MENJAGA LISAN

MENJAGA LISAN

Di antara nikmat agung yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada kita adalah nikmat lisan.

Allah Ta’ala berfirman:

اَلَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ عَيْنَيْنِۙ وَلِسَانًا وَّشَفَتَيْنِ

Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua mata, dan lisan (lidah), dan dua bibir?” (QS al-Balad: 8-9)

Jika lisan tidak dimanfaatkan dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, maka dia akan menjadi bumerang bagi pemilikinya.

Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ اَلْسِنَتُهُمْ وَاَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS al-Nur: 24)

Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsirnya berkata, “Pada Hari Kiamat setiap anggota badan seorang hamba bersaksi atas amal yang dilakukannya di dunia. Zat yang membuatnya berbicara adalah Zat yang memberinya kemampuan berbicara kepada segala sesuatu sehingga tidak mungkin ia mengingkari perbuatannya. Allah Ta’ala telah berbuat adil kepada hamba-hamba-Nya dengan menjadikan saksi (berupa anggota badan) atas diri mereka sendiri.”

Banyak nas syar’i yang menganjurkan untuk menjaga lisan.

Allah Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaf: 18)

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ

Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS al-Nahl: 116)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya berkata, “Termasuk larangan ini adalah setiap bidah yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama (al-Qur’an dan as-Sunnah). Begitu juga, menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan-Nya, sedangkan dasarnya hanyalah akal hawa nafsu.”

Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, dia bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang dapat mendekatkannya kepada Surga dan menjauhkannya dari Neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukannya tentang pokok perkara agama, tiangnya, dan puncaknya. Kemudian beliau bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ

Maukah engkau kuberitahu tentang sesuatu yang menguatkan semua perkara itu?

Aku menjawab, “Mau, wahai Nabi Allah.”

Mu’adz berkata: Beliau memegang lisannya dan bersabda,

كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا

Tahanlah lisanmu!

Aku bertanya, “Wahai Nabi Allah, (apakah) kita diminta pertanggung-jawaban atas apa yang kita ucapkan?”

Beliau bersabda,

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، يَا مُعَاذُ. وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

Semoga ibumu kehilanganmu, wahai Mu’adz. Tidaklah manusia disunggkurkan ke dalam Neraka di wajah atau hidung mereka kecuali karena hasil dari ucapan lisan mereka?” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. at-Tirmidzi berkata, “Hadis sahih.”)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَـا، يَزِلُّ بِهَا فِـي النَّارِ أَبْعَدُ مِمَّـا بَيْنَ الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ

Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang maknanya tidak dia pikirkan. Akibatnya dia terjatuh ke dalam jurang Neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban)

Maksud ‘maknanya tidak dia pikirkan’ adalah dia tidak mengetahui atau memedulikan apakah perkataannya termasuk ketaatan kepada Allah Ta’ala atau kemaksiatan?

Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ، أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Barangsiapa menjamin bagiku apa yang ada di antara kedua janggutnya (bibir) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku menjamin baginya Surga.” (HR al-Bukhari, at-Titmidzi, dan Ahmad)

Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara selamat?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ

Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu membuatmu lapang, dan menangislah karena dosa-dosamu.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad. Lihat Shahih al-Jami’ dan ash-Shahihah)

Dari Sufyan bin ‘Abdullah ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku tentang satu perkara yang aku akan berpegang dengannya!”

Beliau menjawab,

قُلْ رَبِّيَ اللَّهُ، ثُمَّ اسْتَقِمْ

Katakanlah, ‘Rabbku adalah Allah’, lalu istikamahlah!

Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan atasku?”

Beliau memegang lidahnya sendiri, lalu bersabda,

هَذَا

Ini.” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Darimi)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku telah memperingatkan kalian untuk tidak berbicara secara berlebihan. Cukuplah bagi kalian pembicaraan yang dapat memenuhi kebutuhan kalian.”

Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata kepada Malik bin Dinar rahimahullah, “Wahai Abu Yahya, menjaga lisan adalah lebih sulit bagi seseorang daripada menjaga dinar dan dirham.”

al-Auza’i rahimahullah berkata, “Umar bin Abdul Aziz menulis untuk kami sebuah pesan yang tidak akan pernah dijaga oleh orang lain selain diriku dan Mahul: ‘Amma ba’du. Sesungguhnya orang yang banyak mengingat kematian akan rela dengan harta dunia yang sedikit. Barangsiapa menyadari bahwa perkataannya merupakan bagian dari amalnya, maka dia akan sedikit membicarakan perkara yang tidak bermanfaat.’”

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, tidak satu pun yang paling membutuhkan pengekangan dalam jangka yang lama selain lisan.”

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa seyogyanya seorang mukalaf menjaga lisannya dari segala bentuk pembicaraan kecuali yang mendatangkan kebaikan. Apabila suatu pembicaraan memiliki pertimbangan yang sama antara dilakukan dan ditinggalkan, maka yang sunah adalah meninggalkannya. Bisa jadi pembicaraan yang mubah akan mengarah kepada pembicaraan yang haram atau makruh. Hal ini sering terjadi di dalam kebiasaan manusia. Dan keselamatan itu tidak ada bandingannya.”

Gerakan anggota badan yang paling buruk adalah gerakan lisan. Dia dapat mendatangkan bahaya bagi seorang hamba.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Termasuk perkara yang mengagumkan adalah apabila seseorang mampu menjaga dirinya dari makanan yang haram, berbuat zalim, berzina, mencuri, minum khamar, melihat perkara yang haram, dan lain-lain. Namun sulit baginya untuk menjaga dan menahan garakan lisannya. Bahkan orang yang dikenal istikamah dalam agama, zuhud dan ahli ibadah terkadang berbicara dengan kata-kata yang mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Hal itu terjadi tanpa disadarinya, sehingga dengan satu kata saja dia terjebak ke dalam Neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak antara timur dan barat. Terkadang kamu menyaksikan seseorang mampu menjaga dirinya dari perbuatan keji dan zalim, namun lisannya mencincang dan menyembelih kehormatan orang hidup dan orang mati tanpa disadari.”

Jika kamu ingin mengetahui hal itu, renungkanlah sebuah riwayat dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita bahwa seorang laki-laki berkata,

وَاللَّهِ، لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلَانٍ. وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ؟ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ، وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ

‘Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni fulan,’ sementara Allah Ta’ala berfirman, ‘Siapakah yang bersumpah dengan sombongnya atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni fulan? Ketahuilah, sesungguhnya Aku telah mengampuni fulan dan telah menghapus amal perbuatanmu.’” (HR Muslim)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dia telah mengucapkan satu perkataan yang membinasakan dunia dan akhiratnya. Seorang laki-laki menceritakan kejelekan laki-laki yang lain. Lalu temannya berkata, “Apakah engkau telah memerangi bangsa Romawi?” Laki-laki tersebut berkata, “Belum pernah.” Temannya berkata, “Orang Nasrani selamat dari ceritamu, namun saudaramu sendiri tidak selamat dari lisanmu.”

Sebagian ulama berkata, “Sembilan per sepuluh dosa datang akibat lisan.”

Seorang penyair berkata:

Wahai sekalian manusia, hendaklah jaga lisanmu

Jangan sampai mengigitmu, sungguh dia ular berbisa

Banyak orang mati di dalam kubur akbiat lisannya

Padahal pribadinya ditakuti oleh para pemberani

Lisan memiliki dua bencana yang besar. Jika seseorang selamat dari bencana yang satu, dia tidak selamat dari bencana yang lain. Kedua bencana itu adalah diam terhadap kebenaran dan berbicara dalam kebatilan. Terkadang salah satu dari keduanya lebih berbahaya dari yang lain.

Orang yang diam terhadap kebenaran adalah setan yang bisu, bermaksiat kepada Allah Ta’ala, riya’, mencari muka ketika dia tidak khawatir terhadap dirinya. Contohnya adalah orang yang melihat kemungkaran di depan matanya yang dia mampu mengubahnya, tetapi dia tidak melakukannya.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ. وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, hendaklah mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majjah, dan Ahmad)

Sedangkan orang yang berbicara dalam kebatilan adalah setan yang dapat berbicara yang bermaksiat kepada Allah Ta’ala.

Banyak orang menyimpang dalam ucapan dan diamnya. Mereka berada di dua sisi ini. Orang yang mengambil jalan pertengahan adalah orang yang berada di jalan yang lurus. Mereka menahan lisan terhadap kebatilan dan melepas lisan pada ucapan yang mendatangkan manfaat bagi mereka di akhirat. Oleh karena itu, kita tidak pernah melihat mereka berbicara dengan suatu perkataan sia-sia yang tidak mendatangkan manfaat, apalagi jika perkataan itu dapat mendatangkan kemudaratan di akhirat kelak.

Baca juga: BERKATA BAIK ATAU DIAM

Baca juga: LARANGAN MENGEJEK DAN MENGHINA ORANG LAIN

Baca juga: JAUHILAH PERKATAAN KEJI, KOTOR DAN KASAR

(Dr Amin bin ‘Abdullah asy-Syaqawi)

Kelembutan Hati