PEMBATAL-PEMBATAL WUDHU

PEMBATAL-PEMBATAL WUDHU

1. Tiap-tiap yang Keluar dari Dua Jalur (Kemaluan dan Dubur)

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata, “Ahli ilmu sepakat bahwa keluarnya kotoran (feses) dari lubang dubur, keluarnya air kencing dari kemaluan laki-laki atau perempuan, keluarnya wadi dan mazi, keluarnya gas (flatus) dari lubang dubur, serta hilangnya akal dalam bentuk apa pun adalah hadas. Setiap hadas tersebut membatalkan kesucian dan harus berwudhu.”

Dalil-dalil untuk hadas di atas adalah sebagai berikut:

Dalil untuk keluarnya feses dan air kencing adalah berdasarkan firman Allah Ta’ala:

اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ

…atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air.” (QS an-Nisa: 43)

Begitu juga dalam hadis dari Shafwan tentang pengusapan di atas khuf, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami ketika kami bersafar (bepergian) untuk tidak melepas khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena janabah, tetapi karena buang air besar, kencing, dan tidur. (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam al-Irwa)

Keduanya adalah dalil wajibnya berwudhu karena keluarnya air kencing dan kotoran (tinja).

Dalil untuk keluarnya gas (flatus) adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تُقْبَلُ اللهُ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian apabila berhadas hingga ia berwudhu.”

Seseorang dari Hadhramaut bertanya, “Apakah hadas itu, wahai Abu Hurairah?” Dia menjawab, “Kentut (buang angin) yang tidak berbunyi dan kentut yang berbunyi.”  (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)

Dalil tentang keluarnya mazi terdapat dalam hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu, di mana dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mazi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَوَضَأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ

Berwudhulah dan cucilah kemaluanmu.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Dalil tentang keluarnya wadi terdapat dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Dia berkata, “Mani, wadi, mazi. Adapun mani, padanya terdapat kewajiban mandi. Sedangkan wadi dan mazi, pada keduanya terdapat kewajiban berwudhu dan mencuci kemaluannya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan al-Baihaqi)

Beberapa Catatan:

🏀 Jika sesuatu yang biasanya tidak keluar dari dubur, seperti cacing, kerikil, atau yang semisal dengannya keluar dari dubur, maka hal itu membatalkan wudhu menurut pendapat kebanyakan ahli ilmu.

🏀 Jika sesuatu dimasukkan ke dalam kemaluan atau dubur, kemudian dikeluarkan kembali, maka ia wajib berwudhu, karena benda yang dikeluarkan tadi tidak terhindar dari rembesan najis.

🏀 Jika air kencing atau feses keluar dari selain dua jalur (lubang kemaluan dan dubur), tetap ada kewajiban berwudhu menurut pendapat yang unggul, berdasarkan pada hadis Shafwan yang menyatakan, “…tetapi karena buang air besar, kencing, dan tidur.” Keluarnya berlaku secara umum, baik dari tempat yang biasa keluar (lubang kemaluan dan dubur) maupun dari tempat lainnya.

2. Tidur

Berdasarkan hadis dari Shafwan bin Assal, salah satu pembatal wudhu adalah tidur.

Terdapat banyak hadis yang semakna dengan hadis dari Shafwan tersebut, di antaranya adalah hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَيْنَانِ وِكَاءُ السَّهِ ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

Mata adalah pengikat dubur. Barangsiapa tidur, hendaklah ia berwudhu.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Makna as-sahi adalah lubang dubur, sedangkan makna al-wika’ adalah pengikat.

Hadis ini tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat pernah menunggu shalat Isya hingga kepala mereka terangguk-angguk (karena mengantuk), kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan semisalnya)

Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Lalu mereka meletakkan rusuk-rusuk mereka,” yaitu di atas tanah. Dan dalam riwayat lain di sisi at-Tirmidzi disebutkan, “Hingga terdengar suara dengkuran mereka.”

Makna al-ghathith adalah suara nafas orang yang tidur (dengkuran yang dalam dan berat), dan an-nakhir (dengkuran yang lebih melengking).

Hadis-hadis di atas dapat dikompromikan dengan pemahaman bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur pulas yang menyebabkan hilangnya kesadaran secara total. Adapun permulaan tidur sebelum mencapai tidur pulas, tidak membatalkan wudhu.

Beberapa peringatan:

🏀 Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa hilangnya akal disebabkan oleh gila, pingsan, mabuk karena khamar, mabuk karena an-nabidz (minuman anggur), mabuk karena ganja, atau mabuk karena obat, semuanya membatalkan wudhu, baik sedikit maupun banyak, tetap kokoh di tempat duduknya atau tidak.”

🏀 Imam an-Nawawi berkata, “Sahabat-sahabat kami mengatakan bahwa di antara kekhususan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa wudhu beliau tidak batal disebabkan tidur berbaring. Hal ini berdasarkan hadis sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidur hingga kami mendengar dengkurannya, kemudian beliau shalat dan tidak berwudhu lagi.’” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

3. Menyentuh Kemaluan

Wajib berwudhu karena menyentuh kemaluan, baik laki-laki maupun perempuan, baik menyentuh dengan telapak tangan maupun dengan punggung tangan, kecuali jika di antara keduanya terdapat penghalang. Ketetapan ini didasarkan pada hadis dari Bushrah binti Shafwan radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasululla shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلَ يُصَلِّ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka ia tidak boleh shalat sehingga ia berwudhu.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan ia mensahihkannya, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

dan dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ، فَلْيَتَوَضَّأْ. وَأَيُّمَا إِمْرَأَةٌ مَسَّتْ فَرْجَهَا، فَلْتَتَوَضَّأْ

Laki-laki mana pun yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu. Perempuan mana pun yang menyentuh farjinya, hendaklah ia berwudhu.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad dan ad-Daruquthni)

Adapun hadis Thalq bin Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyentuh zakarnya, apakah ada kewajiban wudhu atasnya?

Beliau bersabda,

لَا، إِنَّمَا هُوَ بِضْعَةٌ مِنْكَ

Tidak, (karena zakar) hanya sepotong daging dari tubuhmu.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, an-Nasa-i, dan Ibnu Hibban. Disahihkan oleh Syekh al-Syaikh al-Albani. Lihat Tamamul Minnah)

Ibnu Hibban menjelaskan di dalam kitab sahihnya bahwa kedatangan Thalq bin Ali adalah pada waktu pembangunan Masjid Madinah. Setelah itu, ia keluar dari Madinah dan tidak diketahui lagi kedatangannya. (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban.)

Sedangkan hadis Busrah juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yang termasuk orang yang belakangan masuk Islam. Keterangan ini menguatkan pendapat yang menyatakan terhapusnya hadis Thalq.

Selain itu, hadis Thalq adalah pembolehan (ibahah), sedangkan hadis Busrah adalah larangan (hadhar). Kaidah menyebutkan bahwa apabila terjadi benturan antara larangan dan pembolehan, maka larangan lebih didahulukan.

Yang benar dalam permasalahan ini adalah bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu, baik karena dorongan syahwat maupun bukan dorongan syahwat, kecuali jika terdapat penghalang. Karena yang zahir dari sabda beliau, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya,” menunjukkan bahwa al-mash adalah menyentuh langsung anggota tersebut.

Terdapat juga hadis yang semakna dengan ini, yaitu hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى ذّكَرَهُ لَيْسَ بَيْنَهُمَا شَيْئٌ، فَلْيَتَوَضَّأ

Apabila salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya ke kemaluannya tanpa penghalang di antara keduanya, maka hendaklah ia berwudhu.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah ash-Sahihah)

Adapun menyentuh dua testis (biji pelir) atau lubang dubur, hal itu tidak membatalkan wudhu karena konteks hadis menyebutkan adz-dzakar (kemaluan laki-laki) atau al-farj (kemaluan perempuan). Sudah dimaklumi bahwa dua testis dan lubang dubur tidak digolongkan sebagai kemaluan.

4. Makan Daging Unta

Makan daging unta membatatalkan wudhu, baik daging mentah, dimasak, dipanggang, atau sifat-sifat lainnya.

al-Khaththabi berkata, “Umumnya ahli hadis berpendapat seperti ini, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Mestikah aku berwudhu karena makan daging kambing?’”

Beliau bersabda,

إِنْ شِئْتَ تَوَضَّأْ، وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ

Jika engkau mau, maka berwudhulah. Jika engkau tidak mau, maka tidak perlu berwudhu.”

Orang itu bertanya lagi, “Mestikah aku berwudhu karena makan daging unta?”

Beliau bersabda,

نَعَمْ، تَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ

Ya, kamu mesti berwudhu karena makan daging unta.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami berwudhu karena makan daging unta.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam al-Misykat)

Yang tampak dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “daging unta” adalah mencakup seluruh bagian tubuh unta. Dengan demikian, seseorang wajib berwudhu jika makan hati unta, punuk unta, babat unta, dan lain-lain. Adapun susu unta tidak termasuk di dalamnya, karena susu unta bukan daging dan tidak tercakup oleh kata ‘daging’.

5. Menyentuh Perempuan

Menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu, baik dengan perempuan yang ada ikatan mahram dengannya maupun dengan perempuan asing. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Dahulu aku pernah tidur di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud, beliau memegangku, lalu aku menarik kedua kakiku. Apabila beliau berdiri, aku luruskan kembali kedua kakiku.”

Aisyah menjelaskan, “Rumah-rumah pada saat itu tidak memiliki lampu.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa-i)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Pada suatu malam aku pernah kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur. Aku pun mencarinya. Lalu tanganku mengenai kedua punggung kakinya yang tegak. Beliau saat itu tengah shalat di masjid seraya berdoa, ‘Ya Allah aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu.’” (HR Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium salah seorang istrinya, kemudian beliau shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu. (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah.)

Adapun berdalil dengan firman Allah Ta’ala yang terdapat di dalam ayat wudhu, “atau kamu menyentuh perempuan,” (QS al-Maidah: 6) bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudhu, maka jawabannya adalah: “Menurut pendapat yang benar, maksud dari menyentuh di sini adalah berjimak, karena kata ‘al-mulamasah’ terjadi di antara dua orang. Hal ini telah ditetapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan beliau telah memaparkan makna al-mulamasah di dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa dengan pemaparan yang baik. Maka merujuklah ke sana jika kamu mau.”

Peringatan penting:

Pembahasan tentang tidak batalnya wudhu akibat menyentuh perempuan bukan berarti bahwa seorang laki-laki boleh berjabat tangan dengan perempuan lain. Berjabat tangan dengan perempuan lain adalah haram berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ فَزِنَاهُمَا الْبَطْشُ

Kedua tangan berzina dan zinanya adalah menyentuh.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ

Ditusuk kepala seseorang di antara kalian dengan jarum dari besi adalah lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.” (HR ath-Thabrani. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah)

Baca juga: MAKNA DAN KEUTAMAAN BERWUDHU

Baca juga: FARDHU-FARDHU WUDHU

Baca juga: ITSAR – MENDAHULUKAN ORANG LAIN DARIPADA DIRI SENDIRI

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih