KISAH PEREMPUAN PENGHUNI SURGA

KISAH PEREMPUAN PENGHUNI SURGA

Dari Atha’ bin Abu Ribah, ia berkata: Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang perempuan penghuni Surga?” Aku menjawab, “Ya.” Ibnu Abbas berkata, “Ia adalah perempuan berkulit hitam yang pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Aku mengidap penyakit ayan (epilepsi). Auratku terbuka karenanya. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah untukku!’

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ، وَإنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللهَ تَعَالَى أنْ يُعَافِيكِ

Jika engkau mau, bersabarlah dan bagimu Surga. Jika engkau mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia  menyembuhkanmu.’

Perempuan itu menjawab, ‘Aku akan bersabar.’ Kemudian perempuan itu berkata lagi, ‘Auratku terbuka karenanya. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah agar auratku tidak terbuka.’ Nabi pun berdoa untuknya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

PENJELASAN

Perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang perempuan penghuni Surga?” menunjukkan bahwa dia ingin memperlihatkan kepada Atha seorang perempuan penghuni Surga. Hal ini karena penghuni Surga dibagi menjadi dua kategori: penghuni Surga yang kita bersaksi bagi mereka dengan sifat-sifat mereka, dan penghuni Surga yang kita bersaksi bagi mereka dengan individu mereka.

Pertama. Penghuni Surga yang kita bersaksi bagi mereka dengan sifat-sifat mereka adalah seluruh orang beriman dan bertakwa. Kita bersaksi bahwa mereka termasuk penghuni Surga, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Surga:

اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْن

Disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali ‘lmran: 133)

Allah Ta’ala juga berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِۗ جَزَاۤؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka adalah Surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS al-Bayyinah: 7-8)

Maka setiap mukmin yang meninggal dalam keadaan beramal saleh, kita bersaksi bahwa dia termasuk penghuni Surga. Namun, kita tidak mengatakan dia adalah si fulan dan si fulan, karena kita tidak tahu bagaimana akhir kehidupannya, dan kita tidak tahu apakah batinnya seperti lahiriahnya. Oleh karena itu, kita tidak bersaksi untuknya dengan mata kepala sendiri.

Apabila orang yang dikenal dengan kebaikannya meninggal dunia, kita boleh berkata, “Kami berharap dia termasuk penghuni Surga.” Namun, kita tidak boleh bersaksi bahwa dia pasti termasuk penghuni Surga.

Kedua. Kategori kedua adalah penghuni Surga yang kita bersaksi untuknya secara langsung, yaitu orang-orang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersaksi bahwa mereka berada di Surga, seperti sepuluh sahabat yang dijamin masuk Surga, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Said bin Zaid, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah Amir bin al-Jarrah, dan Zubair bin Awwam, dan seperti Tsabit bin Qais bin Syammas, Sa’d bin Mu’adz, Abdullah bin Salam, Bilal bin Rabah dan lainnya, yang telah ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bagi mereka kita bersaksi dengan individu mereka. Kita boleh berkata, “Kami bersaksi bahwa Abu Bakar di Surga. Kami bersaksi bahwa Umar di Surga. Kami bersaksi bahwa Utsman di Surga. Kami bersaksi bahwa Ali di Surga,” dan seterusnya.

Di antara mereka adalah perempuan yang diceritakan oleh Ibnu Abbas kepada muridnya, Atha’ bin Abi Rabah, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang perempuan penghuni Surga?” Atha’ menjawab, “Ya.” Ibnu Abbas berkata, “Ia adalah perempuan berkulit hitam.”

Seorang perempuan berkulit hitam yang tidak dipandang di tengah masyarakat sering kejang-kejang (ayan) hingga auratnya tersingkap. Dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan keadaan dirinya dan meminta agar beliau mendoakan kesembuhan kepada Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau mau, bersabarlah dan bagimu Surga. Jika engkau mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia  menyembuhkanmu.”

Dia berkata, “Aku akan bersabar.”

Walaupun dia kesakitan dan terganggu dengan kejang-kejang tersebut, dia memilih bersabar agar dia termasuk penghuni Surga.

Selanjutnya dia berkata, “Wahai Rasulullah, auratku terbuka saat kejang-kejang. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah agar auratku tidak terbuka.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah agar auratnya tidak terbuka. Setelah itu dia tetap mengalami kejang-kejang, tetapi auratnya tidak terbuka.

Penyakit Ayan

(الصَّرْعُ) atau penyakit ayan terdiri dari dua jenis:

1. Ayan karena ketegangan saraf

Ini adalah penyakit medis yang dapat diobati oleh para dokter dengan memberikan obat-obatan yang dapat meredakannya atau menghilangkan sepenuhnya.

