HUKUM MUSAQAH DAN MUZARA’AH

HUKUM MUSAQAH DAN MUZARA’AH

Musaqah dan muzara’ah adalah di antara usaha yang digeluti manusia sejak dahulu kala untuk memenuhi hajat mereka. Seseorang terkadang memiliki tanaman yang ia tidak mampu merawatnya sehingga tidak berbuah, atau memiliki lahan pertanian yang ia tidak mampu menggarapnya. Di sisi lain, ada pihak yang mampu merawat tanaman atau menggarap lahan pertanian atau perkebunan tetapi tidak memiliki tanaman atau lahan. Atas dasar itu, musaqah  dan muzara’ah diperbolehkan demi kemaslahatan kedua belah pihak. Demikianlah, setiap muamalah dalam syariat selalu ditegakkan demi mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan.

Menurut fukaha musaqah adalah menyerahkan pohon yang belum atau telah ditanam beserta lahannya kepada orang yang dapat menanamnya, lalu orang itu mengelolanya dengan memberi pupuk, menyiram, dan merawatnya hingga berbuah. Ia mendapatkan bagian tertentu dari buah yang dihasilkan, sedangkan pemilik lahan mendapatkan sisanya. Sedangkan muzara’ah adalah menyerahkan lahan kepada orang yang dapat menanaminya, atau menyerahkan lahan dan benih kepada orang yang dapat menyemainya dan merawatnya. Ia mendapat bagian tertentu dari hasil tanamannya, sedangkan pemilik lahan memperoleh sisanya. Bisa juga bagian yang disyaratkan dalam musaqah dan muzara’ah adalah bagian untuk pemilik lahan atau tanaman, sedangkan sisanya untuk pengelola.

Dalil diperbolehkannya musaqah dan muzara’ah adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bekerja sama dengan penduduk Khaibar dengan memperoleh separuh dari hasil pertaniannya, baik berupa buah maupun tanaman.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pohon-pohon kurma beserta lahannya kepada orang-orang Yahudi Khaibar untuk dikelola oleh mereka dengan modal mereka sendiri, lalu mereka mendapatkan setengah hasilnya. (HR Muslim)

Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan lahan Khaibar kepada penduduknya dengan bagi hasil separuh-separuh. (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Hadis-hadis di atas menunjukkan bolehnya musaqah dan muzara’ah.

al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pada kisah Khaibar terdapat dalil atas diperbolehkannya musaqah dan muzara’ah dengan mendapat sebagian hasilnya, baik berupa buah maupun tanaman, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermuamalah dengan penduduk Khaibar (dengan kedua cara di atas). Hal ini berlangsung hingga beliau wafat, tanpa pernah menghapus hukumnya sama sekali. Bahkan Khulafa’ur Rasyidin melanjutkan muamalah ini. Meski begitu, muamalah ini tidak termasuk ke dalam sewa-menyewa, melainkan semisal kerja sama atau seperti mudarabah.”

al-Muwaffaq Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Mumalah ini telah dipraktikkan oleh Khulafa’ur Rasyidin di masa pemerintahan mereka tanpa ada yang mengingkari, sehingga ia menjadi ijmak.” Beliau juga berkata, “Tidak perlu mempedulikan pendapat yang bertentangan dengan hadis dan ijmak, sebab kebanyakan pemilik kebun kurma dan tanaman tidak sanggup merawat dan mengairi kebunnya. Selain itu, mereka juga tidak mampu menyewa tukang kebun untuk melakukan pekerjaan tersebut. Di sisi lain banyak orang tidak punya kebun dan membutuhkan hasil perkebunan. Oleh karena itu, diperbolehkannya muamalah ini merupakan solusi untuk menutup hajat kedua belah pihak dan mewujudkan maslahat bagi kedua belah pihak.”

Musaqah

Para fukaha menyatakan bahwa di antara syarat sah musaqah adalah bahwa pohon yang dirawat harus menghasilkan buah yang bisa dimakan. Jika pohon tersebut tidak berbuah, atau buahnya tidak bisa dimakan, maka muamalah ini tidak sah karena tidak ada nashnya.

Di antara syarat sah musaqah adalah bahwa bagian pengelola harus ditentukan secara jelas dan menyeluruh, seperti sepertiga atau seperempat, baik sedikit maupun banyak. Bila pengelola mensyaratkan agar seluruh hasilnya menjadi miliknya, maka muamalah ini tidak sah, sebab hasil tersebut berarti dimiliki secara sepihak. Demikian pula, bila ia mensyaratkan jumlah tertentu, seperti sepuluh sha’ atau dua puluh sha’, maka muamalah ini tidak sah, sebab bisa jadi panennya hanya segitu. Bila ia mengambil seluruhnya, maka pihak kedua tidak kebagian apa-apa. Sama halnya bila ia mensyaratkan uang dalam jumlah tertentu dari hasil panen, ini juga tidak sah, sebab bisa jadi keuntungan penjualannya tidak sampai segitu.

Begitu pula, jika salah satu pihak mensyaratkan bahwa buah dari pohon tertentu menjadi miliknya, maka mumalah ini tidak sah. Mungkin saja yang berbuah hanya pohon tersebut sehingga hasilnya menjadi milik sepihak, atau pohon tersebut tidak berbuah sama sekali sehingga ia tidak mendapatkan apa-apa dan mengalami kerugian.

Pendapat sahih yang dilaksanakan oleh mayoritas ulama adalah bahwa musaqah merupakan akad mengikat yang tidak bisa dibatalkan secara sepihak tanpa keridaan pihak lain. Musaqah harus ditentukan waktunya walaupun lama dan pohon/tanamannya harus tetap ada.

Pengelola wajib melakukan setiap hal yang mengarah kepada hasil panen yang baik, seperti membajak tanah, mengairi tanaman, memberi pupuk, memotong ranting-ranting yang mengganggu tanaman/buah, mengawinkan pohon-pohon tertentu seperti kurma, mengeringkan buah/biji-bijian hasil panen, dan memperbaiki saluran irigasi.

Pemilik pohon harus melakukan hal-hal yang sifatnya memelihara pohon, seperti menggali sumur, membangun pagar, dan menyediakan suplai air. Ia juga wajib menyuplai bahan-bahan yang membantu pertumbuhan tanaman seperti pupuk.

Muzara’ah

Tentang muzara’ah, ia berasal dari kata az-zar’u. Disebut juga dengan mukhabarah dan muwakarah. Pengelolanya dinamakan muzari’, mukhabir, dan muwakir.

Dalil dibolehkannya muzara’ah adalah hadis sahih di atas. Demi terpenuhinya hajat manusia, cara seperti ini harus ditempuh. Sebagian orang memiliki lahan pertanian, tetapi tidak mampu menggarapnya. Sebagian yang lain mampu menggarap lahan pertanian, tetapi tidak memiliki lahan. Berangkat dari sini, kebijakan syariat menetapkan dibolehkannya muzara’ah agar kedua belah pihak memperoleh manfaat. Pihak pertama mendapatkan manfaat dari tanahnya, sedangkan pihak kedua dari usahanya. Hal ini juga dalam rangka mewujudkan kerjasama demi memperoleh kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Dasar muzara’ah lebih kuat daripada sewa-menyewa dan lebih dekat kepada keadilan. Dalam muzara’ah kedua belah pihak bersekutu dalam keuntungan maupun kerugian.”

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Muzara’ah lebih jauh dari unsur kezaliman dan kemudaratan daripada sewa-menyewa. Dalam sewa-menyewa salah satu pihak pasti diuntungkan, sedangkan dalam muzara’ah, bila tanamannya berhasil, kedua pihak sama-sama diuntungkan. Bila tidak, keduanya sama-sama menanggung rugi.”

