HUKUM-HUKUM SISA/BEKAS MINUMAN

HUKUM-HUKUM SISA/BEKAS MINUMAN

al-Asar adalah bentuk jamak dari su’ru. as-Su’ru berarti sisa minuman, yaitu sesuatu yang tersisa di dalam bejana setelah diminum.

1. Sisa Minuman Manusia

Manusia adalah suci pada zatnya, sehingga sisa minuman dan keringatnya juga dianggap suci, baik ia muslim atau kafir, laki-laki atau perempuan, perempuan haidh atau perempuan suci. Hal ini ditetapkan suci berdasarkan asal penciptaan manusia dan pemuliaan Allah terhadap mereka. Dalil yang menunjukkan sucinya seorang muslim dapat ditemukan dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh as-Shahihain:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku, sedangkan aku ketika itu dalam keadaan junub. Lalu aku berjalan bersamanya, sedangkan beliau sendiri menggandeng tanganku. Kemudian aku meninggalkannya dengan sembunyi-sembunyi. Lalu aku mandi. Setelah itu, aku kembali dan duduk bersamanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟

Engkau tadi ke mana, wahai Abu Hurairah?

Aku menjawab, “Engkau tadi menjumpaiku, sedangkan aku dalam keadaan junub. Aku tidak suka duduk bersamamu (dalam keadaan seperti itu).”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

Sesungguhnya orang mukmin tidak najis.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan terdapat pula hadis yang shahih yang semisal dengannya dari hadis Hudzaifah yang diriwayatkan oleh Muslim)

Dalil sucinya orang kafir:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu dari mazadah (tempayan) milik seorang perempuan musyrikah. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad. Al-Mazadah adalah tempayan dari kulit yang diisi air di dalamnya)

Rasulullah juga pernah mengikat Tsumamah bin Âtsâl di salah satu tiang masjid, padahal Tsumamah adalah seorang musyrik. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa-i, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

Selain itu, Rasulullah pernah memakan daging kambing yang dihadiahkan oleh seorang wanita Yahudi dari Khaibar. (HR al-Bukhari dan an-Nasa-i)

Adapun firman Allah Ta’ala:

إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

Orang-orang musyrik itu tidak lain adalah najis.” (QS. at-Taubah: 28), yang dimaksud adalah najis maknawi, yaitu najis keyakinan.

Dalil sucinya sisa minuman wanita haidh:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Dulu aku pernah minum dan ketika itu aku dalam keadaan haidh, kemudian bekas air minumku itu aku berikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau meletakkan mulutnya di tempat (bekas) mulutku, dan meminumnya. Akupun pernah makan daging yang tersisa ditulang, sedangkan aku ketika itu dalam keadaan haidh. Kemudian aku berikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau meletakkan mulutnya di atas bekas mulutku.” (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ahmad)

al-’Araq adalah tulang yang sebagian besar dagingnya telah diambil, dan masih tersisa sedikit daging darinya.

2. Sisa Minuman Binatang yang Halal Dimakan Dagingnya

Hewan yang halal dimakan dagingnya adalah suci. Keringat dan sisa minumannya juga suci. Dalil yang menunjukkan demikian adalah prinsip al-bara’atul ashliyah (keadaan asli tanpa adanya hukum hingga ada dalil yang menghukuminya), yang menyatakan bahwa asal sesuatu adalah suci.

Ibnu Qudamah berkata, menukil dari Ibnu Mundzir, “Para ahli ilmu sepakat bahwa bekas minuman hewan yang dagingnya boleh dimakan adalah suci, boleh diminum, dan boleh digunakan untuk berwudhu.”

3. Sisa Minuman Kucing

Kucing adalah suci, demikian pula keringat dan sisa minumannya. Dalil yang menunjukkan kesuciannya adalah sebagai berikut:

Dari Kabsyah binti Ka’ab bin Malik (yang berada di bawah asuhan Abi Qatadah), ia bercerita bahwasanya Abu Qatadah pernah menemuinya. Saat itu, Kabsyah telah menyiapkan air wudhu (dalam sebuah bejana) untuk Abu Qatadah. Tiba-tiba datang seekor kucing. Abu Qatadah memiringkan bejana tersebut hingga kucing itu minum.

Kabsyah berkata, “Dia mengetahui bahwa aku memperhatikan tingkah lakunya, maka dia bertanya, ‘Apakah kamu heran, wahai puteri dari saudara laki-lakiku (keponakan)?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Dia pun berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ؛ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ

Kucing tidak najis. Sesungguhnya ia termasuk ke dalam golongan binatang jantan dan binatang betina yang selalu berada di sekitar kalian.’” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah. at-Tirmidzi berkata, “Hasan sahih.”)

4. Sisa Minuman Baghal (Peranakan dari Kuda dan Keledai) dan Keledai

Ibnu Qudamah berkata, “Yang benar menurutku, bahwa baghal dan keledai adalah suci. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengendarainya, dan keduanya adalah binatang yang sering ditunggangi pada masa beliau dan pada masa sahabat. Seandainya keduanya najis, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal itu. Selain itu, tidak mungkin menghindarkan diri dari keduanya, karena keduanya adalah binatang piaraan. Maka posisinya serupa dengan kucing.”

5. Sisa Minuman Binatang Buas, Burung Penyambar, Serangga dan Semisalnya

Para ahli ilmu berbeda pendapat mengenai sisa minuman binatang buas. Sebagian di antara mereka berpendapat bahwa sisa minuman binatang buas adalah suci, berpedoman pada hukum asal serta hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah ditanya, “Apakah kita boleh berwudhu dengan menggunakan sisa air minum keledai?” Beliau menjawab, “Ya, dan juga sisa air minum dari seluruh binatang buas.” Namun, hadis ini dianggap lemah.

Selain dalil di atas, Imam an-Nawawi memaparkan sebuah atsar dari Umar tentang tidak najisnya sisa minuman binatang buas, namun atsar tersebut adalah atsar mursal. Dalam al-Majmu’, Imam an-Nawawi menyebutkan hadis shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang air di tengah gurun yang diminum oleh binatang buas dan binatang melata. Beliau menjawab,

إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ

Jika kadar air telah mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung najis.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Mereka yang berpendapat bahwa sisa minuman binatang buas adalah najis, berargumen bahwa hadis di atas menunjukkan najisnya sisa minuman binatang buas. Jika tidak demikian, maka syarat tentang dua qullah tidak berfaedah. Pembatasan dengan dua qullah menjadi tidak bermakna jika tidak ada penunjukan seperti itu. Ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam Tamamul Minnah fi Ta’liq ‘Ala Fiqhis Sunnah. Pendapat pertama, yang dirajihkan oleh al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, menyatakan sebaliknya.

Aku berkata, ‘Beristidlal dengan hadis di atas tidaklah tepat.

al-Khatthabi rahimahullah berkata, ‘Hadis di atas ada kemungkinan karena jika binatang buas mendatangi air, ia menceburkan diri dan kencing di dalamnya, dan itu adalah kebiasaan serta perilakunya. Jarang sekali anggota-anggota tubuh binatang seperti itu terbebas dari lumuran kencing dan kotorannya. Hal ini telah aku jelaskan pada sejumlah binatang buas yaitu anjing, dan sisa minumannya adalah najis berdasarkan pada penjelasan dari sunah.

Ibnu Qudamah berkata, ‘Di antara orang yang memberikan keringanan dalam masalah hukum sisa air binatang buas adalah al-Hasan, Atha’, az-Zuhri, Yahya al-Anshari, Bukair bin al-Asyja’, Rabi’ah, Abu az-Zannad, Malik, asy-Syafi’i dan Ibnu Mundzir.

6. Sisa Minuman Anjing dan Babi

Sisa minuman anjing adalah najis, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

Sucinya bejana seseorang dari kalian, apabila seekor anjing menjilat di dalamnya, maka hendaklah ia mencucinya tujuh kali, yang pertama (dicampur) dengan tanah.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah)

Dalam beberapa riwayat disebutkan, “Pada salah satunya” atau “Yang ketujuh”.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud, dan an-Nasa-i.

Hadis ini menunjukkan kenajisannya.

Adapun mengenai najisnya babi, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

Atau daging babi, maka sesungguhnya ia adalah rijs.” (QS al-An’am: 145), yaitu najis. Maka, apa yang terlahir darinya juga najis. Ini adalah pendapat madzhab asy-Syafi’i, Abu Hanifah, dan Ahmad. Sedangkan Imam Malik, Auza’i, dan Dawud berpendapat bahwa sisa minuman kedua hewan tersebut adalah suci. Namun, pendapat pertama dianggap lebih unggul.

Baca juga: HUKUM-HUKUM AIR

Baca juga: DAMPAK BURUK MAKSIAT TERHADAP MASYARAKAT

Baca juga: SYARAT SAH SHALAT

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih