NIAT MENJADI IMAM DAN MAKMUM

NIAT MENJADI IMAM DAN MAKMUM

Salat berjamaah membutuhkan paling sedikit dua orang. Orang yang satu menjadi imam dan orang yang lain menjadi makmum. Jika jumlah orang lebih banyak, maka hal itu lebih dicintai oleh Allah Ta’ala.

Hukum niat menjadi imam dan makmum adalah wajib, sesuai kesepakatan para ulama. Jika kamu masuk ke suatu salat berjamaah, maka kamu harus berniat menjadi makmum bagi orang yang kamu ikuti.

Niat bukanlah perkara yang sulit. Orang yang datang ke masjid untuk salat bejamaah secara otomatis sudah berniat menjadi makmum. Orang yang berkata kepada orang lain, “Salatlah bersamaku” sudah berniat menjadi imam.

Mengenai niat imam, para ulama berbeda pendapat, apakah ia harus berniat menjadi imam atau tidak. Sebagian ulama mengatakan bahwa ia harus berniat menjadi imam. Dengan demikian, jika dua orang datang ke masjid dan mendapati seseorang baru salat, lalu keduanya berniat untuk menjadikan orang itu sebagai imam bagi keduanya, lalu keduanya membuat saf di belakangnya sedangkan orang itu tidak tahu bahwa ia dijadikan imam oleh keduanya, maka -bagi ulama yang berpendapat wajibnya imam untuk berniat menjadi imam- salat kedua orang ini tidak sah, karena imam tidak berniat menjadi imam. Adapun bagi orang yang berpendapat tidak disyaratkan bagi imam untuk berniat menjadi imam, maka salat keduanya sah, karena keduanya menjadi makmum baginya.

Pendapat pertama adalah pendapat yang masyhur dari kalangan mazhab imam Ahmad. Pendapat kedua adalah pendapat mazhab imam Malik. Imam Malik berdalil dengan peristiwa yang terjadi di suatu malam bulan Ramadan dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam salat sendirian. Tiba-tiba orang-orang masuk ke masjid dan salat di belakang beliau. Jelaslah di sini bahwa pada awalnya Nabi mengerjakan salat tanpa niat menjadi imam. Mereka juga berdalil bahwa pada suatu malam Ibnu Abbas menginap di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Nabi bangun untuk salat malam, beliau salat sendirian. Kemudian Ibnu Abbas bangun, berwudu dan salat dengan bermakmum kepada beliau.

Tidak diragukan lagi bahwa pengambilan dalil untuk dijadikan pegangan oleh pihak dengan pendapat kedua adalah tidak tepat, karena pada kedua kasus tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat menjadi imam. Beliau berniat menjadi imam di pertengahah salat, dan hal ini diperbolehkan.

Kami berpendapat bahwa jika dua orang datang kepada orang yang tengah mengerjakan salat dan ingin menjadikannya imam, hendaklah mereka memberi tahu orang itu. Jika orang itu diam, berarti ia setuju. Jika orang itu menolak dengan memberi isyarat dengan tangannya agar tidak salat di belakangnya, maka mereka tidak boleh salat di belakangnya. Ini adalah cara yang lebih berhati-hati dan lebih utama.

Apakah salat imam disyaratkan sama dengan salat makmum? Apa hukum orang yang salat fardu yang bermakmum dengan orang yang salat sunah atau sebaliknya?

Jawabannya adalah bahwa orang yang salat sunah boleh bermakmum dengan orang yang salat fardu, sebab ada sunah yang melandasinya.

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan salat Subuh di masjid al-Khaif di Mina. Begitu selesai, beliau mendapati dua orang tidak ikut salat berjamaah bersama beliau. Beliau bersabda, “Apa yang mencegah kalian untuk salat bersama kami?” Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, kami sudah salat di rumah kami.” (Mereka salat di rumah karena sebab, seperti mengira mereka tidak akan mendapatkan salat berjamaah).