Supaya sah, disyaratkan dalam muzara’ah agar hasil panen yang menjadi bagian pengelola atau pemilik lahan ditentukan. Hasil panen tersebut harus bersifat sebagian dari keseluruhan, seperti sepertiga atau seperempat dari hasil pertanian. Dalilnya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bekerja sama dengan penduduk Khaibar dengan memperoleh separuh hasil pertaniannya. Bila bagian milik salah satu pihak telah diketahui, maka sisanya menjadi milik pihak yang lain.

Bila salah satu pihak mensyaratkan bahwa sekian sha’ dari hasilnya adalah miliknya, misalnya sepuluh atau dua puluh sha’, maka muzara’ah tidak sah. Bisa jadi lahan itu hanya menghasilkan sejumlah itu sehingga keuntungan milik sepihak. Selain itu, dalam hadis Rafi’ bin Khudaij radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ia pernah ditanya tentang menyewakan lahan dengan imbalan emas dan perak. Ia menjawab, “Itu tidak mengapa. Orang-orang di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewakan lahannya dengan imbalan hasil tanaman yang berada dekat sungai, dekat saluran air, atau dari tanaman tertentu. Dengan cara ini pemilik lahan diuntungkan dan penyewa dirugikan, atau pemilik lahan dirugikan dan penyewa diuntungkan. Orang-orang tidak menyewakan lahannya kecuali dengan cara seperti itu. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Cara itu mengandung kemudaratan yang mengakibatkan perselisihan dan memakan harta orang lain secara batil. Apabila penyewaan lahan dilakukan dengan pembayaran yang jelas dan terjamin, maka muamalah ini tidak mengapa.” (HR Muslim)

Jadi, hadis ini menunjukkan diharamkannya muzara’ah yang berujung pada kemudaratan dan ketidakpastian yang mengakibatkan timbulnya perselisihan di antara manusia.

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata, “Ada sejumlah hadis dari Rafi’ bin Khudaij radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan bahwa dilarangnya hal itu adalah karena alasan tersebut, yaitu cara seperti itu telah biasa mereka lakukan. Rafi’ berkata, ‘Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menyewakan lahan dengan syarat bahwa hasil yang ini untuk kami, dan hasil yang itu untuk mereka. Terkadang yang ini menghasilkan, sedangkan yang itu tidak menghasilkan.” (HR al-Bukhari)

Memberikan benih beserta lahannya bukanlah syarat sahnya muzara’ah. Bila seseorang memberikan lahan saja agar ditanami oleh pengelola dan benihnya dari pengelola, maka muamalah ini sah sebagaimana pendapat sejumlah sahabat. Bahkan muamalah inilah yang dipraktikkan banyak orang. Dalil yang digunakan dalam aturan muzara’ah adalah hadis kerjasama antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penduduk Khaibar, dengan bagi hasil separuh-separuh. Dalam hadis itu tidak disebutkan bahwa benihnya ditanggung oleh kaum muslimin (selaku pemilik lahan).

al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Mereka yang mensyaratkan bahwa benihnya harus dari pemilik lahan mengkiaskannya dengan mudarabah. Ini merupakan kias yang sangat rusak, selain juga bertentangan dengan sunah yang sahih dan perkataan para sahabat, sebab modal dalam mudarabah akan kembali kepada pemiliknya, lalu mereka berdua berbagi keuntungan. Dalam muzara’ah, lahan ibarat modal, sedangkan benih yang tidak kembali kepada pemiliknya, melainkan hilang seperti hilangnya manfaat lahan, lebih tepat dikiaskan dengan sesuatu yang hilang daripada dikiaskan dengan sesuatu yang ada.”

Baca juga: SEWA-MENYEWA

Baca juga: SYARAT-SYARAT DALAM JUAL BELI

Baca juga: JUAL BELI YANG DILARANG

Baca juga: ARIYAH (PINJAM MEMINJAM)

(Syekh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

Fikih