BUANG HAJAT

BUANG HAJAT

Buang hajat (qadhaul hajat) adalah kiasan untuk keluarnya kencing dan kotoran (tinja). Kadangkala, bab buang hajat disebut juga dengan bab al-Istithabah, bab at-Takhalla, atau bab at-Tabarruz. Semua istilah ini benar.

Adab-adab yang disyariatkan oleh Islam bagi yang buang hajat adalah sebagai berikut:

1. Berdoa ketika Hendak Masuk Tempat Buang Hajat

 Ketika hendak masuk ke tempat buang hajat, hendaklah ia mengucapkan, “Bismillah, Allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khabdits.”

Dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila hendak masuk ke tempat buang hajat (khala’), mengucapkan,

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan an-Nasa-i)

al-Khubuts dengan mendhammahkan kha dan ba adalah setan laki-laki. al-Khabaits adalah setan perempuan. Dapat juga dibaca al-khubtsu dengan mensukunkan ba, yang bermakna keburukan. Maka, al-khabaits bermakna jiwa-jiwa yang buruk.

Tentang penyebutan tasmiyyahBismillah’, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah memaparkan dalam satu riwayat dari Anas, dengan lafaz, “Apabila kalian masuk, maka ucapkanlah, ‘Bismillah, audzu billah minal khubutsi wal khabaits.” Ibnu Hajar berkata, “Sanad-sanadnya berdasarkan kriteria Muslim.”

Hadis ini memiliki penguat untuk disyariatkannya bacaan basmalah, yitu hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘ahhu secara marfu’,

سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمْ الْخَلَاءَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ

Penghalang antara penglihatan jin dan aurat bani Adam adalah ketika salah seorang dari mereka hendak masuk tempat buang hajat, ia mengucapkan, ‘Bismillah.’” (Hadis sahih lighairihi. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Disahihkan oleh Syekh al-Albani di dalam Irwa’ al-Ghalil)

Yang dimaksud dengan sabda beliau ‘Idza dakhalal khala’ (apabila hendak masuk ke tempat buang hajat) adalah apabila hendak masuk. Ungkapan ini secara jelas disebutkan dalam satu riwayat dalam kitab Adabul Mufrad oleh al-Bukhari, “Rasulullah, apabila hendak masuk ke tempat buang hajat, mengucapkan…” (al-Hadits)

Hal ini berlaku pada tempat-tempat yang disediakan untuk membuang hajat. Adapun jika di tempat terbuka, maka doa tersebut dibaca ketika pakaian hendak disingsingkan. Demikian pendapat mayoritas ulama.

2. Mengucapkan ‘Ghufranaka’ ketika Keluar dari Tempat Buang Hajat

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah, apabila keluar dari tempat buang hajat, mengucapkan,

غُفْرَانَكَ

Ghufranak’ (Aku mengharap ampunan-Mu).” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, dan al-Baihaqi)

3. Tidak Membawa Sesuatu yang di Dalamnya Terdapat Dzikrullah

Hendaklah seseorang yang hendak masuk ke tempat buang hajat tidak membawa sesuatu yang di dalamnya terdapat dzikrullah (penyebutan nama Allah) Azza wa Jalla, kecuali jika barang tersebut dikhawatirkan hilang. Hal itu dilakukan karena membawa sesuatu yang di dalamnya terdapat nama Allah Azza wa Jalla terkesan tidak adanya sikap pengagungan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَٰتِ ٱللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ عِندَ رَبِّهِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah, maka hal itu lebih baik baginya di sisi Rabb-nya.” (QS al-Hajj: 30)

4. Tidak Menjawab Salam Seseorang saat Buang Hajat

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya seorang laki-laki pernah melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang kencing. Lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

إِذَا رَأَيْتَنِي عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْحَالَةِ، فَلَا تُسَلِّمْ عَلَيَّ. فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ لَمْ أَرُدَّ عَلَيْكَ

Jika kamu melihatku dalam keadaan seperti ini, janganlah kamu memberi salam kepadaku, karena jika kamu melakukannya, aku tidak akan menjawab (salam)mu.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Disahihkan oleh Syekh al-Albani di dalam ash-Sahihah)

Hadis ini menunjukkan bahwa beliau tidak menjawab salam. Hukum ini berlaku pada semua perkataan yang di dalamnya terdapat dzikrullah (penyebutan nama-nama Allah) seperti menjawab azan. Namun, hadis ini tidak menunjukkan larangan berbicara secara mutlak. Adapun hadis lain dengan lafaz, “Janganlah dua orang saling berbicara ketika keduanya sedang buang hajat, sehingga salah seorang dari keduanya melihat aurat temannya, karena Allah murka kepada yang demikian itu,” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim) adalah hadis lemah. Anggaplah hadis ini sahih, namun juga tidak berarti menunjukkan haramnya berbicara secara mutlak, melainkan menunjukkan haramnya memandang aurat dan berbicara antara satu sama lain dalam keadaan melihat aurat temannya.

5. Hendaklah Menjauh dan Berlindung dari Pandangan Orang

Dari Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menutupi dirinya ketika buang hajat adalah di balik gundukan pasir dan di balik rimbunan kurma.” (HR Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

al-Hadfu adalah segala sesuatu yang tinggi berupa bangunan dan gundukan pasir.

Halsy an-Nahl adalah kumpulannya, yakni kumpulan pohon kurma.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan. Ketika itu, beliau tidak buang hajat kecuali beliau menjauh hingga tidak terlihat.” (Hadis hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Hadis ini memiliki syawahid-syawahid yang menguatkannya).

al-Baraz, dengan memfathahkan ba, adalah sebutan untuk tempat yang lapang di permukaan bumi. Kemudian, kata ini digunakan untuk buang hajat, seperti halnya al-ghaith dan al-khala’ untuk tanah lapang. Kata ini adalah kiasan dari hajat (kotoran) manusia.

Hadis pertama adalah dalil untuk berlindung ketika buang hajat secara umum, baik itu untuk buang air kecil maupun buang air besar.

Hadis kedua adalah dalil untuk menjauh ketika buang hajat. Adapun ketika buang air kecil, diberi keringanan untuk tidak menjauh (namun tetap wajib berlindung). Hal ini disandarkan pada hadis dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menuju ke tempat pembuangan sampah suatu kaum. Beliau buang air kecil sambil berdiri sebagaimana seseorang dari kalian buang air kecil. Lalu aku pun pergi menjauh darinya. Beliau bersabda, ‘Mendekatlah kemari!’ Maka aku mendekati beliau dan berdiri di belakangnya hingga beliau selesai.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan an-Nasa-i)

Yang dimaksudkan dengan perkataan Hudzaifah, “Sebagaimana seseorang dari kalian buang air kecil,” adalah buang air kecil dalam keadaan berdiri, sebagaimana yang disebutkan secara jelas dalam hadis riwayat al-Bukhari.

as-Subathah adalah tempat pembuangan sampah.

6. Tidak Mengangkat Pakaian sebelum Mendekat ke Tanah

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi apabila hendak buang hajat, beliau tidak mengangkat pakaiannya hingga beliau sudah mendekat ke tanah. (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

7. Tidak Menghadap atau Membelakangi Kiblat ketika Buang Air Besar atau Buang Air Kecil

Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ لِحَاجَتِهِ، فَلَا يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا

Apabila salah seorang dari kalian duduk untuk buang hajat, maka ia tidak boleh menghadap kiblat dan tidak boleh pula membelakanginya.” (HR Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa-i)

Ulama berbeda pendapat mengenai larangan ini. Apakah larangan ini mencakup bangunan (tempat tertutup) dan lainnya, ataukah khusus tempat yang terbuka yang tidak di dalam bangunan? Yang lebih utama adalah larangan tersebut mencakup keduanya (tertutup maupun terbuka), kecuali jika ada keperluan mendesak yang mengharuskan menghadap atau membelakangi kiblat di dalam bangunan.

Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ، فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا. وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا

Jika kalian masuk tempat buang hajat, maka janganlah kalian menghadap kiblat saat buang hajat besar maupun kecil, dan jangan pula membelakanginya. Akan tetapi, menghadaplah ke timur atau ke barat.”

Abu Ayyub berkata: Ketika kami datang ke Syam, kami mendapati bahwa toilet-toilet dibangun menghadap Ka’bah. Kami berpaling dan beristigfar (memohon ampun) kepada Allah. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Mazhab yang paling benar dalam permasalahan ini adalah bahwa tidak ada perbedaan antara di tempat lapang (terbuka) dan di tempat tertutup (bangunan), karena lebih dari sepuluh dalil mendasarinya. Semuanya telah aku sebutkan di tempat lain. Bagi mereka yang membedakan antara tempat terbuka dan tempat tertutup tanpa didukung dengan dalil yang kuat, maka mereka juga berbeda pendapat dalam menentukan ukuran tempat terbuka dan tempat tertutup.”

8. Membersihkan Diri dari Air Kencing

Di antara upaya yang dilakukan adalah memilih tempat yang lunak, karena tempat yang keras tidak aman dari cipratan air kencing. Telah disebutkan sebelumnya tentang hadis dua orang laki-laki yang disiksa di dalam kuburnya. Salah seorang dari mereka tidak membersihkan diri dari air kencing. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

9. Tidak Buang Hajat di Jalan Umum, di Tempat Berteduh Manusia dan yang Semisalnya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوا اللَّاعِنَيْنِ

Takutlah kalian kepada dua hal yang dapat mendatangkan laknat.”

Para sahabat bertanya, “Apa sajakah dua hal itu, wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda,

الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ

Yaitu orang yang buang hajat di jalan umum atau di tempat berteduh mereka.” (HR Muslim dan Abu Dawud)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian kepada tiga penyebab laknat: buang hajat di saluran-saluran, di tengah jalan, dan di tempat berteduh.” (Hadis hasan dengan syahid-syahidnya)

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim, dan ia mensahihkannya. Aku berkata, “Sebaliknya di dalam hadis tersebut terjadi inqitha’ (ada keterputusan), akan tetapi ia memiliki syawahid yang menjadi kuat dengannya. (Lihat Talkhisul Khabir dan Irwa’ al-Ghalil)

Makna al-mala’in adalah suatu perbuatan yang dapat mendatangkan laknat bagi pelakunya. Maka, setiap tempat yang manusia mengambil manfaat darinya, seperti jalan umum, tempat berteduh, dan sejenisnya sepatutnya tidak dijadikan sebagai tempat buang hajat. Yang sejenis dengan tempat-tempat di atas adalah tempat-tempat di mana orang duduk-duduk berjemur pada musim dingin.

10. Tidak Buang Air Kecil di Air yang Tergenang

Dari Jabir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau melarang buang air kecil di air yang tergenang. (HR Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)

11. Tidak Buang Air Kecil di Tempat Mandi lalu Berwudhu di Dalamnya

Karena hal itu dapat menyebabkan perasaan was-was terhadap kenajisan air.

Dari Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي مَغْتَسَلِهِ، ثم يتوضأ فيه. فَإِنَّ عَامَّةَ الْوَسْوَاسِ مِنْهُ

Janganlah salah seorang dari kalian kencing di tempat mandinya, kemudian berwudhu di situ, karena kebanyakan waswas berasal dari situ” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

12. Boleh Buang Air Kecil dengan Posisi Berdiri atau Duduk dengan Syarat Aman dari Percikan Air Kencing tersebut

Namun, yang lebih utama adalah buang air kecil dengan posisi duduk, karena posisi seperti ini biasanya dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Siapa saja yang menceritakan kepada kalian bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri, jangan percaya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah buang air kecil kecuali dengan posisi duduk.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Dalil bolehnya buang air kecil dengan berdiri adalah hadis sahih yang terdapat di dalam ash-Shahihain dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berhenti di pembuangan sampah suatu kaum, lalu beliau buang air kecil dengan posisi berdiri. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Makna as-subathah adalah tempat pembuangan sampah.

