JANGAN SALAH MEMAHAMI TAKDIR

JANGAN SALAH MEMAHAMI TAKDIR

Banyak dari orang-orang yang melalaikan perintah Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang nekad melakukan keharaman berdalih dengan takdir atas kemaksiatan yang dilakukannya, padahal dalih itu adalah alasan yang sangat bodoh.

Takdir dijadikan dalih hanya pada perkara-perkara yang terkait dengan musibah, bukan kemaksiatan yang tercela. Kalau takdir digunakan sebagai dalih untuk meninggalkan perintah atau melakukan keharaman, maka semua syariat pasti hancur. Orang yang meninggalkan salat atau tidak menunaikan zakat dengan berdalihkan takdir, seandainya harta mereka dicuri atau kehormatan mereka dinodai, kemudian orang yang mencuri harta atau menodai kehormatannya meminta maaf dengan alasan takdir, pasti tidak mau menerima alasan itu.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Aku pernah melihat sekelompok orang yang salah mengartikan takdir. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Jika aku diberi taufik, tentu aku akan melakukan hal itu.’ Jelas ini adalah alasan yang bodoh, penolakan perintah secara halus, sekaligus penolakan dirinya terhadap perkataan para nabi dan syariat secara umum. Sungguh, dahulu jika seorang kafir berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku akan masuk Islam jika Allah memberi aku taufik,’ maka tidak ada jawaban yang paling pantas baginya selain lehernya dipenggal.”

Inilah yang dimaksud oleh Ali radhiyallahu ‘anhu dalam ucapannya, “Itu adalah perkataan yang benar dengan tujuan yang batil,” kepada orang yang berkata kepadanya, “Kami mengajak kamu kepada kitabullah (al-Qur’an).”

Begitupula, dengan perkataan orang-orang yang enggan mengeluarkan sedekah,

اَنُطْعِمُ مَنْ لَّوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ اَطْعَمَهٗٓ

Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki, Dia akan memberinya makan?” (QS Yasin: 47)

Kita sepakat bahwa taufik merupakan pokok dari suatu perbuatan. Akan tetapi, taufik adalah perkara yang bersifat rahasia, sedangkan perintah adalah perkara yang bersifat nyata. Jadi, seseorang tidak dibenarkan meninggalkan perkara yang nyata hanya karena perkara yang tidak tampak atau rahasia.

Adapun bantahan terhadap orang yang berdalih dengan takdir dalam meninggalkan perintah adalah cukup dengan berkata kepadanya, “Allah tidak membebani kamu dengan sesuatu melainkan setelah Dia memberi kamu sarana dan kemampuan untuk melaksanakan sesuatu tersebut. Jika sarana dan kemampuan tidak ada pada dirimu, maka sesuatu dan pembebanan itu juga tidak ada. Jika kamu ingin menggunakan sarana yang ada pada dirimu untuk mewujudkan kehendakmu, maka hendaklah sarana itu kamu gunakan untuk menunaikan kewajibanmu.”

Contoh: Kamu sanggup menempuh perjalanan jauh untuk sesuatu yang mendatangkan keuntungan bagimu, tetapi ketika diminta pergi untuk menunaikan ibadah haji, kamu menolak. Kamu sanggup bangun di waktu sahur untuk menunaikan salat hari raya, tetapi untuk melaksanakan salat malam kamu merasa berat bangun di malam hari.  Kamu sanggup berdiri lama membicarakan sesuatu yang bersifat dunia bersama temanmu, tetapi untuk melaksanakan salat, kamu merasa berat dan tersega-gesa berdiri.

Waspadalah! Jangan sampai kamu berpegang pada perkara yang kamu sendiri tidak paham, karena hal itu hanya akan mengurangi, bahkan menghilangkan jatah (pahala)mu, padahal semua perintah diperintahkan dan dianjurkan semata-mata untuk kepentingan dirimu. Berlombalah, karena perlombaan itu untuk dirimu sendiri. Rasa malasmu akan hilang jika kamu mau menghayati kehidupan orang-orang sebelum dirimu yang memiliki kesungguhan.

Cukuplah semua itu sebagai celaan bagi orang-orang yang lalai, jika memang mereka menganggap diri mereka masih hidup, karena orang yang semangatnya mati, luka tidak akan memberikan rasa sakit kepadanya.

Bagaimana perasaan kamu ketika kelak kamu dibangkitkan dari kuburmu, lalu kamu melihat orang-orang saleh mendapat balasan kebaikan mereka, sementara kamu sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Bagaimana perasaan kamu ketika kamu melihat langkah orang-orang saleh sangat cepat meniti Shirat, sementara langkahmu terseok-seok.

Sungguh, manisnya pengangguran telah pergi menjauh, sedangkan pahitnya penyesalan masih tersisa.

Sungguh, air kemalasan telah menguap, sedangkan endapan penyesalan masih tertinggal.

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA TAKDIR

Baca juga: SEGALA SESUATU BERJALAN SESUAI DENGAN TAKDIR

Baca juga: WAJIB BERPEGANG-TEGUH KEPADA SUNAH

(Syekh Dr Ahmad Farid)

Akidah