DAKWAH SECARA SEMBUNYI-SEMBUNYI

DAKWAH SECARA SEMBUNYI-SEMBUNYI

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi perintah Rabbnya untuk menyampaikan risalah. Perintah ini terlihat jelas dalam ayat-ayat yang turun setelah ayat-ayat surat al-‘Alaq.

يٰٓاَيُّهَا الْمُدَّثِّرُۙ قُمْ فَاَنْذِرْۖ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْۖ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْۖ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْۖ  وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُۖ  وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْۗ

Wahai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan agungkanlah Rabbmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji, dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Rabbmu, bersabarlah.” (QS al-Muddatstsir: 1-7)

Ayat-ayat suci ini merangkum inti dakwah yang harus disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh manusia. Ayat-ayat al-Qur’an yang turun di Makkah hampir tidak pernah keluar dari bingkai ini secara umum.

Dalam firman Allah Ta’ala kepada beliau, “Wahai orang yang berkemul (berselimut)” terdapat isyarat bahwa masa berselimut dan beristirahat di tempat tidur dengan istri dan anak-anak telah berlalu. Telah tiba masa untuk berusaha keras dalam segala dimensi, baik secara materi maupun maknawi.

Dalam firman-Nya Ta’ala, “Bangunlah dan berilah peringatan” terdapat isyarat penugasan beliau untuk menyeru seluruh manusia kepada Islam.

Dalam firman-Nya Ta’ala, “Dan agungkanlah Rabbmu” terdapat isyarat bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih besar dari Allah Ta’ala, Pencipta alam ini. Karena itu hendaklah beliau memberitahukan hakekat ini kepada seluruh manusia agar mereka tunduk kepada Allah yang Mahabesar dan Mahatinggi. Dan inilah tauhid yang mutlak.

Dan dalam firman-Nya Ta’ala, “Dan bersihkanlah pakaianmu” terdapat isyarat bahwa seseorang yang menyeru kepada Allah hendaklah memulai dengan membersihkan diri secara lahir dan batin sehingga ia mampu menjadi teladan terbaik bagi orang-orang yang diseru kepada kebersihan dengan segala maknanya.

Dalam firman-Nya Ta’ala, “Dan tinggalkanlah segala perbuatan yang keji” terdapat isyarat bahwasanya tauhid yang murni mengharuskan tidak adanya pengagungan ataupun pengkultusan terhadap apapun selain Allah Ta’ala.

Dalam firman-Nya Ta’ala, “Dan janganlah engkau memberi (dengan harapan) untuk memperoleh (balasan) yang lebih banyak” terdapat isyarat bahwa maksud dari apa yang diperintahkan kepada beliau, agar tidak memberi dengan tujuan mendapatkan bagian yang lebih banyak dari apa yang telah diberikannya, adalah bahwa beliau diperintahkan untuk berakhlak luhur dan beradab terpuji, sehingga beliau menjadi teladan tertinggi bagi seluruh manusia, dimana beliau menyeru mereka kepada kemuliaan akhlak.

Untuk melaksanakan seluruh perintah tersebut maka perlu ditutup dengan sebuah hakekat yang penting agar sampai kepada tujuan yang diharapkan darinya. Hakekat itu adalah bahwasanya mengemban dakwah dengan segala unsurnya yang telah disebutkan tadi haruslah dibarengi dengan kesabaran dalam menghadapi segala macam gangguan dari para penentang dakwah, dan kesabaran dalam mendidik para pengikut, serta kesabaran dalam menghadapi cobaan. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Dan karena Rabbmu, bersabarlah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari kasurnya dan mulai menyerukan apa yang diperintahkan kepadanya secara diam-diam selama tiga tahun. Yang menunjukkan metode dakwah secara sembunyi-sembunyi adalah riwayat tentang keislaman Amru bin Abasah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awal kenabian beliau di Makkah, dan beliau masih sembunyi-sembunyi.” Beliau memulai dengan menyeru kepada tauhid dan mencampakkan segala yang berhubungan dengan kemusyrikan.

Pergerakan beliau pada fase ini terbatas di antara orang-orang yang memiliki hubungan dengan beliau, seperti istrinya, anak-anaknya, pelayannya Zaid bin Haritsah, anak asuhnya Ali bin Abu Thalib, dan teman-temannya yang beliau anggap mampu menyimpan rahasia. Karena itu bisa dilihat bahwa yang pertama-tama masuk Islam adalah:

Pertama. Istrinya Khadijah radhiyallahu ‘anha yang merupakan orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini meringankan langkah Rasul. Khadijah merupakan orang pertama yang diberi kabar gembira berupa Surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk memberi kabar gembira kepada Khadijah, berupa sebuah rumah yang terbuat dari emas dan perak, tiada kebisingan di sana dan tidak pula kepayahan.” Banyak sekali hadis sahih yang menceritakan tentang keutamaannya.

Kedua. Putra pamannya Ali bin Abu Thalib yang beliau asuh. Saat itu ia berusia sepuluh tahun menurut pendapat yang paling kuat.

Ketiga. Pelayannya Zaid bin Haritsah, yang ketika ayahnya datang untuk menjemputnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Jika engkau mau, tetaplah bersamaku. Jika engkau mau, silakan ikut dengan ayahmu!” Ia menjawab, “Aku tetap tinggal bersamamu.” Maka ia pun tinggal bersama beliau dan dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad hingga turun ayat “Panggillah mereka (anak angkat) dengan nama bapak-bapak mereka, itu lebih adil di sisi Allah.” (QS al-Ahzab: 5) Dengan demikian kebiasaan mengadopsi anak dengan menghilangkan nama ayah aslinya dibatalkan.

Keempat. Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Dia merupakan orang pertama dari laki-laki dewasa yang beriman. Tentang hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Umar, “Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kalian, namun kalian mengatakan, ‘Engkau bohong,’ namun Abu Bakr berkata, ‘Dia benar.’”

Beliau juga berkata, “Tidak seorang pun yang kuajak kepada Islam melainkan ia pasti memiliki keraguan dan pendapat, kecuali Abu Bakr. Ia sedikit pun tidak menunda saat aku menyampaikan kepadanya dan tidak ragu sedikit pun.”

Abu Bakr berkata tentang dirinya sendiri ketika terpilih sebagai khalifah bagi kaum muslimin, “Bukankah aku orang yang paling berhak untuk ini? Bukankah aku adalah orang pertama yang beriman?”

Dalam bingkai dakwah secara diam-diam ini, Abu Bakr bergerak di antara kerabatnya, budak-budaknya, kawan-kawannya dan orang-orang yang ia percaya dari kaumnya. Maka beberapa tokoh terhormat menyambut dakwahnya. Di antaranya Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abu Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh’un, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abu Salamah bin Abdul Asad dan al-Arqam bin Abul Arqam.

Melalui hubungan yang mereka buat dengan orang lain, Islam mulai menyebar di Makkah dan di luar Makkah. Islam mulai dipeluk oleh orang-orang yang berasal dari keluarga-keluarga Quraisy yang terhormat maupun budak-budak mereka. Dari kalangan budak yang pertama kali masuk Islam antara lain adalah Bilal bin Rabah, Shuhaib bin Sinan, Ammar bin Yasir serta ayah dan ibunya Sumayyah binti Khayyath.

Dalam waktu yang singkat, jumlah pemeluk Islam dari kalangan Quraisy telah mencapai empat puluh orang.

Kelima. Juga dipastikan bahwasanya Waraqah bin Naufal merupakan salah satu dari yang pertama masuk Islam. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku bermimpi melihatnya memakai pakaian putih. Maka aku berpendapat, jika ia termasuk ahli Neraka, ia tidak akan memakai pakaian putih.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata dalam riwayat lain, “Aku bermimpi melihatnya. Aku lihat ia memakai pakaian putih tengah berada di dalam Surga. Ia memakai kain sutera.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata, “Janganlah kalian mencaci maki Waraqah. Sesungguhnya aku telah melihat bahwa ia memiliki satu atau dua taman Surga.” Beliau juga berkata, “Dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat sebagai satu umat.”

Wahyu terus diturunkan. Umumnya wahyu itu pendek-pendek, namun memiliki tekanan kuat untuk membersihkan hati dari berbagai kotoran duniawi yang sangat sesuai dengan kondisi saat itu yang menuntut kelembutan hati dan jiwa. Selain itu, wahyu yang turun banyak menggambarkan tentang Surga dan Neraka hingga seakan-akan Surga dan Neraka terpampang di hadapan mata. Hal itu dapat menimbulkan kerinduan seseorang terhadap Surga dan ketakutan terhadap Neraka.

Sedikit demi sedikit lahirlah ikatan hati yang kuat di antara mereka, kemudian lahirlah rasa ukhuwah dan tolong menolong sehingga semakin mengokohkan keimanan mereka.

Baca sebelumnya: TURUNNYA WAHYU DAN MASA TERPUTUSNYA

Baca sesudahnya: DAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN

(Prof Dr Mahdi Rizqullah Ahmad)

Kisah Sirah Nabawiyah