BINASA KARENA MENURUTI HAWA NAFSU

BINASA KARENA MENURUTI HAWA NAFSU

Hawa nafsu menyebabkan kebinasaan jika dituruti, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: فَشُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

Ada tiga perkara penyebab kebinasaan: sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan sikap ujub terhadap diri sendiri. ” (Hadis hasan. Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah)

Yang dimaksud dengan hawa nafsu yang dituruti adalah setiap kali hawa nafsu memerintah, pemiliknya segera menurutinya, bahkan hingga perkara kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Jika keadaannya demikian, berarti ia telah mempertuhankan hawa nafsunya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةًۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jatsiyah: 23)

Allah Ta’ala menghukumi orang yang menuruti hawa nafsunya dengan kesesatan yang nyata dan kezaliman yang besar. Allah Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ

Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS al-Qashash: 50)

يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ

(Allah berfirman), ‘Wahai Dawud, sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil. Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS Shad: 26)

Oleh karena itu, janganlah kalian menuruti hawa nafsu kalian. Ketahuilah bahwa semua bentuk maksiat bersumber dari sikap mendahulukan hawa nafsu daripada kecintaan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, sebagaimana perbuatan bidah bersumber dari sikap mendahulukan hawa nafsu daripada syariat. Oleh karena itu, pelaku bidah juga dinamakan ahli ahwa (pengikut hawa nafsu).

asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Dinamakan hawa nafsu karena orang yang menurutinya terseret ke dalam Neraka Jahanam.”

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah Ta’ala tidak menyebut hawa nafsu di dalam kitab-Nya (al-Quran) melainkan mencelanya.”

Untuk menunjukkan celaan terhadap hawa nafsu dan para pengikutnya, cukup dengan firman Allah Ta’ala:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ الَّذِيْٓ اٰتَيْنٰهُ اٰيٰتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَاَتْبَعَهُ الشَّيْطٰنُ فَكَانَ مِنَ الْغٰوِيْنَ؛ وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنٰهُ بِهَا وَلٰكِنَّهٗٓ اَخْلَدَ اِلَى الْاَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوٰىهُۚ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ الْكَلْبِۚ اِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ اَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْۗ ذٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ؛ سَاۤءَ مَثَلًا ۨالْقَوْمُ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَاَنْفُسَهُمْ كَانُوْا يَظْلِمُوْنَ

Dan bacakanlah (Muhammad) kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan ayat-ayat Kami kepadanya, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda). Maka jadilah dia termasuk orang yang sesat. Dan sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah). Maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya. Jika kamu membiarkannya, ia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Sangat buruk perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Mereka menzalimi diri sendiri.” (QS al-A’raf: 175-177)

Jadi, orang yang sengsara adalah orang yang menuruti hawa nafsunya dan durhaka kepada Rabb Penciptanya. Sedangkan orang yang bahagia adalah orang yang menyelisihi hawa nafsunya dan mengikuti jalan keridaan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوٰىۙ فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوٰىۗ

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh Surgalah tempat tinggal-(nya).” (QS an-Nazi’at: 40-41)

Orang yang takut terhadap kebesaran Rabbnya tidak akan berani melakukan kemaksiatan. Apabila ia melakukan kemaksiatan karena kelemahannya sebagai manusia, maka rasa takut terhadap kebesaran Rabbnya akan menuntunnya untuk segera menyesal, beristigfar (memohon ampunan), dan bertobat, sehingga ia tetap dalam lingkaran ketaatan.

Menahan diri dari keinginan hawa nafsu merupakan takdir inti ketaatan karena hawa nafsu mendorong melakukan kezaliman dan kemaksiatan, serta merupakan sumber bencana dan keburukan. Manusia seringkali didatangi setan melalui hawa nafsunya.

Kebodohan mudah diobati, akan tetapi mengikuti hawa nafsu setelah datangnya ilmu merupakan petaka jiwa yang membutuhkan usaha yang sangat keras dan waktu yang sangat lama untuk mengobatinya.

Rasa takut kepada Allah Ta’ala merupakan benteng paling kokoh dalam menghadapi dorongan hawa nafsu. Tidak ada benteng lain yang dapat berdiri tegar di hadapan dorongan hawa nafsu kecuali rasa takut kepada Allah. Dari sinilah, konteks al-Qur’an menggabung keduanya (yaitu rasa takut terhadap kebesaran Allah Ta’ala dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu) di dalam satu ayat. Yang berbicara di sini adalah Allah Ta’ala Zat Pencipta jiwa, yang Mahamengetahui penyakit dan obat jiwa. Hanya Allah semata yang mengetahui jalan dan persimpangannya. Dia pun mengetahui di manakah hawa nafsu dan penyakitnya bersembunyi, dan bagaimana cara mengusirnya dari tempat persembunyiannya.

Allah Ta’ala tidak akan membebani manusia untuk mencabut hawa nafsu dari jiwanya. Allah tahu bahwa hal itu berada di luar batas kemampuan manusia. Akan tetapi, Allah membebani manusia agar menahan hawa nafsunya, mengendalikannya, dan menahan tali kekangnya; juga agar manusia memohon pertolongan dalam hal-hal tersebut dengan rasa takut, yaitu rasa takut kepada kebesaran Allah Ta’ala, Rabb yang Mahamulia lagi Mahaagung. Dengan perjuangan yang berat ini, Allah Ta’ala menjanjikan Surga bagi hamba-Nya sebagai pahala dan tempat tinggal baginya. Hal itu karena Allah Ta’ala mengetahui betapa berat mendidik jiwa manusia, meluruskannya, dan mengangkatnya ke tingkat yang lebih tinggi.

Sesungguhnya manusia benar-benar akan menjadi manusia ketika dia berhasil menahan hawa nafsunya, berjuang melawannya, dan meraih tingkat tertinggi. Manusia bukanlah manusia yang sejati jika ia membiarkan jiwanya terseret oleh hawa nafsunya dan menuruti ajakan-ajakannya sampai pada tingkat terendah, dengan alasan bahwa hal itu telah dilekatkan pada tabiatnya. Jadi, orang yang telah mempersiapkan diri untuk menghadapi gelombang hawa nafsunya, dialah orang yang benar-benar siap untuk mengendalikan tali kekangnya, menahan diri, dan menyelamatkan dari godaan. Jika ia berhasil menang melawan hawa nafsunya, maka ia berhak mendapatkan Surga sebagai balasan dan tempat tinggalnya.

Ada kebebasan manusia (hurriyah insaniyah) yang sesuai dengan pemuliaan Allah Ta’ala kepadanya. Itulah kebebasan yang membuat manusia menang melawan hawa nafsunya dan selamat dari jeratan syahwatnya. Memanfaatkan kebebasan tersebut dengan seimbang dan terarah dapat meneguhkan kebebasan dalam memilih.

Ada juga kebebasan binatang (hurriyah hayawaniyah), yaitu kekalahan manusia di hadapan hawa nafsunya. Dia menjadi budak bagi syahwatnya, dan tali kekangnya terlepas dari kehendak dirinya. Itulah kebebasan yang dibisikkan oleh manusia yang telah ditinggal oleh kemanusiaannya dan diperbudak oleh kebebasan hawa nafsunya.

Manusia jenis pertama adalah manusia yang berhasil menggapai tingkat tertinggi dan siap untuk hidup mulia yang penuh kebebasan di Surga. Adapun manusia jenis kedua adalah manusia yang terjungkir yang siap untuk hidup di kerak Neraka Jahim. Di tempat itu kemanusiaannya akan dihancurkan, dan dia dijadikan bahan bakar Nereka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Surga adalah tempat kembali yang tepat bagi kemenangan dan Neraka adalah tempat kembali yang tepat bagi kekalahan.

Baca juga: BERJIHAD MELAWAN DIRI SENDIRI

Baca juga: MEMPERBANYAK JALAN KEBAIKAN

Baca juga: SIFAT MUSLIM, MUHAJIR, MUKMIN DAN MUJAHID SEJATI

(Dr Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi)

Serba-Serbi