LARANGAN TATHAYYUR, PERDUKUNAN DAN SIHIR

LARANGAN TATHAYYUR, PERDUKUNAN DAN SIHIR

Diriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain secara marfu’:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطِيَّرَ لَهُ، أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكِهِّنَ لَهُ، أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ. وَمَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bukan termasuk golongan kami orang yang melakukan tathayyur atau menyuruh orang lain melakukan tathayyur untuknya, melakukan praktek perdukunan atau menyuruh orang lain melakukan praktek perdukunan untuknya, menyihir atau menyuruh orang lain menyihir untuknya. Barangsiapa mendatangi seorang dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia telah kufur terhadap apa (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR al-Bazzar. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah)

PENJELASAN

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukan termasuk golongan kami.” Kata-kata ini tidak menunjukkan pelakunya keluar dari Islam, tetapi disesuaikan dengan kondisinya.

Sabda beliau, “Melakukan tathayyur.” Tathayyur artinya merasa sial karena sesuatu yang dilihat, didengar, diketahui atau semacamnya. Kata ini berasal dari kata thair yang berarti burung, karena orang Arab dahulu merasa sial atau optimis dengan burung. Hal ini sebagaimana yang dialami sebagian orang ketika hendak melakukan suatu pekerjaan. Ketika baru memulainya, ia terjatuh. Ia pun meninggalkan pekerjaan itu dan merasa sial. Ini tidak boleh dilakukan. Ia harus bersandar dan bertawakal kepada Allah. Selama ia tahu pekerjaan yang ia lakukan baik, ia sebaiknya melakukan pekerjaan itu dan tidak putus asa hanya karena gagal di awalnya. Berapa banyak orang yang gagal pada usaha pertama, namun berhasil pada usaha kedua, ketiga atau keempat.

Konon al-Kisa’i, seorang imam dalam ilmu nahwu, mempelajari ilmu nahwu beberapa kali namun selalu gagal. Ia kemudian melihat sekelompok semut yang membawa biji kurma ke atas dengan menaiki dinding. Tapi biji kurma itu terjatuh. Semut-semut itu mengulanginya berkali-kali sampai akhirnya berhasil membawa biji kurma ke atas dinding. al-Kisai berkata, “Subhanallah! Semut-semut saja bersusah payah mengangkat biji kurma sampai akhirnya berhasil. Kalau begitu, aku harus bersusah payah mempelajari ilmu nahwu sampai berhasil.” al-Kisa’i bersusah payah mempelajari ilmu nahwu sampai akhirnya ia menjadi imam penduduk Kufah di bidang nahwu.

Sabda beliau, “Atau minta dilakukan tathayyur untuknya.” Maksudnya, memerintahkan orang lain melakukan tathayyur untuknya. Misalkan seseorang menghampiri orang lain lalu berkata, “Aku akan bepergian ke tempat ini, dan engkau adalah ahli tathayyur. Tolong engkau halau burungmu agar aku tahu apakah kepergianku ini membawa berkah atau tidak!” Barangsiapa melakukan hal itu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya.

Sabda beliau, “Barangsiapa melakukan tathayyur,” mencakup orang yang melakukan tathayyur untuk diri sendiri atau untuk orang lain.

Sabda beliau, “Melakukan praktek perdukunan atau menyuruh orang lain melakukan praktek perdukunan untuknya.”

Dukun adalah orang yang mengaku mengetahui perkara gaib yang akan terjadi di masa depan. Ia berkata, “Akan terjadi ini dan itu.” Terkadang apa yang dikatakannya benar-benar terjadi. Orang seperti ini adalah orang yang melakukan praktek perdukunan. Anehnya, saat ini banyak menyebar istilah yang diucapkan banyak orang, “Menurut prediksi, si Fulan akan datang.” Mereka mengucapkan kata-kata ini untuk melakukan perbuatan haram atau mubah. Ini tidak sepatutnya dilakukan karena orang awam tidak bisa membedakan prediksi dan ramalan para dukun yang dikiranya mubah. Buktinya, mereka menyebut kata-kata ini sesuatu yang mubah dan jelas diketahui kemubahannya.

Sabda beliau, “Atau menyuruh orang lain melakukan praktek perdukunan untuknya.”Yaitu meminta seorang dukun melakukan praktek perdukunan untuknya, misalkan dengan bertanya kepada seorang dukun, “Apa yang akan aku alami besok, bulan ini, tahun itu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang seperti ini.

Sabda beliau, “Menyihir atau menyuruh orang lain menyihir untuknya.”

Sihir menurut syariat terbagi menjadi dua:

Pertama. ‘Uqad dan ruqa, yaitu bacaan-bacaan dan mantera-mantera yang digunakan oleh penyihir untuk mencelakakan orang yang disihir dengan bantuan setan. Sihir ini termasuk syirik.

Kedua. Obat-obatan yang mempengaruhi badan, akal, kemauan dan kecenderungan orang yang disihir sehingga ia memiliki kecenderungan tertentu. Praktek ini di kalangan penyihir dinamakan sharf (santet) dan ‘athaf (pelet). Dengan santet tubuh seseorang perlahan-lahan melemah hingga akhirnya mati. Di benaknya terbayang berbagai hal yang tidak nyata hingga akhirnya ia menjadi gila. Dengan pelet seorang penyihir membuat seseorang mencintai istrinya atau istri yang lain sehingga ia seperti hewan yang bisa digiring semaunya. Sihir jenis ini merupakan kesewenang-wenangan dan kefasikan

Sabda beliau, “Atau menyuruh orang lain menyihir untuknya.” Yaitu meminta penyihir melakukan sihir untuknya. Di antaranya adalah nusyrah atau menghilangkan pengaruh sihir dengan cara sihir. Praktek ini termasuk dalam hadis ini. Orang Arab pada masa lalu menggunakan nusyrah dalam berbagai bentuk. Di antaranya membawa baskom berisi air, lalu mencampurkan serbuk timah. Serbuk timah tersebut kemudian membentuk wajah penyihir. Masyarakat awam menyebutnya “tuangan serbuk timah.” Ini termasuk salah satu jenis sihir yang diharamkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari pelakunya.

Sabda beliau, “Barangsiapa mendatangi seorang dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,” karena Allah menyebut melalui firman-Nya apa yang diturunkan kepada Muhammad:

قُلْ لَّا يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الْغَيْبَ اِلَّا اللّٰهُ

Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah.” (QS an-Naml: 65)

Baca juga: HARAMNYA MENDATANGI DUKUN ATAU PERAMAL

Baca juga: BOLEHKAH MENDATANGI DUKUN DAN BERTANYA KEPADANYA?

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Akidah