MEMENGARUHI ABU THALIB

MEMENGARUHI ABU THALIB

Seruan “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat” terus berdengung di seluruh Ummul Qura (Makkah), hingga turunlah firman Allah:

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَاَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ

Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik.” (OS al-Hijr: 94)

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit guna menyuarakan kebenaran, menyeru agar orang-orang meninggalkan berhala-berhala, mengecam akal orang-orang yang beriman kepada berhala-berhala tersebut, menjelaskan hakekat Islam, serta membantah kebatilan akidah yang meracuni akal orang-orang jahiliah.

Ketika kaum Quraisy melihat pengaruh dakwah ini tidak lagi terbatas, sebagaimana seruan sebelumnya kepada pencampakkan berhala-berhala yang dilakukan oleh Zaid bin Nufail, Waraqah, dan Ibnu Shaifi, mereka pun bangkit untuk menghadang dakwah yang mengancam kemaslahatan yang mereka peroleh secara haram di tanah mereka, dakwah yang merendahkan kesombongan mereka atas yang lainnya, dakwah yang menghalangi mereka dari mengikuti nafsu syahwat dalam menguasai dan melakukan berbagai keburukan dan kejahatan yang besar.

Sekelompok tokoh terkemuka kaum Quraisy mendatangi Abu Thalib, paman Nabi. Mereka memengaruhi Abu Thalib untuk melakukan salah satu dari dua pilihan: melarang Rasulullah berdakwah atau melepaskan perlindungan Abu Thalib bagi Rasulullah.

Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya keponakanmu telah mencaci maki tuhan-tuhan kita, mencela agama kita, menganggap bodoh kepercayaan kita, dan menganggap sesat nenek moyang kita. Maka hentikanlah dia atau biarkanlah urusan ini kami selesaikan antara kami dan dia. Sesungguhnya engkau dan kami sama-sama menyelisihinya. Oleh karena itu, kami akan membereskan urusan ini untukmu.”

Abu Thalib menanggapi perkataan mereka dengan lembut sehingga mereka pun pergi.

Namun, orang-orang kafir Quraisy menjadi marah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka saling memprovokasi untuk memusuhi dan mendengki beliau.

Mereka kembali memengaruhi Abu Thalib dan berkata, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya engkau adalah orang yang dituakan, dihormati, dan bermartabat di antara kami. Kami pernah memintamu untuk mencegah keponakanmu, tapi engkau tidak melakukannya.”

Mereka bersumpah bahwa kesabaran mereka atas perbuatan Rasulullah ada batasnya. Jika beliau tidak juga menghentikan dakwahnya, mereka akan memerangi beliau dan pamannya hingga salah satu dari kedua pihak binasa.

Ancaman ini membuat Abu Thalib berada di persimpangan. Dia merasa berat berpisah dari kaumnya dan bermusuhan dengan mereka, namun tidak rela menyerahkan keponakannya kepada mereka atau meninggalkannya.

Abu Thalib menyuruh Aqil memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau hadir di antara mereka, Abu Thalib berkata, “Sesungguhnya keturunan dari paman-pamanmu menyangka bahwa engkau telah menyakiti mereka di tempat mereka berkumpul dan di tempat ibadah mereka, maka berhentilah menyakiti mereka.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan pandangannya ke langit.

“Apakah kalian melihat matahari itu?” tanya beliau kepada mereka.

“Ya,” jawab mereka.

Beliau berkata, “Sungguh aku tidak lebih mampu untuk meninggalkannya daripada keinginan kalian untuk mengambil sepercik api dari matahari.”

Lalu Abu Thalib berkata kepada orang-orang kafir Quraisy, “Demi Allah, keponakanku tidak berbohong kepada kita. Maka kembalilah kalian!”

Baca sebelumnya: DAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN

Baca sesudahnya: TUDUHAN-TUDUHAN PALSU

(Prof Dr Mahdi Rizqullah Ahmad)

Kisah Sirah Nabawiyah