2. Ayan yang disebabkan oleh setan dan jin (kesurupan/kerasukan)

Jin menguasai manusia, menyebabkan dia kejang-kejang, masuk ke dalam dirinya, dan membantingnya ke tanah. Dia tidak sadarkan diri karena kejang-kejang yang hebat dan tidak merasakan apa-apa. Setan atau jin berbicara melalui manusia tersebut dan berbicara dengan lisannya. Orang-orang yang mendengar percakapan itu mengira bahwa orang itulah yang berbicara, padahal sebenarnya adalah jin. Oleh karena itu, dalam beberapa ucapannya terdapat perbedaan, tidak seperti ucapannya saat dia sadar, karena berubah akibat ucapan jin tersebut. Jenis ayan ini — kita memohon kepada Allah agar Dia melindungi kita dan kalian dari hal ini dan dari berbagai penyakit lainnya — pengobatannya adalah dengan pembacaan doa (ruqyah) dari orang-orang yang berilmu dan saleh, yang membaca doa kepada orang yang terkena ayan ini. Terkadang jin mau berbicara dan menjelaskan alasan dia merasuki korban, terkadang tidak mau berbicara. Telah terbukti bahwa jin dapat menyebabkan ayan pada manusia melalui al-Qur’an, as-Sunnah, dan kenyataan.

Dalam al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman:

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّ

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan karena gila.” (QS al-Baqarah: 275)

Ayat di atas merupakan dalil bahwa setan merasuki manusia melalui gangguan yang menyebabkan kejang-kejang.

Sedangkan dalil dari as-Sunnah, Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam perjalanan. Beliau melewati seorang perempuan yang sedang bersama anaknya yang mengalami kesurupan. Anak itu dibawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada jin itu dan jin itu pun keluar. Atas kejadian itu perempuan itu memberi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hadiah. (Shahih lighairihi. Diriwayatkan oleh Ahmad)

Demikian juga para ulama terkadang berbicara kepada jin yang ada di dalam tubuh orang yang kesurupan. Di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Ibnul Qayyim, yang merupakan murid Ibnu Taimiyah bercerita bahwa seorang laki-laki yang kerasukan jin perempuan dibawa ke hadapan Syaikhul Islam. Syekh meruqyah laki-laki itu dan mengajaknya berbicara. Syekh berkata kepada jin yang merasukinya, “Bertakwalah kepada Allah dan keluarlah!” Jin itu menjawab, “Aku menginginkan laki-laki ini. Aku mencintainya.” Syekh berkata, “Tetapi dia tidak mencintaimu. Oleh karena itu, keluarlah!” Jin berkata, “Aku ingin pergi haji bersamanya.” Syekh menjawab, “Dia tidak ingin pergi haji bersamamu. Keluarlah!” Namun jin enggan keluar. Syekh terus meruqyahnya sambil memukuli laki-laki itu dengan keras, hingga tangan Syaikhul Islam merasa sakit karena kerasnya pukulan tersebut.

Selanjutnya jin itu berkata, “Aku akan keluar sebagai penghormatan terhadap Syekh.” Namun Syekh membantah, “Jangan keluar karena menghormati aku. Keluarlah karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya!”

Syekh terus meruqyahnya sampai jin itu keluar. Begitu jin keluar, laki-laki itu langsung tersadar dan bertanya, “Apa yang membawaku ke hadapan Syekh?” Orang-orang yang berada di sekitarnya berkata, “Subhanallah! Apakah kamu tidak merasakan pukulan keras yang diberikan kepadamu?” Dia menjawab, “Aku tidak merasakan pukulan itu dan tidak sadar akan diriku sendiri.”

Kasus seperti ini sangat banyak.

Cara Mengatasi Kerasukan Jin

Jenis ayan ini dapat diatasi dengan tindakan pencegahan dan tindakan penanggulangan.

1. Tindakan pencegahan

Tindakan pencegahan adalah dengan menjaga bacaan dzikir pagi dan petang yang sesuai dengan syariat, yang dikenal dalam kitab-kitab para ulama. Di antaranya adalah Ayat Kursi. Barangsiapa membacanya di malam hari, dia senantiasa dalam perlindungan Allah Ta’ala dan tidak akan didekati setan hingga pagi hari.

Di antaranya juga adalah Surah al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas, serta hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaklah seseorang menjaga bacaan-bacaan ini setiap pagi dan petang, karena bacaan-bacaan ini merupakan salah satu sebab yang dapat mencegah gangguan jin.

2. Tindakan penanggulangan

Jika gangguan jin tengah menimpa seseorang, maka bacakanlah ayat-ayat al-Qur’an yang berisi ancaman, peringatan, pengingat, dan permohonan perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla hingga jin keluar.

Pelajaran dari hadis ini adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada perempuan itu, “Jika engkau mau, bersabarlah dan bagimu Surga.”

Perempuan itu berkata, “Aku akan bersabar.”

Ini adalah bukti keutamaan sabar, dan bahwa sabar adalah sebab untuk masuk Surga.

Allah-lah yang memberikan taufik.

Baca juga: KISAH ABU SUFYAN DAN HIRAKLIUS

Baca juga: BERSABAR DALAM MENGHADAPI GANGGUAN MUSUH

Baca juga: RUKIAH YANG DIPERBOLEHKAN DAN RUKIAH YANG DILARANG

(Syekh Muhammad bin Shalih al’Utsaimin)

Kisah Riyadhush Shalihin