BERSABAR ATAS KEHILANGAN ORANG YANG DICINTAI

BERSABAR ATAS KEHILANGAN ORANG YANG DICINTAI

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Seorang anak dari Abu Talhah radhiyallahu ‘anhu sedang sakit. Ketika Abu Thalhah bepergian, anaknya meninggal. Sepulang dari bepergian, Abu Thalhah bertanya kepada istrinya, “Bagaimana keadaan anakku?” Ummu Sulaim (ibu kandung anak tersebut) menjawab, “Dia sekarang lebih tenang daripada sebelumnya.” Kemudian Ummu Sulaim menyiapkan makan malam untuk Abu Talhah dan dan Abu Thalhah pun menyantapnya. Setelah itu, Abu Thalah menggauli istrinya. Setelah selesai, Ummu Sulaim berkata, “Kuburkanlah anak itu!” Keesokan paginya, Abu Talhah pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

أعَرَّسْتُمُ اللَّيْلَةَ؟

Apakah tadi malam kalian melakukan hubungan badan?

Abu Thalhah menjawab, “Ya.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا

Allahumma baarik lahumaa (Ya Allah berkahilah mereka berdua)!

Dari hasil hubungan badan itu Ummu Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki. Abu Thalhah berkata kepadaku (Anas), “Bawalah anak ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam!” Bersama anak itu dibawakan pula beberapa butir kurma. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

أَمَعَهُ شَيْءٌ؟

Adakah sesuatu bersama bayi ini?

Anas menjawab, “Ya, beberapa butir kurma.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma tersebut, mengunyahnya, lalu memasukkannya ke dalam mulut anak itu, kemudian melakukan tahnik dan memberinya nama Abdullah. (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat Imam al-Bukhari, Ibnu ‘Uyainah menceritakan bahwa seorang laki-laki Anshar berkata, “Aku pernah melihat sembilan anak yang semuanya telah membaca (menghafal) al-Qur’an.” Maksudnya adalah anak-anak Abdullah yang dilahirkan itu.

Dalam riwayat Muslim: Seorang anak dari Abu Talhah dan Ummu Sulaim meninggal dunia. Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, “Janganlah kalian beritahu Abu Talhah tentang kematian anaknya sampai aku yang memberitahunya.”

Ketika Abu Talhah pulang dari bepergian, Ummu Sulaim menyiapkan makan malam untuknya. Abu Thalhah pun makan dan minum. Kemudian Ummu Sulaim berdandan dengan cara terbaik yang pernah ia lakukan sebelumnya, lalu Abu Talhah menggaulinya. Setelah Ummu Sulaim merasa Abu Talhah kenyang dan puas, ia berkata, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu jika suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada satu keluarga, kemudian mereka memintanya kembali pinjaman tersebut, apakah keluarga itu berhak menolak?” Abu Thalhah menjawab, “Tidak boleh.” Ummu Sulaim berkata, “Maka relakanlah anakmu.” Abu Thalhah pun marah dan berkata, “Mengapa kamu menyembunyikan kabar ini dariku hingga aku bersetubuh denganmu barulah kamu memberitahuku tentang anakku?”

Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,

بَارَكَ اللهُ فِي لَيْلَتِكُمَا

Baarakallahu lakumaa fii lailatikumaa (Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua).”

Dia (Anas) berkata: Ummu Sulaim pun mengandung.

Dia (Anas) berkata: Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam perjalanan dan Ummu Sulaim ikut bersamanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati Madinah, Ummu Sulaim merasa sakit hendak melahirkan, sehingga Abu Talhah terpaksa menungguinya, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perjalanannya.

Abu Thalhah berdoa, “Ya Rabb, Engkau tahu bahwa aku senang keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau keluar, dan masuk bersamanya ketika beliau masuk, namun sekarang aku terhalang karena apa yang Engkau lihat.” Tiba-tiba Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Talhah, aku tidak merasakan sakit lagi. Pergilah!”

Anas berkata: Maka mereka berangkat dan Ummu Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki ketika mereka tiba di Madinah. Ibuku (Ibu Anas yakni Ummu Sulaim) berkata, “Wahai Anas, jangan biarkan siapapun menyusui bayi ini sampai engkau membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Keesokan paginya, aku membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menceritakan seluruh kejadian itu. (HR al-Bukhari dan Muslim)

PENJELASAN

Hadis Anas bin Malik yang diriwayatkan dari Abu Thalhah ini menjelaskan bahwa Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu mempunyai seorang anak yang sedang sakit. Abu Thalhah adalah suami dari ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yaitu Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha. Anak ini sedang sakit, namun Abu Thalhah harus bepergian karena suatu keperluan. Kemudian anak itu meninggal.

Ketika pulang, dia bertanya kepada istrinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anakku?”

Ummu Sulaim menjawab, “Ia sekarang lebih tenang daripada sebelumnya.” Dia berkata jujur, karena anak itu memang dalam keadaan lebih tenang setelah meninggal dunia. Tidak ada ketenangan yang melebihi ketenangan ketika meninggal dunia, sementara Abu Thalhah mengira bahwa anaknya dalam keadaan lebih baik dari sebelumnya.

Ummu Sulaim menyiapkan makan malam untuknya. Abu Thalhah menyantapnya dengan lahap karena mengira anaknya dalam keadaan baik dan sehat. Kemudian, dia melakukan hubungan badan dengan Ummu Sulaim. Setelah selesai, Ummu Sulaim berkata, “Kuburkanlah anak itu!”

Keesokan paginya, Abu Thalhah menguburkan anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui peristiwa itu.

Beliau bertanya, “Apakah tadi malam kalian melakukan hubungan badan?

Abu Thalhah menjawab, “Ya.”

Beliau berdoa, “Allahumma baarik lahumaa (Ya Allah berkahilah mereka berdua)!

Dari hasil hubungan badan malam itu, Ummu Sulaim melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Abdullah. Dari Abdullah, kelak lahir sembilan orang anak yang semuanya hafal al-Qur’an berkat doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadis ini terdapat dalil besarnya kesabaran Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha. Meskipun anaknya telah meninggal, dia tetap tenang dan masih mampu mengatakan bahwa anaknya dalam keadaan lebih tenang. Dia sanggup menyembunyikan kejadian yang sebenarnya dan menyiapkan makan malam untuk suaminya hingga berhubungan badan dengannya. Setelah selesai berhubungan badan, dia berkata kepada suaminya, “Kuburkanlah anak itu!”

Bolehnya Tauriyah (Menyembunyikan Sesuatu)

Dalam hadis ini juga terdapat dalil dibolehkannya menyembunyikan sesuatu (tauriyah), yakni mengucapkan suatu perkataan yang lahiriahnya berbeda dengan makna yang diniatkan. Makna lahiriyah adalah makna yang langsung ditangkap oleh pikiran orang yang diajak berbicara, tetapi maksudnya berbeda dengan yang diniatkan oleh yang berbicara.

Tauriyah boleh dilakukan, tetapi hanya untuk keperluan tertentu, misalnya untuk mendapatkan kemaslahatan atau mencegah kemudaratan. Jika tidak ada keperluan tertentu, seseorang tidak semestinya menggunakan tauriyah. Jika ia tetap melakukannya dan di kemudian hari diketahui bahwa maknanya tidak seperti yang ditangkap oleh lawan bicara, maka orang yang menggunakan tauriyah dapat dikatakan pendusta. Orang-orang akan berburuk sangka kepadanya.

Di antara tauriyah yang bermanfaat adalah jika di daerahmu ada orang zalim yang suka mengambil harta orang lain secara semena-mena. Lalu seseorang menjumpaimu untuk menitipkan hartanya kepadamu. Dia berkata, “Hartaku ini aku titipkan kepadamu karena aku takut diketahui oleh orang zalim itu. Jika dia tahu, dia akan mengambilnya.”

Lalu orang zalim itu datang kepadamu dan bertanya, “Hal ‘indaka maalu fulan (Apakah harta si fulan ada padamu)?” Kamu menjawab, “Wallahi maa ‘indi syai’ (Demi Allah, tidak ada sesuatu pun miliknya padaku).”

Lawan bicara mengira kamu menafikan (karena kamu menggunakan kata ‘maa’), sehingga artinya ‘Tidak ada sesuatu pun miliknya padaku.’ Padahal kata “maa” ini kamu niatkan sebagai kata sambung ‘yang’, sehingga artinya “Demi Allah yang ada padaku sesuatu miliknya.” Ini merupakan tauriyah yang mubah, bahkan harus digunakan untuk keperluan mendesak.

Disyariatkannya Mentahnik Bayi

Di dalam hadis ini dijelaskan pula bahwa Anas membawa adik seibunya, yaitu anak Abu Thalhah, kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta beberapa butir kurma. Beliau mengambil kurma itu lalu mengunyahnya hingga halus. Kurma yang di mulutnya kemudian diambil dan dimasukkan ke mulut bayi. Beliau memutar-mutar jarinya di langit-langit mulut bayi. Hal ini dilakukan untuk mencari berkah dari ludah beliau.

Para sahabat biasa melakukannya ketika mereka kehadiran bayi laki-laki atau perempuan. Mereka membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil membawa kurma untuk ditahnik (langit-langit mulut bayi diolesi ludah Rasulullah).

Apakah tahnik dilakukan agar mendapatkan berkah dari ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau agar kurma menjadi makanan pertama yang masuk ke perut bayi sebelum yang lainnya?

Jika kita berpegang pada pernyataan pertama, yaitu untuk mendapatkan berkah, maka ini termasuk keistimewaan yang dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seorang pun boleh mentahnik bayinya, karena tidak seorang pun boleh dimintai berkah dari ludahnya atau keringatnya kecuali dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika kita berpegang pada pernyataan kedua, yakni agar kurma menjadi makanan pertama yang masuk ke perut bayi karena fungsinya yang memelihara kesehatan lambung, maka kita katakan bahwa setiap bayi harus ditahnik.

Di dalam hadis ini terdapat salah satu tanda kebesaran Allah Azza wa Jalla, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuk bayi itu. Maka Allah memberi berkah kepadanya dan kepada keturunannya. Seperti yang telah kami sampaikan, dia mempunyai sembilan orang anak yang semuanya hafal al-Qur’an berkat doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Anjuran Memberi Anak Nama yang Baik

Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa disunahkan memberi nama Abdullah, karena sebaik-baik nama adalah Abdullah dan Abdurrahman.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ

Sesungguhnya nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR Muslim)

Adapun riwayat yang mengatakan bahwa sebaik-baik nama adalah nama yang diawali dengan Ahmad, Muhammad, atau Abdul, tidak ada asalnya dan tidak terdapat hadis yang menjelaskannya.

Hadis sahih yang menjelaskan masalah ini adalah,

وَأَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَأَصْدَقُهَا حَارِثٌ وَهَمَّامٌ

Dan nama-nama yang paling disukai Allah adalah Abdurrahman dan Abdullah, dan nama-nama yang paling benar adalah Harits dan Hammaam.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan al-Bukhari dalam Adabul Mufrad)

Nama-nama tersebut sesuai dengan realitas. Setiap anak Adam adalah haarits, yaitu orang yang bekerja menggarap tanah (petani). Setiap anak Adam adalah hammaam, yaitu orang yang memiliki harapan, tujuan, dan keinginan.

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الْاِنْسَانُ اِنَّكَ كَادِحٌ اِلٰى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلٰقِيْهِ

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Rabb-mu. Maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS al-Insyiqaq: 6)

Setiap manusia bekerja. Oleh karena itu, seseorang harus memilih nama terbaik untuk anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, agar memperoleh pahala dan dikatakan sebagai orang yang baik terhadap anak-anaknya.

Adapun memberi nama yang terdengar aneh di telinga masyarakat, hal itu dapat menyebabkan anak tertekan di kemudian hari. Setiap kekecewaan yang dirasakan anakmu karena nama tersebut, kamu menanggung dosanya. Ini karena kamu menjadi penyebab kekecewaannya. Kamu memberikan nama aneh sehingga orang-orang menggunjingnya dengan mengatakan, “Namanya aneh… namanya aneh!”

Oleh karena itu, hendaklah seseorang memilih nama yang paling baik untuk anaknya. Haram hukumnya seorang muslim memberikan nama yang identik dengan nama orang kafir, seperti George, karena hal itu merupakan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap mereka. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum itu.” (HR Abu Dawud dan Ahmad. Syekh al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil)

Sikap Orang Muslim terhadap Orang Kafir

Selain itu, wajib bagi kaum muslimin untuk membenci orang kafir, memusuhi mereka, dan menyadari bahwa mereka adalah musuh kita. Walaupun mereka mengaku teman atau berupaya dekat dengan kita, mereka tetap musuh-musuh kita yang hakiki.

Di samping menjadi musuh Allah Azza wa Jalla dan para malaikat, mereka juga merupakan musuh para nabi dan orang-orang saleh. Mereka adalah musuh walaupun mengaku-ngaku teman. Demi Allah, mereka tetap musuh. Kita harus memusuhi mereka. Kita tidak membedakan antara orang kafir yang terkenal maupun orang kafir yang tidak terkenal. Bahkan, pembantu lelaki atau perempuan, selama mereka kafir, kita harus membencinya. Apalagi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 أَخْرِجُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ جَزِيرَةِ الْعِرَبْ

Keluarkanlah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dari Semenanjung Arab.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dari Abu Ubaidah, al-Fahiqi, al-Bazzar, dan al-Khattib dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَأُخْرِجَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ حَتَّى لَا أَدَعَ إِلَّا مُسْلِمًا

Sungguh, akan aku keluarkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dari Semenanjung Arab sampai tidak aku sisakan kecuali orang-orang Islam.” (HR Muslim)

Beliau pernah berwasiat ketika sakit menjelang wafatnya,

أَخْرِجُوا الْمُشْرِكِينْ مِنْ جَزِيرَةِ الْعِرَبْ

Keluarkanlah orang-orang musyrik dari semenanjung Arab.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Sebagian orang saat ini diberi pilihan antara pekerja muslim dan pekerja kafir. Mereka ternyata memilih pekerja kafir. Na’udzubillah. Hati mereka sesat dan tidak condong kepada kebenaran. Setan menghiasi perbuatan dan perkataan mereka sehingga mereka berani berdusta dengan mengatakan, “Orang kafir lebih ikhlas dalam bekerja daripada orang Islam.” Na’udzubillah.

Mereka berkata, “Orang kafir tidak shalat. Ketika orang-orang shalat, dia tetap bekerja. Dia tidak menuntut untuk pergi umrah atau haji. Dia juga tidak berpuasa dan selalu bekerja.” Semua itu mereka ucapkan dan lakukan tanpa mempertimbangkan firman Allah Ta’ala, Pencipta langit dan bumi:

وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ

Sungguh hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (QS al-Baqarah: 221)

Wahai saudara-saudaraku yang mendengarkan perkataan ini, hendaklah kalian menasihati saudara-saudara kalian yang telah tertipu dan terpedaya oleh bujuk rayu setan untuk mendatangkan orang-orang kafir ke negara kita untuk bekerja sebagai pembantu, pekerja, atau untuk keperluan lainnya. Ketahuilah bahwa tindakan itu sama saja dengan menolong orang-orang kafir menghancurkan orang-orang Islam, karena mereka membayar pajak kepada pemerintah mereka yang digunakan untuk memperkuat diri dalam menghancurkan orang-orang Islam.