Beliau bersabda,

 إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ، فَصَلِّيَا مَعَهُمْ. فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَ

Jika kalian berdua telah salat di rumah, kemudian datang ke masjid dimana orang-orang sedang salat berjamaah, maka salatlah kalian bersama mereka. Salat itu akan menjadi sunah bagi kalian.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, ad-Darimi, an-Nasa-i, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, ath-Thahawi dan selainnya)

Apakah yang dimaksud dengan ‘fainnaha’ (maka ia) adalah salat yang pertama, ataukah salat yang kedua?

Jawabnya adalah salat yang kedua. Hal itu karena salat yang pertama adalah salat fardu yang telah dikerjakan di rumah yang tanggung jawabnya telah lepas. Oleh karena itu, jika makmum mengerjakan salat sunah sedangkan imam mengerjakan salat fardu, maka hal itu tidak mengapa, sebagaimana dijelaskan pada hadis di atas.

Jika imam mengerjakan salat sunah dan makmum mengerjakan salat fardu, seperti yang terjadi pada bulan Ramadan dimana orang yang datang terlambat untuk salat Isya mendapati orang-orang tengah melaksanakan salat Tarawih, bolehkah ia ikut berjamaah dengan niat salat Isya, ataukah ia salat Isya sendirian kemudian salat Tarawih?

Jawabnya adalah bahwa permasalahan ini diperselisihkan oleh para ulama. Di antara mereka berpendapat bahwa salat orang yang mengerjakan salat fardu yang bermakmum dengan orang yang mengerjakan salat sunah adalah tidak sah karena derajat salat fardu adalah lebih tinggi daripada derajat salat sunah. Tidak mungkin derajat salat makmum lebih tinggi dari derajat salat imam. Ada juga yang berpendapat bahwa hukum mengerjakan salat fardu dengan bermakmum kepada orang yang mengerjakan salat sunah adalah sah, karena terdapat hadis yang menjelaskan hal ini.

Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu melakukan salat Isya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selesai salat ia pulang ke kaumnya dan melakukan salat Isya bersama mereka sebagai imam. Bagi Muadz salat itu adalah salat sunah (karena ia telah salat Isya bersama Nabi), sedangkan bagi kaumnya salat itu adalah salat fardu. Nabi tidak mengingkari perbuatan Muadz itu.

Jika ada yang berkata bahwa mungkin saja Nabi tidak mengetahui hal itu, maka jawabannya adalah, “Jika Nabi mengetahui hal itu, maka dalil itu telah sempurna karena Muadz bin Jabal pernah dilaporkan kepada Rasulullah karena memanjangkan salat Isya. Sesungguhnya seluruh permasalahan dan kejadian dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika dipastikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui bahwa Muadz mengerjakan salat bersamanya kemudian mengimami kaumnya, maka Rabb Rasulullah, yakni Allah Ta’ala pasti mengetahuinya. Sesungguhnya semua yang terjadi di bumi dan di langit tidak akan luput dari pengetahuan Allah. Jika Allah mengetahui dan Dia tidak menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya untuk mengingkari perbuatan Muadz, hal itu menunjukkan bahwa perbuatan itu diperbolehkan, sebab Allah tidak menetapkan kepada hamba-Nya sesuatu yang tidak disyariatkan secara mutlak. Oleh karena itu, pengambilan dalil dari semua segi telah sempurna.

Jadi, yang benar adalah orang yang salat fardu boleh bermakmum kepada orang yang salat sunah. Kias yang melarang hal ini bertentangan dengan nash, sehingga kias itu tidak boleh diterapkan.

Jika kamu mendapati orang-orang sedang melakukan salat Tarawih sedangkan kamu belum salat Isya, maka salatlah kamu bersama mereka dengan niat salat Isya. Jika kamu salat bersama mereka sejak rakaat pertama, maka setelah imam salam tambahlah dua rakaat supaya salat kamu sempurna empat rakaat. Jika kamu masuk pada rakaat kedua, maka setelah imam salam tambahlah tiga rakaat sehingga salat Isya kamu sempurna empat rakaat.

Inilah pendapat yang dicatat dari Imam Ahmad, padahal mazhabnya berlawanan dengan pendapat ini. Akan tetapi, secara pribadi beliau menyatakan boleh.

Selanjutnya kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

a) Mengerjakan salat fardu dengan bermakmum kepada orang yang mengerjakan salat fardu diperbolehkan.

b) Mengerjakan salat fardu dengan bermakmum kepada orang yang mengerjakan salat sunah diperselisihkan para ulama.

c) Mengerjakan salat sunah dengan bermakmum kepada orang yang mengerjakan salat sunah diperbolehkan.

Terkait hal ini, apakah kesesuaian antara salat imam dan salat makmum, seperti Zuhur dengan Zuhur, Asar dengan Asar dipersyaratkan?

Jawabnya adalah bahwa terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum kesesuaian antara salat imam dan salat makmum adalah wajib. Jika imam salat Zuhur, maka makmum juga salat Zuhur. Jika imam salat Asar, maka makmum juga salat Asar. Jika imam salat Magrib, maka makmum harus salat Magrib. Begitu seterusnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

Sesungguhnya imam diadakan untuk diikuti.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa kesesuaian tidak dipersyaratkan. Orang yang mengerjakan salat Zuhur boleh bermakmum dengan orang yang mengerjakan salat Asar. Orang yang mengerjakan salat Asar boleh bermakmum dengan orang yang mengerjakan salat Zuhur. Orang yang mengerjakan salat Asar boleh bermakmum dengan orang yang mengerjakan salat Isya. Dan seterusnya. Jika orang yang mengerjakan salat fardu boleh bermakmum dengan orang yang mengerjakan salat sunah, padahal hukumnya berbeda, apalagi sama-sama salat fardu. Maka, perbedaan nama dan jenis salat tidak menjadi masalah. Ini merupakan pendapat yang benar.

Jika ada yang bertanya: Bagaimana bisa orang yang mengerjakan salat Zuhur bermakmum dengan orang yang mengerjakan salat Isya?

Jawabannya: Misalnya kamu datang ke masjid untuk mengerjakan salat Isya setelah azan dikumandangkan. Ketika salat didirikan tiba-tiba kamu teringat bahwa kamu tadi mengerjakan salat Zuhur tanpa wudu. Menurut kami, hendaklah kamu masuk bersama imam dan salat dengan niat salat Zuhur. Kamu berniat salat Zuhur dan imam berniat salat Isya. Hal ini tidak mengapa, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya amal disertai dengan niat. Sesungguhnya setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ. فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya dijadikannya imam adalah untuk diikuti. Oleh karena itu, janganlah kalian menyelisihnya,” tidak berarti janganlah kalian berbeda niat dengan imam. Beliau merinci dalam sabdanya,

 فَإِذَا رَكَعَ، فَارْكَعُوا. وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ. وَإِذَا سَجَدَ، فَاسْجُدُوا. وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا، فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ. وَأَقِيمُوا الصَّفَّ فِي الصَّلَاةِ، فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ

Jika ia rukuk, maka rukuklah kalian. Jika ia mengucapkan ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH’, maka ucapkanlah, ‘RABBANAA LAKAL HAMDU.’ Jika ia sujud, maka sujudlah kalian. Jika ia salat dengan duduk, maka salatlah kalian semuanya dengan duduk. Dan luruskanlah saf, karena lurusnya saf merupakan bagian dari sempurnanya salat.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Yakni ikutilah ia dan janganlah mendahuluinya. Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menafsirkan sebagian dengan sebagian yang lain.

Pembahasan ini memunculkan pembahasan lain.

Jika kedua salat adalah sama dalam jumlah rakaat dan tata cara, maka hal itu tidak menjadi masalah. Salat Zuhur dan salat Asar memiliki rakaat dan tata cara yang sama. Maka dalam pembahasan kedua salat itu tidak terdapat masalah.

Jika kedua salat berbeda -seperti makmum salat dua rakaat dan imam salat empat rakaat atau sebaliknya, atau makmum salat tiga rakaat dan imam salat empat rakaat atau sebaliknya- maka timbul masalah.

Kami katakan bahwa jika jumlah rakaat pada salat yang dilakukan oleh makmum lebih banyak dari jumlah rakaat pada salat yang dilakukan oleh imam, maka tidak terjadi masalah. Misalnya, seseorang masuk masjid untuk salat Magrib. Ketika salat Magrib didirikan, ia teringat bahwa ia hari itu telah mengerjakan salat Asar tanpa wudu. Dalam hal ini ia harus mengerjakan salat Asar terlebih dahulu. Hendaklah ia masuk salat bersama imam dengan niat salat Asar. Jika imam salam, ia berdiri untuk menambah satu rakaat sehingga salatnya menjadi empat rakaat yang sempurna.

Jika jumlah rakaat salat yang dilakukan oleh iman lebih banyak dari jumlah rakaat salat yang dilakukan oleh makmum, dan ia mulai salat bersama imam pada rakaat kedua, maka rakaat selanjutnya tidak bermasalah. Tetapi, jika ia salat bersama imam mulai rakaat pertama, maka muncul masalah.

Misalnya, jika kamu pergi ke masjid jami di Mesir pada waktu salat Isya, maka kamu akan dapati orang-orang menjamak salat mereka. Tetapi mereka masuk ketika imam telah memasuki rakaat kedua terakhir. Maka kami katakan, “Masuklah dalam jamaah mereka dan berniatlah salat Magrib. Setelah imam salam, maka tambahlah satu rakaat. Hal itu tidak masalah.

Jika ia mendapati imam salat Isya pada rakaat kedua, maka masuklah untuk salat bersama imam dengan niat salat Magrib. Ia salam bersama imam, karena ia tidak menambah atau mengurangi rakaat. Dalam hal ini juga tidak ada masalah.

Sebagian orang mempermasalahkan dalam hal duduk. Jika kamu masuk bersama imam pada rakaat kedua kemudian kamu duduk pada rakaat yang merupakan rakaat kedua bagi imam dan rakaat pertama bagi kamu, berarti kamu duduk tasyahud pada rakaat pertama. Maka kami katakan, “Ini tidak masalah. Bukankah jika kamu masuk bersama imam dalam salat Zuhur pada rakaat kedua, lalu ketika imam duduk untuk tasyahud awal, kamu berada pada rakaat pertama? Bukankah hal ini tidak masalah? Begitu pula kasus di atas.”

Yang menjadi masalah adalah apabila kamu masuk masjid untuk salat Magrib, dan kamu mendapati mereka melaksanakan salat Isya, lalu kamu masuk untuk salat bersama mereka pada rakaat pertama, sehingga kamu akan salat bersama imam tiga rakaat, sedangkan imam menyempurnakan salatnya hingga empat rakaat, maka apa yang harus kamu lakukan?

Jika kamu salat mengikuti imam hingga selesai, maka kamu menambah satu rakaat, padahal salat Magrib hanya tiga rakaat, bukan empat rakaat. Jika kamu duduk di rakaat ketiga, sedangkan imam berdiri untuk masuk rakaat keempat, berarti kamu menyelisihi imam.

Dalam hal ini kami katakan bahwa hendaklah kamu duduk dan tidak berdiri bersama imam. Jika kamu ingin menjamak salat, maka berniatlah untuk memisahkan diri dari jamaah, lalu bacalah tahiyat dan salam. Selanjutnya kamu masuk bersama imam untuk mengerjakan salat Isya dari rakaat yang masih tersisa bersama imam, karena kamu masih mungkin untuk mendapatkan rakaat terakhir imam.

Jika kamu tidak berniat untuk menjamak salat, atau bukan orang yang berhak menjamak salat, maka kamu boleh memilih. Jika kamu mau, duduklah tasyahud sambil menunggu imam tiba di rakaat keempat dan membaca tasyahud, kemudian ucapkanlah salam bersama imam. Jika kamu mau, berniatlah untuk memisahkan diri dari salat berjamaah, lalu duduklah kemudian salam. Ini merupakan pendapat yang paling kuat dan pendapat yang kami pilih. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam rahimahullah.

Niat memisahkan diri di sini adalah karena darurat. Seseorang tidak mungkin menambah rakaat salat Magrib sehingga lebih dari tiga rakaat, sehingga duduknya orang itu merupakan darurat syar’iyah, dan hal ini tidak mengapa.

Baca juga: NIAT ADALAH SALAH SATU SYARAT SAH SALAT

Baca juga: MASBUK PADA SAAT TAHIAT AKHIR

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih