RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA TAKDIR

RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA TAKDIR

Takdir adalah ketetapan Allah Ta’ala terhadap apa yang akan terjadi hingga Hari Kiamat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، قَالَ لَهُ: اُكْتُبْ! قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اُكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ.

Yang pertama kali Allah ciptakan adalah Qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ Ia menjawab, ‘Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai Hari Kiamat.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Abi Ashim, al-Ajurri, Ahmad, dan ath-Thayalisi)

Pada saat itu juga pena menulis apa yang akan terjadi hingga Hari Kiamat. Maka apa yang tertulis menimpa manusia pasti akan menimpanya, dan apa yang tertulis tidak menimpa manusia pasti tidak akan menimpanya. Allah Ta’ala telah menyebutkan secara global di dalam kitab-Nya:

اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِۗ اِنَّ ذٰلِكَ فِيْ كِتٰبٍۗ اِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS al-Hajj: 70)

Dan firman Allah Ta’ala:

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ

Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakan-nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS al-Hadid: 22)

Sebelum Allah menciptakan bumi, sebelum Allah menciptakan manusia, dan sebelum Allah menciptakan musibah, Allah telah menetapkannya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah mencatat seluruh takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (HR Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad, dan Abu Dawud)

Tingkatan Takdir

Ulama mengatakan bahwa beriman kepada takdir juga harus beriman kepada empat tingkatannya.

1️⃣ Tingkat pertama adalah beriman bahwa Allah Ta’ala adalah Mahamengetahui segala sesuatu. Dalil yang menjelaskan masalah ini adalah sangat banyak. Di dalamnya disebutkan bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Agar kamu mengetahui bahwasannya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS ath-Thalaq: 12)

Dan juga berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَّرَقَةٍ اِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمٰتِ الْاَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَابِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan. Dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS al-An’am: 59)

2️⃣ Tingkat kedua adalah beriman bahwa Allah Ta’ala menuliskan takdir segala sesuatu sampai Hari Kiamat. Semuanya telah ditulis oleh Allah Ta’ala lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.

Setiap sesuatu yang akan terjadi sudah tertulis sebelumnya. Tinta pena telah kering dan lembaran-lembaran telah tertutup. Maka, apa saja yang seharusnya tidak menimpamu pasti tidak akan menimpamu, dan apa saja yang seharusnya menimpamu pasti akan menimpamu. Oleh karena itu, jika kamu tertimpa musibah, janganlah kamu berkata, “Jika aku tidak melakukan ini, tentu aku tidak akan tertimpa musibah ini,” karena semuanya telah tertulis dan ditetapkan oleh Allah. Jika Allah Ta’ala telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada jalan bagimu untuk lari darinya walaupun kamu telah mengetahuinya. Perkaranya pasti terjadi sebagaimana ketetapan yang telah tertulis dan tidak akan berubah sedikit pun.

Jika ada yang berkata, “Bukankah telah disebutkan dalam hadis,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa ingin dibukakah pintu rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahmi.’ (HR al-Bukhari dan Muslim)?”

Tanggapan: Memang demikian yang telah diriwayatkan dalam hadis tersebut. Akan tetapi, orang yang dibukakan rezekinya dan dipanjangkan umurnya karena menyambung silaturahmi telah dituliskan baginya bahwa ia akan menyambung silaturahmi, akan dibukakan rezekinya, dan akan dipanjangkan umurnya. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa ingin…” merupakan motivasi agar kita segera menyambung silaturahmi.

Ketahuilah bahwa ketetapan yang ditulis di dalam Lauh Mahfudz diikuti dengan ketetapan-ketetapan lain.

Di antara ketetapan lain itu adalah ketetapan janin di dalam perut ibunya. Jika janin telah berusia empat bulan, maka Allah mengutus satu malaikat untuk meniupkan roh kepadanya dan menetapkan kepadanya empat ketetapan, yakni rezeki, ajal, amal, serta kebahagiaan dan kesengsaraannya. Selanjutnya ketetapan itu dicatat, dan catatan itu tidak sama dengan catatan yang ada di Lauh Mahfudz. Catatan itu terdapat dalam catatan tentang umur manusia. Para ulama menyebut catatan itu dengan kitabah umuriyah (pencatatan umur) yang dinisbatkan kepada umur. Itu apabila janin telah berumur empat bulan atau seratus dua puluh hari. Oleh karena itu, jika janin telah berumur empat bulan, ia dapat bergerak, karena roh telah masuk ke dalamnya, yang sebelumnya hanya sepotong daging.

Di antara ketetapan lain itu adalah pencatatan yang dilakukan setiap tahun, yaitu pada malam Lailatul Qadar. Pada malam itu Allah menetapkan apa-apa yang akan terjadi setahun ke depan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi, dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS ad-Dukhan: 3-4)

Atau Allah menjelaskan dan merinci sehingga dinamakan malam Lailatul Qadar.

3️⃣ Tingkat ketiga adalah beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah Ta’ala dan tidak ada sesuatu yang terjadi berada di luar kehendak Allah.

Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara sesuatu yang khusus diketahui Allah Ta’ala seperti menurunkan hujan dan menghidupkan yang mati serta sesuatu yang diketahui manusia seperti salat dan puasa. Semuanya terjadi atas kehendak Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

لِمَنْ شَاۤءَ مِنْكُمْ اَنْ يَّسْتَقِيْمَۗ وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

(Yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Rabb semesta alam.” (QS at-Takwir: 28-29)

Dan firman Allah Ta’ala:

وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِيْنَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ وَلٰكِنِ اخْتَلَفُوْا فَمِنْهُمْ مَّنْ اٰمَنَ وَمِنْهُمْ مَّنْ كَفَرَ ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا اقْتَتَلُوْاۗ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيْدُ

Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih. Maka ada di antara mereka yang beriman, dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS al-Baqarah: 253)

Allah Ta’ala menjelaskan kepada kita bahwa apa yang kita kehendaki adalah sesuai dengan kehendak Allah, dan segala perbuatan kita terjadi atas kehendak-Nya.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu.”

Segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Oleh karena itu, umat Islam sepakat dengan satu kaidah dasar yang berbunyi: “Apa yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki oleh Allah pasti tidak terjadi.”

4️⃣ Tingkat keempat adalah beriman bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

اَللّٰهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۙوَّهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ

Allah menciptakan segala sesuatu, dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS az-Zumar: 62)

Dan juga firman-Nya:

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرًا

Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS al-Furqan: 2)

Setiap sesuatu yang terjadi diciptakan oleh Allah Ta’ala.

Manusia adalah makhluk Allah Ta’ala, begitu juga perbuatan mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alaihissalam ketika berbicara kepada kaumnya:

وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu.” (QS as-Shaffat: 96)

Allah Ta’ala menciptakan perbuatan, sedangkan manusia langsung melaksanakannya. Dengan demikian, penciptaan perbuatan dinisbatkan kepada Allah, sedangkan pelakunya dinisbatkan kepada manusia. Oleh karena itu, setiap sesuatu terjadi karena diciptakan oleh Allah, tetapi sifat-sifat Allah bukanlah makhluk (tidak diciptakan). Misalnya al-Qur’an. al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. al-Qur’ah bukan makhluk, tetapi kalamullah, dan kalamullah adalah salah satu dari sifat-sifat Allah, dan sifat Allah bukanlah makhluk.

Inilah empat tingkat dalam beriman kepada takdir. Kamu wajib beriman kepada keempat tingkat tersebut. Jika tidak, maka kamu tidak beriman kepada takdir.

Keempat tingkat ini meliputi apa yang terjadi dari Allah sendiri dan apa yang terjadi dari makhluk. Dengan demikian segala yang dilakukan oleh makhluk yang berupa ucapan, perbuatan atau tindakan diketahui, ditulis, dikehendaki, dan diciptakan oleh Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ. وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

(Yaitu) bagi siapa di antara kalian yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Rabb semesta alam.” (QS at-Takwir: 28-29)

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْ شَاء اللّهُ مَا اقْتَتَلُواْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ

Kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS al-Baqarah: 253)

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْ شَاء اللّهُ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

Kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakan (perbuatan buruk) itu. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. al-An’am: 137)

Allah Ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat.” (QS ash-Shaffat: 96)

Perbuatan Manusia adalah atas Kehendak dan Kemampuannya

Kita pun mengimani bahwa Allah Ta’ala memberikan kepada makhluk kehendak dan kemampuan di dalam perbuatannya.

Dalil bahwa perbuatan makhluk dilakukannya berdasarkan kehendak dan kemampuan sendiri antara lain adalah:

Allah Ta’ala berfirman:

فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

Maka datangilah tempat bercocok-tanammu itu sebagaimana yang kamu kehendaki.” (QS al-Baqarah: 223)

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْ أَرَادُواْ الْخُرُوجَ لأَعَدُّواْ لَهُ عُدَّةً

Seandainya mereka menghendaki keberangkatan, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu.” (QS at-Taubah: 46)

Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa apa yang telah dilakukan manusia, seperti mendatangi tempat bercocok-tanam dan menyiapkan persiapan adalah dengan kehendak dan keinginannya.

Dalil yang lain adalah adanya pengarahan perintah dan larangan kepada manusia. Seandainya manusia tidak diberi kehendak dan kemampuan, tentu pengarahan perintah dan larangan kepadanya merupakan suatu pembebanan di luar kesanggupannya. Dan ini tidak sesuai dengan kebijaksanaan dan rahmat Allah Ta’ala, serta tidak sesuai dengan kebenaran berita-Nya yang tersebut dalam firman-Nya:

لَا يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS al-Baqarah: 286)

Dalil lainnya adalah adanya pujian kepada orang yang berbuat baik dan celaan kepada orang yang berbuat jahat. Sekiranya perbuatan itu terjadi tidak dengan kehendak dan kemampuan makhluk, niscaya pujian kepada orang yang berbuat baik adalah perbuatan yang sia-sia, dan penghukuman kepada orang yang berbuat jahat adalah perbuatan yang zalim. Padahal Allah Ta’ala tidaklah berbuat sesuatu yang sia-sia dan zalim.

Dalil lainnya adalah bahwa Allah Ta’ala telah mengutus para rasul supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

رُّسُلًا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

(Kami telah mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah (diutusnya) rasul-rasul itu.” (QS an-Nisa’: 165)

Seandainya perbuatan yang dilakukan manusia terjadi tidak dengan kehendak dan kemampuannya, maka tidak akan ditolak alasan mereka meski telah diutus para rasul.

Dalil lainnya adalah bahwa setiap pelaku menyadari bahwa ia mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu tanpa perasaan bahwa ia dipaksa, seperti berdiri, duduk, masuk, keluar, pergi, dan tinggal. Semua perbuatan itu adalah semata-mata dengan kemauan sendiri. Ia tidak merasa bahwa orang lain memaksanya untuk melakukan perbuatan tersebut. Bahkan ia dapat membedakan dengan nyata antara melakukan sesuatu dengan kehendaknya sendiri dan melakukan sesuatu karena dipaksa oleh orang lain. Syariat pun secara hukum membedakan kedua masalah ini. Maka orang yang melakukan suatu larangan yang berkenaan dengan hak Allah karena dipaksa tidak dikenai hukuman.

Tidak boleh Berdalih dengan Takdir atas Kemaksiatan yang Dilakukan

Kita berpandangan bahwa pelaku maksiat tidak boleh berdalih dengan takdir (qadar) atas kemaksiatan yang dilakukannya, karena ia berbuat maksiat dengan kemauan sendiri, tanpa mengetahui bahwa Allah Ta’ala telah mentakdirkan perbuatan maksiat itu bagi dirinya. Soalnya, tidak seorang pun mengetahui takdir Allah Ta’ala kecuali apa yang ditakdirkan itu telah terjadi.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا

Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.” (QS Luqman: 34)

Kalau demikian, bagaimana bisa dibenarkan seorang pelaku maksiat berdalih dengan takdir Allah, padahal ia sendiri tidak mengetahui takdir tersebut pada saat ia melakukan perbuatan maksiat. Dalih yang demikian telah ditolak oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُواْ لَوْ شَاء اللّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلاَ آبَاؤُنَا وَلاَ حَرَّمْنَا مِن شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم حَتَّى ذَاقُواْ بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِندَكُم مِّنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِن تَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ أَنتُمْ إَلاَّ تَخْرُصُونَ

Orang-orang yang mempersekutukan (Allah) akan berkata, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatu apapun.’ Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksa Kami. Katakanlah, ‘Adakah kalian mempunyai suatu pengetahuan sehingga dapat kalian mengemukakannya kepada kami? Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka dan kalian tiada lain hanyalah berdusta.” (QS al-An’am: 148)

Kita dapat pula mengatakan kepada pelaku maksiat yang berdalih dengan takdir, “Mengapa kalian tidak melakukan perbuatan ketaatan dengan memperkirakannya sebagai sesuatu yang ditakdirkan? Sebab, tidak ada bedanya antara perbuatan ketaatan dan perbuatan kemaksiatan. Kalian sama-sama tidak mengetahui mana yang ditakdirkan Allah sebelum kalian sendiri melakukan perbuatan itu.” Oleh karena itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu para sahabat bahwa setiap orang telah ditentukan tempatnya di Surga atau di Neraka, mereka bertanya, “Kalau begitu, tidakkah kita pasrah saja dan tidak perlu berusaha?”

Beliau pun menjawab:

لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ

Tidak. Tetapi berusahalah, karena masing-masing akan dimudahkan menurut apa yang telah ditakdirkan baginya.” (HR Muslim)

Kita dapat pula mengatakan kepada pelaku maksiat yang berdalih dengan takdir, “Anggaplah kalian ingin pergi ke Makkah. Ada dua jalan untuk menuju ke sana. Kalian telah diberitahu oleh orang yang dapat dipercaya bahwa jalan yang pertama sulit dan mengerikan, sedangkan jalan yang kedua mudah dan aman. Tentu kalian akan memilih jalan yang kedua. Tidak mungkin kalian memilih jalan yang pertama dengan mengatakan, ‘Itu telah ditakdirkan kepada kami.’ Kalaupun kalian berbuat demikian, tentu orang-orang akan menganggap kalian tidak waras.”

Kita dapat pula mengatakan kepada mereka, “Seandainya kalian ditawarkan dua jabatan. Salah satunya memberikan gaji yang lebih tinggi dari yang lain. Tentu kalian akan memilih jabatan yang memberikan gaji yang lebih tinggi. Kalian tidak akan memilih jabatan yang gajinya lebih rendah. Maka, bagaimana mungkin kalian memilih untuk diri sendiri amalan akhirat terendah, lalu kalian berdalih dengan takdir (qadar)?”

Kita juga dapat mengatakan kepada mereka, “Seandainya kalian menderita penyakit fisik, kalian berusaha berobat dengan pergi ke dokter. Kalian mau menelan obat yang pahit. Bahkan jika harus dioperasi, kalian akan tabah menahan sakit. Akan tetapi, mengapa kalian tidak berbuat seperti itu terhadap penyakit hati yang berkenaan dengan perbuatan maksiat?”

Faedah Beriman kepada Takdir

Faedah beriman kepada takdir adalah sangat besar. Orang yang mengetahui bahwa sesuatu terjadi atas kehendak Allah akan merasa tenang. Jika ditimpa musibah, ia bersabar. Ia akan berkata, “Musibah ini berasal dari sisi Allah.” Jika ia mendapat kebahagiaan, ia bersyukur dengan berkata, “Nikmat ini berasal dari sisi Allah.”

Dijelaskan dalam sebuah hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ. إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّاالْمُؤْمِنِ. إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ. وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh menakjubkan urusan orang beriman. Sesungguhnya seluruh urusannya baik baginya, dan itu tidak terjadi kecuali pada orang beriman. Jika mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka hal itu baik baginya. Jika tertimpa kesulitan, ia bersabar, maka hal itu baik pula baginya.” (HR Muslim)

Hal itu karena orang beriman percaya bahwa segala sesuatu berdasarkan ketetapan Allah Ta’ala. Dengan demikian, ia selalu merasa senang dan lapang dada. Ia tahu bahwa apa yang menimpanya datang dari Allah Ta’ala. Jika berupa musibah, ia bersabar dan menunggu jalan keluar dari Allah Ta’ala. Jika berupa kebahagiaan, ia bersyukur dan memuji Allah Ta’ala. Ia tahu bahwa semua itu bukan semata-mata hasil usaha dan kekuatannya, melainkan karena karunia dan rahmat dari Allah Ta’ala.

Takdir Baik dan Takdir Buruk

Ahli sunah waljamaah beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR Muslim)

Kebaikan pada takdir adalah kebaikan yang sejalan dengan tabiat manusia. Dengan kebaikan manusia menjadi baik, bahagia dan gembira, seperti ilmu yang bermanfaat, harta yang melimpah, badan yang sehat, serta istri dan anak. Semua kebaikan datangnya dari Allah. Sedangkan keburukan pada takdir adalah keburukan yang tidak sejalan dengan tabiat manusia. Dengan keburukan manusia mengalami kesulitan dan kesengsaraan, seperti kebodohan, kefakiran, sakit, kehilangan istri dan anak. Semua keburukan datangnya dari Allah. Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan dengan hikmah, dan menetapkan keburukan juga dengan hikmah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (QS al-Anbiya: 35)

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana dikatakan bahwa pada takdir Allah terdapat keburukan, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ

Dan keburukan tidak (dinisbatkan) kepada-Mu.’ (HR Muslim)?”

Jawabannya adalah bahwa keburukan pada takdir tidak dinisbatkan kepada takdir Allah Ta’ala, melainkan kepada apa yang ditakdirkan, karena ada qadar yang merupakan takdir dan ada qadar yang merupakan apa yang ditakdirkan, sebagaimana ada penciptaan dan ada yang diciptakan (makhluk), ada iradah (keinginan) dan ada yang diinginkan. Jadi, jika dinisbatkan kepada takdir Allah Ta’ala, maka ia bukan keburukan, justru kebaikan. Bahkan, seandainya ia menyengsarakan dan memudaratkan seseorang serta tidak sesuai dengan tabiatnya, ia tetap merupakan kebaikan. Sedangkan jika dinisbatkan kepada apa yang ditakdirkan, maka ia merupakan kebaikan dan keburukan. Jadi, maksud dari takdir baik dan takdir buruk adalah apa yang ditakdirkan baik dan apa yang ditakdirkan buruk. Contohnya adalah Firman Allah Ta’ala:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS ar-Rum: 41)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan kerusakan yang terjadi, pemicunya dan tujuannya. Kerusakan adalah keburukan, pemicunya adalah perbuatan buruk manusia, dan tujuannya adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS ar-Rum:41)

Kerusakan yang terlihat di daratan dan di lautan mengandung hikmah, meskipun ia sendiri buruk. Karena hikmahnya yang besar, maka penakdirannya menjadi baik. Begitu pula kemaksiatan dan kekufuran. Mereka adalah keburukan, dan termasuk ke dalam takdir Allah. Akan tetapi, hikmahnya besar. Kalau bukan karena kemaksiatan dan kekufuran, maka syariat menjadi batal. Kalau bukan karena kemaksiatan dan kekufuran, niscaya penciptaan manusia hanya main-main belaka.

Beriman kepada qadar baik dan buruk tidak menuntut beriman kepada segala yang ditakdirkan, karena apa yang ditakdirkan terbagi menjadi kauni dan syar’i.

Apa yang ditakdirkan secara kauni, apabila Allah menakdirkan sesuatu yang tidak kamu sukai atas dirimu, maka ia pasti terjadi, entah kamu rela entah tidak.

Apa yang ditakdirkan secara syar’i, apakah kamu melaksanakannya atau tidak, dengan melihat kerelaan kepadanya, maka harus diperinci. Jika takdir itu berupa ketaatan kepada Allah, maka kamu wajib rela kepadanya. Jika takdir itu berupa kemaksiatan, maka kamu wajib membencinya, menghindarinya dan melenyapkannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)

Dari sini kita wajib beriman kepada segala yang diputuskan dari sisi di mana ia merupakan qadha dari Allah Ta’ala. Adapun dari sisi ia sebagai keputusan, maka kita mungkin rela dan mungkin tidak. Jadi, terkait kekufuran seseorang, kita tidak rela terhadap kekufuran orang itu, akan tetapi kita rela bahwa kekufuran adalah ketetapan dari Allah.

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA ALLAH

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA MALAIKAT-MALAIKAT ALLAH

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA PARA RASUL

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA HARI AKHIR

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Akidah