Bukti yang menunjukkan fenomena ini banyak sekali. Oleh karena itu, kita wajib menjauhi orang-orang kafir semampu kita dengan tidak memberi nama seperti nama mereka, tidak mencintai mereka, tidak menghormati mereka, tidak memulai salam kepada mereka, dan tidak memberi jalan kepada mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ. فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ، فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ

Janganlah kalian memulai memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian berjumpa mereka di jalan, maka pepetlah mereka hingga ke tepi jalan.” (HR Muslim)

Peringatan terhadap Keburukan

Dimanakah pengamalan kita terhadap ajaran ini? Dimanakah pengamalan kita terhadap sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu? Mengapa kita tidak berhati-hati jika dalam berbagai tindakan terdapat banyak keburukan?

Suatu malam Nabi ‘alaihishshalatu wassalam terbangun dengan wajah memerah. Beliau bersabda,

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدْ اقْتَرَبَ

La ilaaha illallah! Celakalah orang-orang Arab dari keburukan yang telah dekat!

Ini adalah peringatan. Celakalah orang-orang Arab -pembawa panji Islam- dari keburukan yang telah dekat.

فُتِحَ الْيَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مِثْلُ هَذِهِ

Pada hari ini lubang Ya’juj dan Ma’juj telah dibuka selebar ini.” Beliau bersabda sambil memberikan isyarat dengan jari-jarinya, yaitu antara jari telunjuk dan ibu jari.

Zainab bertanya, “Wahai Rasulullah apakah kita akan celaka sementara di antara kita banyak orang saleh?”

Beliau menjawab,

نَعَمْ، إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ

Ya, jika keburukan merajalela.” (HR al-Bukari dan Muslim)

Yaitu keburukan pada perbuatan dan keburukan pada orangnya.

Jika keburukan pada perbuatan merajalela, berarti kita berada di ambang kehancuran. Jika manusia banyak melakukan keburukan di negeri kita, berarti kita juga berada di ambang kehancuran. Realitas saat ini merupakan bukti akan hal ini.

Semoga Allah melindungi negeri kita dari musuh-musuh kita yang tampak dan yang tidak tampak. Semoga Dia menghinakan orang-orang munafik dan kafir, serta menjadikan tipu daya mereka kembali kepada mereka sendiri. Sesungguhnya Dia Maha pemurah lagi Maha Mulia.

Anak adalah Pinjaman

Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu jika sekelompok orang meminjamkan sesuatu kepada satu keluarga, kemudian mereka memintanya kembali, apakah keluarga itu berhak menolak?” Abu Thalhah menjawab, “Tidak boleh.” Ummu Sulaim berkata, “Relakanlah anakmu.”

Hadis ini menunjukkan bahwa anak-anak yang ada bersama kita adalah pinjaman. Mereka adalah milik Allah Azza wa Jalla. Kapan pun Allah menghendaki, Dia akan mengambilnya. Ummu Sulaim membuat perumpamaan seperti ini agar suaminya bisa menerima dan mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala.

Hal ini menunjukkan kecerdasan Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha dan bahwa dia adalah seorang perempuan yang berakal, sabar, dan mengharapkan pahala dari Allah. Jika tidak demikian, dia tentu akan bersedih seperti suaminya yang bersedih ketika mendengar berita kematian anaknya. Bahkan bisa jadi Ummu Sulaim lebih bersedih daripada suaminya jika dia lemah dan tidak sabar.

Di dalam hadis ini terdapat dalil keberkahan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anak yang didoakannya mempunyai sembilan orang anak yang semuanya hafal al-Qur’an.

Karamah Abu Thalhah

Dalam hadis ini juga terdapat dalil tentang karamah Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu ketika dia bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam perjalanan itu, Abu Thalhah ditemani oleh Ummu Sulaim yang sedang hamil. Saat perjalanan pulang, sebelum memasuki Madinah, Ummu Sulaim mengalami sakit perut seperti hendak melahirkan.

Sebagaimana biasanya, ketika hendak memasuki kota Madinah, beliau tidak masuk pada malam hari. Beliau tidak suka pulang kepada keluarganya di malam hari tanpa memberitahukan mereka terlebih dahulu.

Lalu Abu Thalhah berdoa, “Sesungguhnya Engkau Maha Tahu, wahai Rabb, bahwa aku senang keluar kota bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau keluar kota, begitu pula kembali pulang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau pulang, sedangkan saat ini aku tertahan di sini sebagaimana yang Engkau lihat.”

Tiba-tiba Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, aku sudah tidak lagi merasakan sakit seperti yang tadi kurasakan.” Sakitnya telah reda, seakan tidak hendak melahirkan.

Ummu Sulaim berkata kepada suaminya, “Lanjutkanlah perjalanan!” Maka Abu Thalhah melanjutkan perjalanan hingga bertemu kembali dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika sampai di Madinah, Ummu Sulaim melahirkan.

Dalam kisah ini terdapat karamah Abu Thalhah dimana Allah meringankan sakit Ummu Sulaim berkat doanya.

Setelah melahirkan seorang bayi, Ummu Sulaim berkata kepada Anas bin Malik, saudara anak yang baru dilahirkannya itu, “Bawalah dia kepada Rasulullah!”

Sebagaimana kebiasaan penduduk Madinah ketika seorang anak terlahir, mereka membawa bayinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama beberapa butir kurma untuk ditahnik oleh beliau. Lalu, beliau mentahnik bayi itu. Dalam hal ini terdapat dua faedah, yaitu berkah ludah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penggunaan kurma untuk mentahnik bayi.

Berkah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam

Para sahabat dahulu mengambil berkah dari ludah dan keringat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di antara kebiasaan mereka adalah jika datang waktu Shubuh mereka membawa wadah berisi air. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelupkan kedua tangannya ke dalam air itu untuk mencuci kedua tangannya. Lalu anak-anak datang untuk membawa air itu ke keluarga mereka agar dapat mengambil berkah dari bekas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika Nabi selesai berwudhu, para sahabat saling berdesakan dan mendorong untuk mengambil sisa air wudhu beliau demi mengambil berkah darinya, serta dari keringat dan rambut beliau. Bahkan Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salah seorang Ummahatul Mu’minin, memiliki sebuah kotak yang terbuat dari perak yang berisi rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang rontok. Rambut itu digunakan untuk berobat dengan cara mengambil dua atau tiga helai, kemudian meletakkannya di air dan menggerak-gerakkannya agar dapat mengambil berkah dari air itu. Akan tetapi, perlu diperhatikan dengan seksama bahwa hal ini khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak untuk selainnya.

Kurma adalah untuk Mentahnik Bayi

Pada kurma untuk mentahnik bayi terdapat kebaikan, keberkahan, dan manfaat bagi lambung. Jika makanan pertama yang masuk ke dalam lambung bayi adalah kurma, ini sangat baik bagi lambung bayi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mentahnik bayi itu dan mendoakan keberkahan untuknya.

Intisari hadis ini adalah perkataan Ummu Sulaim kepada Abu Thalhah, “Relakanlah anakmu berpulang kepada Allah,” yakni bersabarlah atas kehilangan dia, dan berharaplah pahala dari Allah Ta’ala.

Baca juga: IKHLAS DALAM BERAMAL DAN MENAFKAHKAN HARTA

Baca juga: MEMOHON PERTOLONGAN DENGAN SABAR DAN SHALAT

Baca juga: ALLAH LEBIH GEMBIRA DENGAN TOBAT HAMBANYA

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kisah Riyadhush Shalihin