CINTA KEPADA ALLAH

CINTA KEPADA ALLAH

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا ِللهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Tiga perkara yang apabila ketiganya ada pada diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: (1) apabila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; (2) apabila ia mencintai seseorang, namun ia tidak mencintainya kecuali karena Allah; (3) dan apabila ia membenci untuk kembali kepada kekafiran sesudah Allah menyelamatkannya dari kekafiran, seperti halnya ia membenci jika ia dilemparkan ke dalam api Neraka.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ

Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.” (QS Ali Imran: 31)

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ

Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS al-Baqarah: 165)

Hadis di atas adalah hadis yang sangat agung, merupakan salah satu prinsip dari prinsip-prinsip Islam.

Makna manisnya iman adalah merasakan lezatnya melakukan berbagai ketaatan dan mampu menahan kesulitan demi mencapai rida Allah dan Rasul-Nya. Dia mengutamakan yang demikian itu di atas perkara-perkara duniawi. Kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan terhadap-Nya. Seperti itu juga cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

al-Qadhi bin Iyadh rahimahullah berkata, “Makna hadis tersebut adalah bahwa orang yang merasakan manisnya iman adalah orang yang rida Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasulnya. Tidaklah cinta yang hakiki kepada Allah dan Rasul-Nya, cinta kepada manusia karena Allah dan Rasul-Nya, dan benci kembali kepada kekufuran ada kecuali pada orang yang kokoh iman kepada-Nya, tenang jiwa karena-Nya, lapang dada bagi-Nya, dan meresap iman dalam daging dan darahnya. Inilah orang yang merasakan manisnya iman.”

Bagi orang seperti ini segala kenikmatan hanyalah dari Allah Ta’ala. Allah-lah yang mencurahkan kenikmatan dan keutamaan kepadanya, yang mengadakan sesuatu yang semula tidak ada, dan yang menganugerahkan pendengaran, penglihatan, kekuatan, ilmu, harta, dan kedudukan kepadanya. Dialah Allah yang Mahapemurah, Mahamulia, Mahapemberi rezeki, Mahaadil, serta sifat-sifat sempurna dan agung lainnya. Semua itu mengharuskan bahwa Allah dicintai dengan semua kecintaan. Dan cinta itu hanya ditujukan kepada-Nya sehingga dia mencintai sesuatu yang Allah cintai, dan membenci sesuatu yang Allah benci.

Allah Ta’ala berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisa: 65)

Juga dalam hadis: “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga hawa nafsunya mengikuti ajaran (risalah) yang aku bawa.” (HR al-Baghawi)

Jika kecintaan itu telah kokoh dalam hati, maka anggota badan akan mengikuti kecintaan dan kebencian itu.

Cinta kepada Allah terbagi menjadi dua yaitu.

1. Cinta wajib

Cinta wajib adalah cinta yang menggerakkan seseorang untuk melakukan perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan rida terhadap takdirnya. Siapapun yang terjatuh ke dalam kemaksiatan, baik dengan melakukan perkara yang diharamkan atau meninggalkan perkara yang diwajibkan, maka kemaksiatan itu terjadi karena dua hal:

Pertama. Dia meremehkan cinta kepada Allah Ta’ala sehingga mendahulukan hawa nafsunya. Kadang-kadang peremehan tejadi dalam bentuk sering melakukan hal-hal yang mubah sehingga lalai dalam melakukan kewajiban atau menjauhi larangan. Jika ini terjadi, dia masih memiliki harapan akan ampunan-Nya yang luas.

Kedua. Dia melakukan kemaksiatan atau selalu dalam kelalaian hingga terjatuh dalam kemaksiatan. Orang seperti ini harus segera meninggalkan kemaksiatan itu dengan diiringi penyesalan, sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadis:

لَا يَزْنِي الْعَبْدُ حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Tidaklah seseorang berzina ketika dia berzina sementara dirinya dalam keadaan beriman.” (HR an-Nasa-i dan Ibnu Majah)

2. Cinta sunah

Cinta sunah adalah cinta yang menggerakkan seseorang untuk mengerjakan amalan-amalan sunah secara rutin, menjauhi perbuatan-perbuatan syubhat (tidak jelas/meragukan). Namun umumnya yang demikian ini jarang terjadi.

Atsar-atsar menunjukkan bahwa cinta kepada Allah merupakan bekal yang cukup untuk maraih keselamatan.

Seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan Hari Kiamat terjadi, wahai Rasulullah?”

Beliau balik bertanya,

مَا أَعْدَدْتَ لَهَا

Apa yang sudah kamu persiapkan untuknya?

Dia berkata, “Tidaklah aku mempersiapkan untuknya dengan memperbanyak salat dan puasa serta sedekah melinkan aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau pun bersabda,

إِنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

Engkau bersama orang yang engkau cintai.” (HR al-Bukhari)

Di antara tanda-tanda seseorang memiliki cinta kepada Allah adalah dia mengikuti perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Adapun pengakuan sebagian orang fasik bahwa dirinya mencintai Allah, tetapi masih melakukan dosa-dosa, maka pengakuan ini adalah pengakuan dusta.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ

Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.” (Ali Imran: 31)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Engkau bermaksiat kepada Allah, sedangkan engkau menampakkan kecintaan kepada-Nya. Secara kaidah ini merupakan perkara yang mustahil dan mengherankan. Kalau kecintaanmu benar, tentu engkau menaati-Nya, karena orang yang mencintai pasti taat kepada yang dicintainya.”

Abu Ya’kub an-Nahrujuwari rahimahullah berkata, “Setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah tetapi tidak selaras dengan perintah Allah, maka pengakuannya adalah batil. Sedangkan setiap orang yang cinta kepada Allah tetapi tidak takut kepada-Nya, maka dia telah tertipu.”

Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Tidak benar orang yang mengaku cinta kepada Allah tetapi tidak menjaga hukum-hukum-Nya.”

Ruwaim rahimahullah ditanya tentang kecintaan. Dia menjawab, “Selaras dalam segala keadaan.”

Baca juga: CINTA KEPADA RASULULLAH

Baca juga: MENCINTAI ALLAH DENGAN MENGIKUTI SUNAH RASULULLAH

Baca juga: CINTA KARENA ALLAH

(Dr Ahmad Mu’adz Haqqi)

Akidah