PENDEK ANGAN-ANGAN

PENDEK ANGAN-ANGAN

Pendek angan-angan adalah menyadari dekatnya perjalanan dan cepat habisnya kehidupan. Hal ini termasuk perkara yang paling bermanfaat bagi hati. Ia dapat memotivasi diri untuk memanfaatkan kesempatan hidup yang berjalan secepat awan, bergegas menutup lembaran-lembaran amal, membangkitkan keinginan untuk terbang ke negeri yang kekal, mempersiapkan bekal perjalanan, menyusul apa yang luput darinya, mendorong zuhud di dunia, dan membuat cinta akhirat.

Allah Ta’ala berfirman:

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوْا وَيَتَمَتَّعُوْا وَيُلْهِهِمُ الْاَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ

Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan, bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS al-Hijr: 3)

Maksudnya, biarkanlah mereka hidup bagaikan binatang ternak yang hanya memperhatikan makanan dan syahwat.

Firman-Nya, “Wayulhihimul amalu” (dan dilalaikan oleh angan-angan kosong). Maksudnya, mereka dilalaikan oleh panjang angan-angan dan umur, lalai dari pencapaian keinginan dan stabilitas iman, serta lalai dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.

Di dalam Fathul Bari, al-Hafizh rahimahullah berkata, “Ini merupakan peringatan bahwa mengutamakan kenikmatan, bersenang-senang dengannya, dan segala hal yang ditimbulkan oleh panjang angan-angan bukanlah termasuk etika orang yang beriman.”

Allah Ta’ala berfirman:

وَاَنْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَآ اَخَّرْتَنِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۚ فَاَصَّدَّقَ وَاَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang dari kalian, lalu berkata, ‘Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat sehingga aku dapat bersedekah dan termasuk orang-orang yang saleh?’” (QS al-Munafiqun: 10)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَاَنِيْبُوْٓا اِلٰى رَبِّكُمْ وَاَسْلِمُوْا لَهٗ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُوْنَ؛ وَاتَّبِعُوْٓا اَحْسَنَ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَّاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ؛ اَنْ تَقُوْلَ نَفْسٌ يّٰحَسْرَتٰى عَلٰى مَا فَرَّطْتُّ فِيْ جَنْۢبِ اللّٰهِ وَاِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِيْنَۙ؛ اَوْ تَقُوْلَ لَوْ اَنَّ اللّٰهَ هَدٰىنِيْ لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ؛ اَوْ تَقُوْلَ حِيْنَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ اَنَّ لِيْ كَرَّةً فَاَكُوْنَ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan kembalilah kalian kepada Rabb kalian, dan berserah-dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepada kalian, kemudian kalian tidak dapai ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian sebelum datang azab kepada kalian dengan tiba-tiba, sedangkan kalian tidak menyadarinya. Supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedangkan aku termasuk orang-orang yang memperolok-olok (agama Allah).’ Atau supaya jangan ada yang berkata, ‘Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.’ Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab, ‘Kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik.’” (QS az-Zumar: 54-58).

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah garis dan bersabda,

هَذَا الْإِنْسَانُ

Ini manusia.”

Beliau membuat garis lagi di sebelahnya dan bersabda,

وَهَذَا أَجَلُهُ

Ini ajalnya.”

Lalu beliau membuat garis lain yang jauh darinya, kemudian bersabda,

هَذَا الْأَمَلُ.  فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ جَاءَهُ الْخَطُّ الْأَقْرَبُ

Ini angan-angannya. Ketika ia masih dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datanglah kepadanya garis yang lebih dekat.” (HR al-Bukhari)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً

Allah memberi uzur (keringanan) kepada seseorang dengan menangguhkan ajalnya hingga umur enam puluh tahun.” (HR al-Bukhari, Ahmad, dan al-Hakim)

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ المَوْتَ. إِمَّا مُحْسِنًا، فَلَعَلَّهُ أَنْ يَزْدَادَ خَيْرًا. وَإِمَّا مُسِيئًا، فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعْتِبَ

Janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian, sebab mungkin saja ia orang yang baik, sehingga ia bisa menambah kebaikannya; dan mungkin saja ia orang yang buruk, sehingga ia bisa bertobat.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah memegang kedua pundakku, kemudian bersabda,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang dalam perjalanan.”

Ibnu Umar berkata, “Jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu datangnya sore hari. Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu datangnya pagi hari. Gunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, dan gunakanlah masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR al-Bukhari)

Hadis ini merupakan dasar dalam memendekkan angan-angan di dunia. Sebab, tidak sepatutnya orang yang beriman menjadikan dunia sebagai tempat tinggal yang ia merasa nyaman di dalamnya. Sepatutnya ia seperti orang yang sedang menempuh perjalanan.

Banyak pesan dari para nabi dan pengikutnya yang menunjukan hal itu. Allah Ta’ala menceritakan perihal orang mukmin keluarga Fir’aun dalam firman-Nya:

اِنَّمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ ۖوَّاِنَّ الْاٰخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ

Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara), dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS Ghafir: 39).

