HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN MANDI

HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN MANDI

Mandi diwajibkan dalam beberapa hal tertentu untuk membersihkan diri dari hadas besar. Berikut adalah hal-hal di mana mandi diwajibkan:

1. Keluar Mani

Hal ini berdasarkan pada hadis Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha:

Dari Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah perempuan diwajibkan mandi jika bermimpi basah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ

Ya, jika ia melihat air (air mani).”

Ummu Sulaim bertanya lagi, “Apakah perempuan juga bermimpi basah?”

Beliau bersabda,

تَرِبَتْ يَدَاكِ ، فَبِمَا يُشْبِهُهَا وَلَدُهَا

Taribat yadak! (Semoga tanganmu berdebu!) Jika tidak demikian, bagaimana mungkin anak-anaknya mirip dengannya?” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Air itu karena air.” (HR Muslim dan Abu Dawud) Yaitu, mandi disebabkan karena keluarnya air mani.

Wajib mandi adalah apabila air mani keluar akibat syahwat, baik dari laki-laki maupun perempuan, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga. Namun, bagi yang terjaga, harus merasakan dorongan syahwat saat keluarnya air mani. Yang dihukumi dalam hal keluarnya mani (pada saat tidur) adalah keluarnya air mani itu sendiri, bukan hanya mimpi bersetubuh. Jika seseorang bermimpi bersetubuh tetapi tidak mengeluarkan air mani, maka tidak ada kewajiban mandi atasnya. Apabila ia mendapati air mani tetapi tidak mengingat mimpi apapun, maka ia tetap wajib mandi, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantungkan hukum tersebut pada ‘ra’yu al-mani’ (melihat air mani).

Di antara dalil yang dijadikan oleh ulama untuk disyariatkannya syahwat ketika keluarnya mani adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang hasan dari Ali radhiyallahu ‘anhu. Ali berkata: Aku adalah seorang laki-laki yang sering mengalami madzi, lalu aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Apabila air mani memancar, maka mandilah, karena janabat. Jika tidak, maka kamu tidak perlu mandi.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad)

al-Hadhf (memancar) bermakna keluarnya air mani akibat dorongan syahwat, bukan karena tanpa sebab, seperti sakit atau lainnya. asy-Syaukani mengatakan, “Hal itu hanya terjadi karena dorongan syahwat.”

Beberapa Catatan:

(1) Jika seseorang merasa bahwa air mani telah berpindah ke kemaluannya namun belum keluar, maka pendapat yang benar adalah bahwa tidak ada kewajiban mandi atasnya.

(2) Jika air mani keluar bukan karena syahwat tetapi karena penyakit atau sebab lainnya, maka air mani tersebut dianggap sebagai air yang ‘fasid’ (rusak). Menurut pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah, pelakunya tidak diwajibkan mandi, sebagaimana mayoritas ulama seperti Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad, sebagaimana tidak diwajibkannya mandi karena keluarnya darah istihadhah (darah penyakit).

(3) Jika seseorang dalam keadaan junub lalu mandi, dan setelah mandi air mani kembali keluar, maka ia tidak wajib mengulangi mandinya. Hal itu karena pada umumnya keluarnya air mani tersebut bukan disebabkan oleh syahwat.

(4) Jika seorang perempuan merasakan bahwa air mani laki-laki keluar dari kemaluannya setelah ia mandi, atau di sela-sela mandinya, maka ia tidak wajib mengulangi mandinya. Namun, mengenai kewajiban berwudhu, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebaiknya, ia berwudhu sebagai bentuk kehati-hatian. Hukum yang sama juga berlaku untuk kasus sebelumnya.

(5) asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika seseorang bangun dari tidur dan mendapati cairan namun tidak ingat penyebab keluarnya, maka tiga keadaan mungkin terjadi:

Pertama: Jika ia meyakini bahwa cairan tersebut adalah air mani, maka ia wajib mandi, baik ia ingat mimpi yang menyebabkannya atau tidak.

Kedua: Jika ia meyakini bahwa cairan tersebut bukan air mani, maka ia tidak wajib mandi, dan hukumnya sama dengan hukum air kencing.

Ketiga: Jika ia tidak tahu dan ragu apakah cairan tersebut air mani atau bukan, maka hendaklah ia berusaha memilih. Jika ia mengingat sesuatu yang lebih mengarah pada kesimpulan bahwa cairan tersebut adalah air mani, maka itu dianggap air mani dan ia wajib mandi. Jika ia mengingat sesuatu yang lebih mengarah pada kesimpulan bahwa cairan tersebut adalah air madzi, maka itu dianggap air madzi. Jika ia tidak mengingat apapun, maka ada pendapat yang mengatakan ia wajib mandi sebagai bentuk kehati-hatian, dan ada juga pendapat yang menyatakan tidak wajib.”

(6) Jika seseorang melihat air mani di pakaiannya dan ia tidak mengingat dengan pasti waktu bermimpinya, maka ia wajib mandi dan mengulangi semua shalat yang telah ia kerjakan sejak tidur terakhirnya.

2. Bertemunya Dua Khitan (Bersetubuh)

Jika seorang laki-laki menyetubuhi seorang perempuan sehingga ujung kemaluannya terbenam sepenuhnya di dalam kemaluan perempuan tersebut, maka keduanya wajib mandi, baik mengeluarkan mani ataupun tidak. Hal ini berdasarkan hadis:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْغُسْلُ

Apabila (laki-laki) duduk di antara empat anggota tubuh (dua tangan dan dua kaki) perempuan, lalu bersungguh-sungguh melakukannya (bersetubuh), maka wajib atasnya mandi,” (Muttafaq ‘alaihi) dan bagi Muslim, “Meskipun tidak mengeluarkan (air mani).”

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila (laki-laki) duduk di antara empat anggota tubuh (dua tangan dan dua kaki) perempuan, kemudian khitan bertemu khitan, maka ia wajib mandi.” (HR Muslim dan ath-Thabrani)

Yang dimaksud dengan ‘khitan bertemu khitan’ adalah penetrasi, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat at-Tirmidzi, “Apabila telah melampaui (melewati).” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Hibban) Berdasarkan hal ini, jika seorang laki-laki hanya meletakkan khitannya di atas khitan perempuan tanpa penetrasi (ilaj), maka ia tidak wajib mandi menurut ijma’ ulama.

Catatan: Jika seorang laki-laki mencampuri istrinya tetapi hanya memasukkan sesuatu yang bukan ujung kemaluannya, atau jika dia hanya mencampuri di sekitar dua pahanya dan air maninya masuk ke dalam kemaluan istrinya, sedangkan istrinya sendiri tidak mengeluarkan air mani, maka tidak ada kewajiban mandi bagi istrinya dalam kedua keadaan tersebut. Namun, jika istrinya mengeluarkan air mani, maka ia wajib mandi.

3. Terputusnya Darah Haidh dan Nifas

Setiap kali darah haidh atau nifas terputus dari seorang perempuan, maka ia wajib mandi.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy mengalami istihadhah dan bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

ذَلِكِ عِرْقٌ، وَلَيْسَتْ بِالْحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي.

Demikian itu adalah urat (gangguan pada urat) dan bukan haidh. Jika haidhmu datang, maka tinggalkanlah shalat. Apabila haidh telah hilang, mandilah dan shalatlah.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Nifas termasuk dalam bagian haidh, bahkan kadang nifas disebutkan dengan istilah haidh—sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadis. Hukum untuk keduanya pun sama.

4. Kematian

Dari Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke tempat para perempuan ketika anak perempuan beliau meninggal. Beliau bersabda, “Mandikanlah ia tiga kali, atau lima kali, atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Memandikan semua mayat kaum muslimin adalah wajib. Jika mayat dikubur tanpa dimandikan sebelumnya, maka ia harus dikeluarkan selama masih memungkinkan untuk mendapatkan bagian tubuhnya dan dimandikan. Kecuali untuk yang mati syahid di medan peperangan, maka tidak ada kewajiban memandikannya.”

Pembahasan mengenai hukum-hukum memandikan mayat akan dibahas lebih lanjut di bab jenazah nanti, in sya Allah

5. Orang Kafir Masuk Islam

Dari Qais bin Ashim radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia masuk Islam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan bidara. (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Tsumamah masuk Islam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bawalah ia ke kebun bani fulan, lalu suruhlah ia mandi.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)

Perintah tersebut menunjukkan hukum wajib, sebagaimana yang ditetapkan dalam ilmu ushul. Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mandi adalah wajib bagi seseorang yang masuk Islam. Pendapat ini dianggap lebih unggul berdasarkan zahir hadis.

6. Mandi Hari Jumat

Ulama berbeda pendapat tentang hukum mandi Jumat, dengan dua pendapat sebagai berikut:

Sebagian ulama berpendapat bahwa mandi Jumat adalah sunah. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa berwudhu dengan sebaik-baik wudhu, kemudian mendatangi Jumat, lalu mendengarkan dan diam, maka diampuni baginya dosa-dosa yang berada di antara Jumat dengan Jumat, serta tambahan tiga hari.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Perolehan ganjaran tersebut merupakan hasil dari apa yang telah disebutkan, yang disertai dengan wudhu (bukan mandi).

Akan tetapi, dalil ini dijawab bahwa hadis di atas tidak menafikan (meniadakan) kewajiban mandi. al-Hafizh rahimahullah berkata, “Terdapat riwayat lain dalam ash-Shahihain dengan lafaz ‘mandi’—sebagai pengganti dari sabda beliau ‘berwudhu’—mungkin menunjukkan bahwa penyebutan berwudhu diperuntukkan bagi orang yang telah mandi sebelum pergi, sehingga ia perlu mengulangi wudhu.”

Di antara dalil lain yang mereka gunakan untuk menyokong sunahnya mandi Jumat adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa berwudhu pada hari Jumat, maka ia telah melaksanakan sunah dan itu adalah sebaik-baik sunah. Namun, barangsiapa mandi, maka mandi itu lebih utama.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i. Hadis tersebut memang memiliki kelemahan, tetapi ia juga memiliki penguat-penguat yang masing-masing tidak terlepas dari kelemahan. Oleh karena itu, Syekh al-Albani menghasankannya dengan berbagai kumpulan riwayat tersebut)

Jawab: Tidak terdapat dalam hadis ini—meskipun jika kesahihannya diterima—satu petunjuk pun mengenai disunahkannya mandi atau menafikan kewajibannya. Yang ada hanyalah perbandingan keutamaan wudhu dan mandi. Mandi dianggap lebih utama karena merupakan amalan wajib, sementara wudhu adalah syarat minimal untuk keabsahan shalat.

Adapun kelompok kedua, mereka berpendapat bahwa mandi Jumat adalah wajib. Ini adalah pendapat yang lebih unggul karena adanya perintah yang jelas dan pernyataan tegas tentang kewajibannya.

Adapun hadis yang memerintahkan mandi Jumat adalah:

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ

Apabila salah seorang di antara kalian pergi shalat Jumat, maka hendaklah ia mandi.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi)

Hadis yang tegas menyatakan kewajiban mandi Jumat adalah hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang sudah baligh.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Pendapat tentang kewajiban mandi Jumat ini diunggulkan oleh syekh kami, Syekh al-Albani dan Syekh Ibnu Utsaimin.

Untuk mendapatkan pembahasan yang rinci tentang ini, silakan merujuk langsung ke kitab Fathul Bari, penjelas Shahih al-Bukhari.

Baca juga: ADAB MANDI

Baca juga: RUKUN DAN SIFAT MANDI JUNUB

Baca juga: SUCI ADALAH DI ANTARA SYARAT SAH SHALAT

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih