HUKUM MENGHIDUPKAN PENINGGALAN ISLAM

HUKUM MENGHIDUPKAN PENINGGALAN ISLAM

Syekh bin Baz rahimahullah ditanya:

Apakah hukum menghidupkan peninggalan-peninggalan Islam untuk mengambil pelajaran, sepertu gua Tsur, gua Hira, kemah Ummu Ma’bad, dan memudahkan jalan menuju ke sana untuk mengetahui jihad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikutinya?

Syekh bin Baz rahimahullah menjawab:

Sesungguhnya memberikan perhatian khusus terhadap peninggalan Islam dengan cara menghormati dan mengagungkannya dapat membawa kepada perbuatan syirik kepada Allah Ta’ala, sebab jiwa sangat lemah dan bergantung pada sesuatu yang disangkanya berguna. Syirik kepada Allah Ta’ala terdiri dari berbagai jenis dan kebanyakannya tidak diketahui oleh manusia. Pada peninggalan tersebut terjadi dimana orang-orang jahil mengusap tanahnya, salat di sisinya, dan berdoa kepada orang yang disandarkan kepadanya. Mereka mengira bahwa hal itu merupakan ibadah kepada Allah Ta’ala dan dapat menyembuhkan penyakit. Hal itu diperparah dengan perbuatan para penyeru kesesatan yang menghiasi ziarah untuk memperoleh keuntungan materi. Mereka umumnya tidak menyampaikan kepada pengunjung bahwa tujuan ziarah adalah untuk mengambil pelajaran dari peninggalan itu. Mereka justru menyampaikan sebaliknya.

Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Hunain, beliau melewati sebuah pohon yang oleh orang-orang musyrik disebut dzatu anwath di mana mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di sana.

Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, buatlah dzatu anwath untuk kami sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى:‏ ‏(‏اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ‏)‏ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

Subhanallah! Ini seperti apa yang dikatakan oleh kaum Musa, ‘Jadikan bagi kami tuhan seperti tuhan-tuhan mereka.’ Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi)

Nabi menyerupakan ucapan mereka ‘Buatlah dzatu anwath untuk kami sebagaimana mereka memiliki dzatu anwaht” dengan ucapan bani Israil, “Jadikan bagi kami tuhan seperti tuhan-tuhan mereka“. Hal ini menunjukkan bahwa yang dipandang adalah maksud dan tujuan, bukan ucapan semata.

Jikalau menghidupan peninggalan Islam atau mengunjunginya merupakan perkara yang disyariatkan, pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya, atau perbuatan itu dilakukan oleh para sahabat, atau para sahabat menunjukkan kepada perbuatan itu, sedangkan mereka adalah manusia yang paling mengetahui tentang syariat Allah Ta’ala dan sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabat radhiyallahu ‘anhuma bahwa mereka pernah mengunjungi gua Hira atau gua Tsur. Tidak ada riwayat bahwa mereka menaiki kemah Ummu Ma’bad, tidak pula tempat pohon baiat Ridhwan. Bahkan yang terjadi sebaliknya. Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu mengetahui bahwa beberapa orang pergi mendatangi pohon dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibaiat di bawahnya, ia menyuruh menebang pohon itu. Ia khawatir orang-orang berbuat ghuluw dan syirik. Oleh karena itu, kaum muslimin berterima kasih kepadanya dan memandangnya sebagai salah satu manaqibnya.

Dalam penjelasan di atas diketahui bahwa mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti peninggalan Islam dan memudahkan jalan ke sana adalah perkara bidah yang tidak ada dasarnya dalam syariat Allah Ta’ala. Para ulama dan pemerintah berkewajiban menutup sarana yang membawa kepada kesyirikan untuk menjaga tauhid.

Semoga selawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Baca juga: GHULUW TERHADAP ORANG SALEH ADALAH AWAL KESYIRIKAN

Baca juga: LARANGAN MEMBANGUN TEMPAT PERIBADATAN DI ATAS KUBURAN

Baca juga: BERIMAN KEPADA YANG GAIB

(Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz)

Akidah