Jika dunia bukan tempat tinggal bagi kaum mukminin, maka keadaan mereka di dalamnya ada dua macam: Ia seperti orang asing yang tinggal di negeri asing yang tujuannya hanya mencari bekal untuk kembali ke negerinya; atau ia seperti seorang musafir yang tidak sedetik pun tinggal di dalamnya. Ia terus berjalan siang dan malam menuju negeri tempat tinggalnya. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Ibnu Umar agar keadaannya di dunia selalu dalam salah satu dari dua keadaan berikut:

Pertama. Hendaklah seorang mukmin membiarkan dirinya seperti orang asing di dunia yang berkhayal untuk menetap, namun ia berada di negeri asing. Hatinya sama sekali tidak terikat dengan negeri asing tersebut. Hatinya hanya terpaut dengan negerinya yang akan menjadi tempat kembalinya kelak. Ia tidak mempunyai keinginan kecuali mencari bekal yang bermanfaat untuk kembali ke negerinya.

al-Hasan berkata, “Orang mukmin adalah seperti orang asing. Ia tidak bersedih karena kerendahannya dan tidak bersaing demi meraih kemuliaannya. Ia memiliki urusan sendiri dan orang lain pun memiliki urusan sendiri.”

Ketika Adam diciptakan, ia dan istrinya ditempatkan di dalam Surga. Kemudian, ia diturunkan dari Surga. Akan tetapi, ia dan keturunannya yang saleh dijanjikan akan kembali ke Surga. Karena itu, selamanya orang mukmin akan rindu dengan negerinya yang pertama.

Kedua. Hendaklah orang mukmin menjadikan dirinya di dunia seakan-akan seorang musafir dan tidak tinggal menetap di dalamnya. Ia hanya berjalan menempuh perjalanannya dan tidak punya banyak keinginan untuk mencari harta dunia.

Seseorang berkata kepada Muhammad bin Wasi, “Bagaimana kabarmu?” Muhammad bin Wasi menjawab, “Bagaimana pendapatmu dengan orang yang setiap hari menempuh perjalanan menuju akhirat.”

al-Hasan berkata, “Sesungguhnya engkau hanyalah hari-hari yang terhimpun. Setiap kali hari berlalu, sebagianmu juga berlalu.” al-Hasan juga berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau berada di antara dua kendaraan cepat yang mengantarkanmu. Malam mengantarkanmu kepada siang, dan siang mengantarkanmu kepada malam, hingga keduanya menyampaikanmu kepada akhirat. Lantas, siapakah yang lebih besar bahayanya daripada kamu?”

Sebagian orang bijak berkata, “Bagaimana orang bisa bahagia dengan dunia, sementara harinya membinasakan bulan, bulannya membinasakan tahun, dan tahunnya membinasakan umur,”

al-Fudhail bin ‘Iyadh bertanya kepada seseorang, “Berapa umurmu?” Orang itu menjawab, “Enam puluh tahun.” al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Engkau sejak umur enam puluh tahun berjalan menuju Rabb-mu dan hampir sampai.” Maka, orang itu berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”

al-Fudhail bertanya, “Apakah engkau tahu arti ucapanmu, ‘Inna lillahi wa innii ilaihi raji’un?’ Barangsiapa mengetahui bahwa ia adalah hamba Allah dan akan kembali kepada-Nya, hendaklah ia tahu bahwa ia akan diberhentikan. Barangsiapa mengetahui bahwa dirinya akan diberhentikan, hendaklah ia tahu bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban. Barangsiapa mengetahui bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban, hendaklah ia menyiapkan pertanggungjawaban tersebut.”

Orang tersebut kemudian bertanya, “Lalu, apa solusinya?” al-Fudhail menjawab, “Yang termudah.” Orang itu kembali bertanya, “Apakah itu?” al-Fudhail menjawab, “Perbaikilah apa yang tersisa dari umurmu, maka dosa-dosamu yang telah lalu akan diampuni. Sesungguhnya jika kamu berbuat jelek pada sisa umurmu, maka kamu telah menghabiskan umurmu yang telah lalu dan yang tersisa.”

al-Hasan berkata, “Tiga orang ulama berkumpul. Mereka bertanya kepada salah seorang dari mereka, ‘Apa angan-anganmu?’ Ia menjawab, ‘Tidaklah aku memasuki suatu bulan, kecuali aku mengira bahwa aku akan mati di dalamnya.’ Kedua sahabatnya berkata, ‘Inilah yang disebut angan-angan.’

Keduanya bertanya kepada salah seorang dari mereka, ‘Apa angan-anganmu?’ Ia menjawab, ‘Tidaklah aku memasuki Jumat, kecuali aku mengira bahwa aku akan meninggal di dalamnya.’ Kedua sahabatnya berkata, ‘Inilah angan-angan.’

Kemudian keduanya bertanya kepada yang lain, ‘Apa angan-anganmu?’ Ia menjawab, ‘Tidak ada angan-angan diri sendiri yang berada di tangan orang lain.’”

Bakar al-Muzanni berkata, “Jika engkau menginginkan salatmu berguna bagimu, katakanlah, ‘Mungkin aku tidak akan melaksanakan salat lagi setelah ini.’”

Makruf al-Karkhi mendirikan salat, lalu ia berkata kepada seseorang, “Majulah dan salatlah bersama kami!” Orang itu berkata, “Sungguh, jika aku menunaikan salat ini bersama kalian, maka aku tidak akan menunaikan salat yang lain bersama kalian.” Makruf berkata, “Dan nafsumu berkata kepadamu, engkau akan melaksanakan salat yang lain. Kami berlindung kepada Allah dari panjang angan-angan, karena ia bisa mencegah perbuatan baik.”

Baca juga: PANJANG ANGAN-ANGAN

Baca juga: TAKUT KEPADA DUNIA

Baca juga: SIFAT KANAAH

(Dr Ahmad Farid)

Kelembutan Hati