TIDAK ADA KETAATAN KECUALI DALAM HAL YANG MAKRUF

TIDAK ADA KETAATAN KECUALI DALAM HAL YANG MAKRUF

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan hanya pada hal-hal yang makruf.” (Muttafaq ‘alaih)

PENJELASAN

Hadis ini menjadi pedoman dalam menaati orang-orang yang wajib ditaati, seperti pemimpin, orang tua, dan suami, sebab asy-Syari’ (Sang Pemberi Syariat) memerintahkan kita untuk menaati mereka.

Mereka ditaati sesuai dengan keadaan masing-masing. Semua ketaatan hanya pada hal-hal yang makruf. asy-Syari’ mengembalikan manusia kepada urf (kebiasaan) dan adat istiadat pada kebanyakan perintah-Nya, seperti perintah untuk berbuat baik, menyambung silaturahmi, berbuat adil, dan kebajikan lainnya. Hal itu berlaku pula dalam menaati orang yang wajib ditaati.

Semua ketaatan kepada mereka terikat atau terbatas dengan batasan ini. Sesungguhnya siapa saja dari mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, apakah untuk mengerjakan perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban, maka tidak ada kewajiban bagi kita untuk taat kepada mereka, karena yang diperintahkan oleh mereka adalah kemaksiatan kepada Allah. Jika mereka memerintahkan kita membunuh orang yang ma’shum (terlindungi dalam Islam), atau memukulnya, atau mengambil hartanya, maka kita tidak boleh menaatinya. Jika mereka menyuruh kita meninggalkan haji yang wajib atau ibadah wajib lainnya, atau menyuruh kita memutus silaturahmi yang wajib kita sambung, maka kita tidak boleh menaati mereka. Ketaatan kepada Allah senantiasa didahulukan di atas ketaatan kepada mereka.

Dipahami pula dari hadis ini bahwa jika ketaatan yang wajib kepada mereka bertabrakan dengan ibadah nafilah, maka ketaatan kepada mereka harus didahulukan, sebab meninggalkan perbuatan nafilah bukan merupakan kemaksiatan. Jika seorang suami melarang istrinya berpuasa nafilah, atau melarangnya mengerjakan haji nafilah, atau jika seorang pemimpin menyuruh kita mengerjakan salah satu urusan politik yang mengharuskan kita meninggalkan sesuatu yang mustahab, maka kita wajib mendahulukan perintah pemimpin.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ketaatan hanya pada hal-hal yang makruf.” Yakni mencakup apa saja yang telah kami sebutkan di atas.

Sabda Nabi ini juga berarti bahwa ketaatan tergantung pada kekuatan dan kemampuan, seperti halnya kewajiban tergantung pada kaidah syariat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَلَيْكُمُ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا اسْتَطَعْتُمْ

Kalian wajib mendengar dan menaati semampu kalian.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Allahu a’lam.

Baca juga: BENTUK-BENTUK NASIHAT UNTUK PEMIMPIN

Baca juga: SEGALA SESUATU BERJALAN SESUAI DENGAN TAKDIR

Baca juga: SABAR DAN TENANG

(Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di)

Kelembutan Hati