KISAH NABI NUH – WASIAT KEKAFIRAN DARI GENERASI KE GENERASI

KISAH NABI NUH – WASIAT KEKAFIRAN DARI GENERASI KE GENERASI

Generasi demi generasi terus berganti. Setiap generasi berwasiat kepada generasi berikutnya agar tetap memerangi dakwah Nuh dan ingkar.

Orang-orang terkemuka di antara mereka berteriak kepada kaumnya, “Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr’.” (QS Nuh: 23)

Bahkan ketika seorang anak sudah menginjak usia balig dan mampu memahami kata-kata orang tuanya, si orang tua berwasiat kepada anaknya agar tidak beriman kepada Nuh seumur hidup. Akibatnya mereka hanya melahirkan manusia yang keji dan ingkar. Setiap generasi baru muncul, kesewenang-wenangan dan kezaliman mereka lebih parah dari generasi sebelumnya.

Setelah melalui rentang waktu 950 tahun, manusia terbagi menjadi dua golongan: Pertama adalah golongan orang-orang yang beriman yang merupakan kaum yang lemah, dan kedua adalah golongan orang-orang kafir yang merupakan kaum yang kuat kekafiran dan kuantitasnya. Golongan kedua ini memperlihatkan dengan terang-terangan parit kekafirannya, “Wahai Nuh, sungguh kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan, jika kamu termasuk orang yang benar.” (QS Hud: 32)

Nuh berkata, “Hanya Allah yang akan mendatangkan azab kepada kalian jika Dia menghendaki, dan kalian tidak akan dapat melepaskan diri. Dan nasihatku tidak akan bermanfaat bagi kalian sekali pun aku ingin memberi nasihat kepada kalian jika Allah hendak menyesatkan kalian.” (Hud: 33-34)

Nuh mengalami berbagai penganiyaan dari kaumnya. Mereka mengancam Nuh, “Wahai Nuh, sungguh, jika kamu tidak (mau) berhenti, niscaya kamu termasuk orang yang dirajam (dilempari batu sampai mati).” (asy-Syu’ara: 116)

Bahkan Nuh mengalami penganiyaan dari seorang anak kecil. Ketika itu seorang laki-laki melintas bersama anaknya. Dia bertumpu pada sebuah tongkat.

Laki-laki itu berkata kepada anaknya sambil menunjuk ke arah Nuh, “Anakku, lihatlah orang tua itu. Janganlah dia sampai memperdaya kamu.”

Anaknya berkata, “Ayah, berikanlah tongkat itu kepadaku!”

Ayahnya memberikan tongkat yang ia pegang kepada anaknya. Lalu si anak berkata, “Turunkanlah aku, Ayah!”

Si ayah menurunkan anaknya di tanah. Si anak berjalan menghampiri Nuh lalu memukulnya dengan tongkat.

Nuh juga dipukul oleh kaumnya, dibalut dengan bulu tebal, kemudian diletakkan di depan rumahnya hingga mereka mengira dia sudah tidak bernyawa. Namun setelah itu, Nuh pergi kepada kaumnya dan kembali menyeru mereka, hingga ia berputus asa dari keimanan kaumnya.

Nuh berkata, “Ya Rabb, Engkau melihat apa yang dilakukan oleh hamba-hamba-Mu kepadaku. Jika Engkau memiliki keperluan terhadap hamba-hamba-Mu, maka berilah mereka petunjuk. Tapi jika Engkau tidak memiliki keperluan, maka berilah aku kesabaran sampai Engkau memutuskan perkara antara aku dan mereka. Engkau adalah sebaik-baik pemutus perkara.”

Allah kemudian mewahyukan kepada Nuh, “Ketahuilah, tidak akan beriman di antara kaummu kecuali orang yang benar-benar beriman (saja). Karena itu, janganlah engkau bersedih hati tentang apa yang mereka perbuat.” (QS Hud: 36)

Firman Allah itu menjadi perlipur lara bagi Nuh atas apa yang telah dilakukan kaumnya terhadap dirinya bahwa tidak akan beriman dari mereka kecuali orang-orang yang memang sudah beriman. Artinya, janganlah engkau putus asa atas apa yang engkau alami karena sesungguhnya kemenangan sudah dekat, dan berita besar segera tiba.

Baca sebelumnya: PERSEKONGKOLAN ORANG-ORANG TERKEMUKA

Baca sesudahnya: MEMBUAT KAPAL

(Dr Hamid Ahmad ath-Thahir)

Kisah