdusta dalam perkara-perkara yang berbahaya. Ia mengakui memiliki sesuatu yang bukan miliknya. Ia mengadukannya kepada hakim dan bersumpah atas nama Allah bahwa sesuatu itu miliknya. Orang seperti ini kelak berjumpa dengan Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya.

Masih banyak perkara lain yang dianggap sahabat sebagai pembawa kebinasaan, akan tetapi orang-orang menyelisihinya. Maka jadilah perkara-perkara itu di mata mereka lebih lembut dari sehelai rambut.

Sesungguhnya semakin kuat iman seseorang, semakin besar maksiat dalam pandangannya; semakin lemah iman seseorang, semakin ringan maksiat dalam pandangannya. Orang yang lemah imannya memandang maksiat sebagai perkara yang ringan dan remeh sehingga malas dan tidak peduli dengan kewajibannya.

Baca juga: MAKSIAT BESAR DAN MAKSIAT KECIL

Baca juga: SURGA LEBIH DEKAT DARIPADA TALI SANDAL

Baca juga: TAKWA

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kelembutan Hati