BEBERAPA CATATAN TENTANG ARAH KIBLAT

BEBERAPA CATATAN TENTANG ARAH KIBLAT

Menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah salat. Berikut adalah beberapa catatan setelah sebelumnya disampaikan tentang salat menghadap kiblat.

1️⃣ Penentuan arah kiblat dapat dilakukan dengan cara menyaksikan sendiri Ka’bah, atau melalui berita dari orang yang tsiqah yang yakin, atau dengan jalan ijtihad. Yang dimaksud dengan tsiqah adalah adil dan memiliki ilmu, baik orang itu laki-laki maupun perempuan. Yang dimaksud dengan yakin adalah menyaksikan kiblat, seperti karena orang itu penduduk negeri tersebut. Sedangkan yang di maksud dengan ijtihad adalah mengetahui arah dengan tanda-tanda dan bukti-bukti.

Arah kiblat juga dapat diketahui melalui petunjuk-petunjuk yang dikenal baik oleh masyarakat, seperti mihrab yang berada di dalam masjid, atau dengan bintang-bintang bagi orang yang punya ilmu tentang itu, atau dengan matahari, bulan, serta orbit matahari dan bulan bagi orang yang punya ilmu tentang itu. Di antara petunjuk yang biasa digunakan saat ini adalah kompas.

2️⃣ Jika dua orang mujtahid berijtihad lalu keduanya berbeda dalam menentukan arah kiblat, maka salah seorang dari keduanya tidak boleh mengikuti ijtihad yang lainnya. Mereka salat ke arah yang sesuai dengan ijtihad masing-masing.

Dari Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan di malam yang gelap gulita. Kami tidak mengetahui arah kiblat. Maka masing-masing dari kami melakukan salat sesuai dengan keyakinan masing-masing. Di pagi hari, kami menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka turunlah ayat,

فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ

Kemana saja kamu menghadap maka di sanalah wajah Allah.” (QS al-Baqarah: 115) (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ulama berbeda pendapat dengan dua pendapat tentang apakah keduanya diperbolehkan melakukan salat jamaah dengan arah kiblat yang berbeda? Syekh al-‘Utsaimin mengunggulkan pendapat yang membolehkan.

3️⃣ Jika bersama dua mujtahid tersebut seorang mukalid, maka mukalid harus mengikuti mujtahid yang menurutnya paling tsiqah.

4️⃣ Jika seseorang salat tanpa ijtihad atau taklid lalu ternyata keliru (yaitu ia mendapatkan dirinya tidak mengarah ke kiblat), maka ia mesti mengulangi salatnya. Jika ternyata benar, maka ia tidak perlu mengulang.

Jika ia salat dengan hasil ijtihadnya lalu seorang yang tsiqah lagi yakin memberitahukannya bahwa ia keliru arah, maka ia mesti berputar (ke arah yang benar) sambil terus menyempurnakan salatnya. Adapun jika pemberitahuan itu juga bersumber dari hasil ijtihad, maka tidak ada keharusan baginya untuk mengikutinya.

Begitu juga dengan orang yang menyadari bahwa dirinya telah melakukan kesalahan (arah kiblat) di tengah-tengah salat, maka hendaklah ia berputar untuk menghadap ke arah yang dianggapnya benar.

5️⃣ Jika seseorang berijtihad pada sebagian salatnya lalu ia salat dengan hasil ijtihadnya itu, kemudian ragu dalam ijtihadnya, maka hendaklah ia mengulangi ijtihadnya sekali lagi. Tidak ada keharusan baginya untuk mengulangi salat-salat yang telah lalu hingga sekalipun hasil ijtihad yang kedua berbeda dengan yang pertama.

6️⃣ Ada beberapa keadaan yang seseorang diperbolehkan tidak menghadap kiblat. Di antaranya adalah:

Pertama: Orang yang lemah, seperti orang sakit yang tidak dapat bergerak dan tidak ada orang lain di sekitarnya yang mengarahkannya ke kiblat. Hal ini berdasarkan dengan firman Allah:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS at-Taghabun: 16)

Kedua: Ketika dalam keadaan yang sangat takut, berdasarkan dengan firman Allah Ta’ala:

فَاِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا اَوْ رُكْبَانًا

Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS al-Baqarah: 239)

Ibnu Umar berkata, “Jika ketakutan lebih besar dari itu, maka salatlah kalian dengan berdiri atau di atas kendaraan, baik menghadap kiblat ataupun tidak.”

Nafi’ berkata: Menurutku, Ibnu Umar tidak mengatakan itu kecuali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR al-Bukhari)

Syekh al-‘Utsaimin berkata, “Jika seseorang lari dari musuh, dari kejaran air bah, kebakaran, gempa atau yang semisalnya, maka gugurlah kewajiban menghadap kiblat baginya.”

Pada semua kejadian di atas, jika masih memungkinkan untuk menghadap ke kiblat maka hendaklah ia menghadap ke kiblat.

Ketiga: Salat sunah bagi yang sedang berkendaraan dalam perjalanan.

Dari lbnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah salat di atas kendaraannya dengan menghadap ke mana saja kendaraannya menghadap. Beliau juga pernah salat witir di atas kendaraannya. Hanya saja beliau tidak pernah melakukan salat fardu di atas kendaraannya.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

Jika mampu, maka hendaklah ia menghadap kiblat saat takbiratul ihram, berdasarkan hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bepergian kemudian ingin salat sunah, maka beliau menghadapkan untanya ke arah kiblat. Beliau bertakbir kemudian salat menghadap ke arah mana saja kendaraannya menghadap. (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, ad-Daruquthni, dan ath-Thabrani)

Aku berkata, “Hendaklah ia memberi isyarat pada waktu sujud dan rukuk. Apabila ia tidak mampu menghadap ke kiblat sewaktu takbiratul ihram, maka ia boleh bertakbir ke arah mana saja yang mudah baginya.”

Baca juga: SALAT MENGHADAP KIBLAT

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih