BESARNYA HAK KEDUA ORANG TUA

BESARNYA HAK KEDUA ORANG TUA

Jiwa manusia dibekali dengan sifat bawaan, yaitu mencintai orang yang berbuat baik kepadanya. Hatinya tersangkut kepada orang yang memberinya kebaikan. Dalam hal ini, tidak satu pun yang kebaikannya lebih besar dan jasanya lebih banyak setelah Allah Ta’ala daripada kedua orang tua. Tidak ada pula orang yang kebaikan hatinya kepada orang lain seperti kebaikan hati orang tua kepada anaknya. Oleh karena itu, Allah menyertakan hak kedua orang tua dengan hak-Nya, menyertakan terima kasih kepada kedua orang tua dengan syukur kepada-Nya, dan berpesan agar anak berbuat baik kepada kedua orang tua setelah memerintahkan beribadah kepada-Nya dalam firman-Nya:

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS an-Nisa’: 36)

Juga dalam firman-Nya yang lain:

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًا

Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS al-Isra: 23)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa terdapat tiga ayat yang menyertakan dua hal yang tidak diterima satu di antaranya tanpa melakukan penyertanya. Ayat-ayat tersebut adalah:

اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ

Taatilah Allah dan taatilah Rasul.” (QS an-Nisa: 59)

Artinya, orang yang menaati Allah tetapi tidak menaati Rasul, maka taatnya kepada Allah tidak diterima.

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ

Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.” (QS al-Baqarah: 43)

Artinya, orang yang mendirikan salat tetapi tidak membayar zakat, maka salatnya tidak diterima.

اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَ

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (QS Luqman: 14)

Artinya, orang yang bersyukur kepada Allah tetapi tidak berterima kasih kepada kedua orang-tuanya, maka syukurnya tidak diterima.

Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ؛ وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Dan Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, apalagi ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan susah payah dan menyapihnya selama dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku jua tempat kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak ada pengetahuan tentangnya, maka janganlah engkau turuti keduanya. Tetapi pergaulilah mereka di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku jua kalian kembali. Lalu Aku beritakan kepada kalian tentang apa yang dulu kalian lakukan.” (QS Luqman: 14-15)

Ayat-ayat di atas menunjukkan kewajiban berterima kasih, berbakti, dan taat kepada kedua orang tua dalam perkara yang baik, sekalipun mereka kafir. Bahkan ayat-ayat di atas menunjukkan keharusan untuk tetap memelihara kekerabatan dan memperlakukan mereka dengan baik, sekalipun mereka memaksa anaknya untuk menyekutukan Allah. Namun, ajakan untuk menyekutukan Allah tidak boleh ditaati, karena tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam hal kedurhakaan terhadap al-Khaliq.

Jika memberi perlakuan baik kepada orang tua musyrik yang memaksa anaknya berbuat kemusyrikan saja merupakan suatu kewajiban, lalu bagaimana memperlakuan orang tua muslim yang saleh?

Selain itu, berbakti kepada kedua orang tua merupakan salah satu sifat para nabi dan rasul sehingga Allah Ta’ala memuji Nabi Yahya ‘alaihissalam dengan firman-Nya:

وَّبَرًّاۢ بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا

“…dan sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, dan ia bukan orang yang sombong (bukan pula) orang yang durhaka.’’ (QS Maryam: 14)

Tentang Nabi Isa ‘alaihissalam, Allah Ta’ala mengisahkannya dengan menyebutkan ucapannya:

وَّبَرًّاۢ بِوَالِدَتِيْ وَلَمْ يَجْعَلْنِيْ جَبَّارًا شَقِيًّا

Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS Maryam:·32)

Tentang Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Allah Ta’ala menirukan kata-katanya kepada ayahnya:

سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ كَانَ بِيْ حَفِيًّا

Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu. Aku akan memohonkan ampunan untukmu kepada Rabb-ku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS Maryam: 47)

Allah Ta’ala juga berkisah tentang doa Nabi Nuh ‘alaihissalam dengan firman-Nya:

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا

Ya Rabb, ampunilah hamba, kedua orang tua hamba, dan orang-orang yang masuk ke dalam rumah hamba dalam keadaan beriman.” (QS Nuh: 28)

Itu semua menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua merupakan perkara yang agung. Jasa kedua orang tua menyeluruh dan tidak ada bandingannya. Hak kedua orang tua adalah sangat besar dan sangat mulia yang hanya dipungkiri oleh orang yang tumpul hatinya dan rusak agamanya. Ini dapat direnungkan melalui kilas balik kisah masa kecil seorang anak yang lemah tak berdaya, saat ibu menjalani sembilan bulan masa mengandung dengan berbagai derita, kepayahan dan kegetiran yang kian berat dari hari ke hari, yang senantiasa menyusahkan makan dan tidurnya. Saat melahirkan, ia seolah melihat kematian berada di depan matanya. Namun, begitu melihat bayi yang dikandungnya lahir ke dunia dan berada di sisinya, ia lupa dengan semua penderitaan yang pernah ia rasakan. Harapan pun ditumpukan kepada anaknya sehingga seluruh perhatian dan tenaganya dicurahkan untuk merawat dan membesarkannya. Kasih sayang nan tulus dicurahkan melalui pelukan dan buaian. Ia lebih mendahulukan kesehatan bayinya daripada kesehatan dirinya. Ia memberi bayinya perlindungan dengan segenap perhatian. Air susunya menjadi sumber nutrisi bayinya. Keberadaannya menjadi lingkup asuhannya. Kedua tangan, dada, dan punggungnya menjadi tempat berpindah bayinya. Ia bersabar dengan jerit dan tangis anaknya. Ia membersihkan dan membuang kotoran anaknya. Ia senantiasa membelai dengan kasih sayang dan mendoakan kebaikan untuk anaknya. Ia rela lapar demi kenyang anaknya. Ia rela terjaga demi tidur anaknya. Ia rela bersusah payah demi kenyamanan anaknya. Bilamana anaknya sakit, ia menampakkan kegundahan dan sayang yang tidak berujung, dirundung kesedihan dan kecemasan yang tidak berbatas. Ia pun rela mengeluarkan harta bendanya untuk berobat demi kesembuhan anaknya. Seandainya ia diberi pilihan antara hidup anaknya dan kematian dirinya, ia tidak ragu untuk memilih hidup anaknya. Ia tetap bersabar sekalipun anaknya menyakitinya. Ia senantiasa peduli kepada anaknya sementara anaknya tidak jarang masa bodoh kepadanya. Ia menaruh harapan besar dan mendoakan kebaikan untuk anaknya secara diam-diam maupun terang-terangan.

Sementara bagi ayah, anak merupakan penyejuk matanya, buah hatinya, gairah hidupnya, tumpuan harapannya, dan belahan jiwanya, yang dengan melihatnya, dunia menjadi cerah di matanya. Senyum ceria pun terkulum di bibirnya. Ia bersusah payah demi anaknya. Ia rela melakukan perjalanan jauh dan sulit dari satu tempat ke tempat lain, serta menghadapi berbagai risiko demi ketenteraman dan menjamin masa depan anaknya. Ia senang bilamana anaknya senang. Ia sedih bilamana anaknya sedih. Ia rela terjaga demi anaknya dan menghabiskan waktu dan tenaga demi mengasuh dan mendidik anaknya. Ia amat berminat dapat memberi anaknya wawasan, keterampilan, dan pembentukan kepribadian. Ia amat menginginkan kebaikan bagi anaknya dan membantunya pada kebaikan itu. Sebaliknya, ia mewanti-wanti anaknya dari keburukan dan berusaha keras agar menjauhinya.

Sungguh, hak kedua orang tua adalah sangat besar dan jasanya tidak terhitung. Kasih sayang keduanya -khususnya ibu- kepada anaknya benar-benar kasih sayang yang tulus dan suci. Terkadang manusia memperoleh kasih sayang isteri, anak-anak, dan teman-temannya, tetapi, betapa pun besar kasih sayang mereka, sesungguhnya kasih sayang mereka lebih kecil dibandingkan kasih sayang orang tua. Ketulusan dan kebenaran orang tua dalam memberi nasehat adalah lebih besar dari yang dapat dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu, hak kedua orang tua adalah sangat besar, dan kewajiban terhadap keduanya juga sangat besar dan mulia.

Seorang laki-laki datang menemui Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu lalu berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, ibuku telah lanjut usia. Aku adalah kendaraannya. Aku menggendongnya, memapahnya, dan membersihkan kotorannya. Apakah dengan semua yang kulakukan itu aku sudah menunaikan terima kasih kepadanya atas jasa-jasanya?”

Amirul Mu’minin menjawab, “Belum!”

Laki-laki itu bertanya lagi, “Mengapa demikian, wahai Amirul Mu’minin?”

Umar menjawab, “Sebab engkau melakukan demikian terhadapnya sambil berdoa kepada Allah agar Allah mengambil nyawanya, sedangkan ia melakukan demikian terhadapmu sambil berdoa kepada Allah agar Dia memanjangkan usiamu.” (HR Ibnu Abi ad-Dunya)

Dari Hasan al-Basri, ia berkata: Seorang laki-laki bertawaf sambil memanggul ibunya. Ia menengadah ke arah ibunya seraya bertanya, “Ibu, apakah aku sudah membalas jasamu?”

Ibnu Umar yang berada di dekatnya menyela, “Hai luka’ (anak celaka)! Tidak, demi Allah, sedikit pun tidak!” (Makarim al-Akhlaq)

Dari Said bin Abu Burdah, dari ayahnya, ia menuturkan bahwa Ibnu Umar pernah melakukan tawaf. Ia melihat seorang laki-laki sedang bertawaf sambil menggendong ibunya seraya menyenandungkan puisi:

Aku untukmu laksana unta penurut

Jika pengendaranya panik, aku tidak

Akan tetap setia membawanya

Karena ia dulu mengembanku lebih banyak

Ia bertanya kepada Ibnu Umar, “Apakah dengan demikian aku teleh membalas jasanya, wahai Ibnu Umar?”

Ibnu Umar menjawab, “Belum, sedikit pun belum.” (Makarim al-Akhlaq)

Dalam satu riwayat, “Belum, sedikit pun belum. Akan tetapi, engkau telah berbakti kepadanya, dan Allah memberi pahala besar atas bakti yang sedikit itu.” (al-Kabair)

Baca juga: BERBUAT BAIK KEPADA KEDUA ORANG TUA

Baca juga: PENDIDIKAN ANAK

Baca juga: HUKUM MENGANGKAT ANAK (TABANNI)

(Dr Abdul Aziz bin Fauzan bin Shalih al-Fauzan)

Adab