Tidak ada pertentangan di antara dua dalil di atas, karena Aisyah bercerita berdasarkan pengetahuannya. Ia tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil sambil berdiri. Adapun Hudzaifah melihat apa yang tidak dilihat oleh Aisyah. Maka, perkataan Hudzaifah didahulukan dari perkataan Aisyah karena beliau memiliki tambahan pengetahuan.

13. Beristinja

Wajib beristinja dan menghilangkan najis yang terdapat di lubang kemaluan dan dubur, baik dengan menggunakan air, batu, atau dengan setiap benda keras lagi suci yang dapat membersihkan najis serta tidak memiliki kehormatan (berharga).

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَسْتَطِبَّ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ

Apabila salah seorang dari kalian pergi ke tempat buang hajat, maka hendaklah ia beristijmar dengan tiga batu, karena tiga batu itu sudah mencukupi.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke tempat buang hajat, lalu aku dan seorang anak kecil seusiaku membawakan sebuah idawah (kantong air) dan ‘anzah (tongkat). Kemudian beliau beristinja dengan air itu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

al-’Idawah adalah bejana kecil yang terbuat dari kulit.

al-Anzah adalah tongkat yang lebih pendek dari tombak ia memiliki dua gerigi.

14. Bilangan dalam Beristinja Tidak Boleh Kurang dari Tiga Kali Usapan

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ ثَلَاثًا

Apabila salah seorang dari kalian beristijmar (bersuci dengan menggunakan batu), maka beristijmarlah tiga kali.” (HR Muslim, Ahmad, dan Ibnu Khuzaimah)

Abu Hurairah juga meriwayatkan hal yang serupa, dan lafazhnya, “Beliau memerintahkan beristijmar dengan tiga batu dan melarang menggunakan kotoran hewan serta tulang.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

ar-Rautsah adalah kotoran hewan.

ar-Rimmah’ adalah tulang.

15. Hendaklah Jumlah Usapan Tersebut Ganjil

Apabila tempat yang menjadi sasaran istijmar (lubang kemaluan atau dubur) belum juga bersih dengan tiga usapan dan memerlukan usapan keempat, maka hendaklah ia melanjutkan dengan usapan kelima, dan begitu seterusnya hingga berakhir dengan jumlah usapan ganjil. Hal ini didasarkan pada hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ

Barangsiapa beristijmar, hendaklah ia mengganjilkan.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa-i)

16. Tidak Beristinja dengan Kotoran, Tulang atau Segala Bentuk yang Dihormati, seperti Makanan

Dari Abdur Rahman bin Zaid, ia berkata, dikatakan kepada Salman radhiyallahu ‘anhu, “Apakah Nabi kalian mengajarkan segala sesuatunya hingga urusan buang air?”

Salman menjawab, “Benar, Ia melarang kami menghadap ke Kiblat sewaktu buang hajat atau sewaktu buang air kecil, beristinja dengan tangan kanan, beristinja kurang dari tiga batu atau beristinja dengan kotoran atau tulang.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah)

Sedang hikmah tidak diperbolehkannya beristinja dengan kotoran hewan dan tulang adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَانِي دَاعِي الْجِنِّ فَذَهَبْتُ مَعَهُ فَقَرَأْتُ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنَ

Seorang penyeru dari golongan jin datang kepadaku, lalu aku pergi bersamanya dan membacakan al-Qur’an kepada mereka.”

Ibnu Mas’ud berkata: Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kami pergi memperlihatkan kepada kami bekas-bekas mereka dan bekas api-api mereka. Mereka bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perbekalan, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ يَقَعُ فِي أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا يَكُونُ لَحْمًا، وَكُلُّ بَعْرَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ

Bagi kalian setiap tulang yang disebutkan padanya nama Allah (pada waktu menyembelihnya), di tangan kalian akan menjadi banyak dagingnya, dan setiap kotoran hewan adalah makanan bagi hewan-hewan kalian.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَلَا تَسْتَنْجُوا بِهِمَا فَإِنَّهُمَا طَعَامُ إِخْوَانِكُمْ

Karena itu, janganlah kalian beristinja’ dengan kedua benda itu (kotoran hewan dan tulang), karena keduanya adalah makanan saudara-saudara kalian dari golongan jin.” (HR Muslim, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud)

17. Tidak Beristinja dengan Tangan Kanan

Dalil tentang ini telah disebutkan pada pembahasan terdahulu dari hadis Salman.

Dan di dalam ash-Sahihain:

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لَا يُمَسَّنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ

Janganlah salah seorang di antara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya saat buang air kecil.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i)

Dan tidak mengapa menggunakan keran (pancuran) air modern, di mana najis dapat hilang tanpa memerlukan kerja tangan, karena maksud dari beristinja adalah membersihkan tempat kotoran.

18. Mencuci Tangan Sehabis Istinja untuk Menghilangkan Najis yang Melekat di Tangan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila datang ke tempat buang hajat, aku membawakan air yang tersimpan di taur atau rikwah untuknya, lalu beliau pun beristinja. Kemudian beliau mengusap tangannya di atas tanah. Setelah itu, aku membawakan lagi satu bejana yang lain untuknya, lalu beliau berwudu.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi. Syekh al-Albani menghasankannya dalam Misykaat al-Mashaabih)

at-Taur adalah bejana yang terbuat dari tembaga atau batu.

ar-Rikwah adalah bejana yang terbuat dari kulit.

19. Masuk dengan Kaki Kiri dan Keluar dengan Kaki Kanan

Yang demikian itu karena anggota tubuh kanan digunakan untuk hal-hal yang mulia, sedangkan anggota tubuh kiri untuk hal-hal yang tidak mulia. Terdapat sejumlah hadis yang menunjukkan hal ini.

Beberapa Catatan Penting tentang Istinja

Tidak boleh beristinja karena keluar angin. Imam an-Nawawi dengan tegas menyebutkan bahwa beristinja akibat buang angin adalah bid’ah.

Apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang dengan mengurut kemaluan setelah kencing (yaitu menjalankan jari-jemari dari pangkal kemaluan hingga ujungnya) tidak memiliki dasar dalil. Begitu juga berjalan beberapa langkah, melompat, dan lain-lain adalah bid’ah dan termasuk bagian dari was-was. Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Mengurut (kemaluan) adalah bid’ah. Seseorang tidak pantas mengurut kemaluannya.”

•  Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang perempuan tidak wajib mencuci bagian dalam farjinya menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat.”

•  Para ulama memakruhkan buang hajat di lubang dan semisalnya. Hadis yang dijadikan dalil adalah hadis dari Abdullah bin Sirjis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di lubang. Seseorang bertanya kepada Qatadah, “Apa urusannya dengan lubang?” Qatadah menjawab, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya lubang itu adalah tempat tinggal bangsa jin.’” (HR Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ahmad)

Hadis ini disahihkan oleh sebagian ulama, dan dilemahkan oleh sebagian yang lain, karena perbedaan mereka dalam menghukumi pendengaran Qatadah dari Abdullah bin Sirjis. Terlepas dari semua perbedaan ini, lebih utama jika kita tidak membuang hajat di dalam lubang. Selain itu, perbuatan tersebut terkadang dapat mengeluarkan zat yang dapat menyakiti rayap, ular, dan semisalnya.

•  Tidak ada satu dalil pun bagi orang yang berpendapat bahwa buang hajat menghadap matahari atau bulan adalah makruh. Yang benar adalah tidak makruh.

Baca juga: MAKRUH MEMEGANG ZAKAR DAN CEBOK DENGAN TANGAN KANAN

Baca juga: HAK ATAS TEMPAT DUDUK

Baca juga: LARANGAN MENGHADAP ATAU MEMBELAKANGI KIBLAT SAAT BUANG HAJAT

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih