MENUNJUKKAN DAN MENYERUKAN KEBAIKAN

MENUNJUKKAN DAN MENYERUKAN KEBAIKAN

Menunjukkan kebaikan adalah memperlihatkan dan menjelaskan kepada manusia kebaikan-kebaikan yang bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunianya. Barangsiapa menunjukkan kebaikan, ia seperti orang yang melakukan kebaikan itu. Adapun menyerukan kebaikan lebih khusus daripada menunjukkan kebaikan. Orang yang menunjukkan kebaikan hanya menjelaskan kebaikan, sedangkan orang yang menyerukan kebaikan mengajak kepada kebaikan. Oleh karena itu, menyerukan lebih utama dan lebih sempurna daripada menunjukkan.

Manusia diperintahkan untuk mengajak kepada kebaikan, yaitu berdakwah ke jalan Allah Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَادْعُ اِلٰى رَبِّكَ

Dan serulah mereka ke jalan Rabbmu.” (QS al-Qashash: 87)

dan juga firman-Nya:

اِنَّكَ لَعَلٰى هُدًى مُّسْتَقِيْمٍ

Sungguh engkau (Muhammad) berada di jalan yang lurus.” (QS al-Hajj: 67)

Allah Ta’ala juga berfirman:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS an-Nahl: 125)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ؛ وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka adalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS Ali Imran: 104-105)

Ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang serupa dengannya menunjukkan bahwa selayaknya manusia mengajak ke jalan Allah Ta’ala. Namun perlu diperhatikan bahwa dakwah ini tidak sempurna kecuali orang yang berdakwah mengetahui ilmunya. Orang yang jahil (bodoh) terkadang berdakwah kepada sesuatu yang dikiranya benar, padahal batil. Terkadang ia melarang sesuatu yang disangkanya batil, padahal benar. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus ia lakukan dalam berdakwah adalah menuntut ilmu agar ia mengerti tentang apa yang ia dakwahkan.

Tugas dakwah adalah sama bagi setiap orang, apakah ia orang alim yang mengetahui dan mendalami seluruh bab ilmu ataukah ia hanya mengetahui satu permasalahan saja. Artinya, berdakwah tidak mempersyaratkan bahwa ia harus orang yang alim yang mengetahui dan mendalami semua bidang ilmu agama. Jika kamu ingin mengajak orang lain mendirikan salat dan kamu mengetahui hukum-hukum salat dengan baik, maka serulah orang itu agar ia mendirikan salat, walaupun kamu tidak begitu paham bab-bab ilmu selain salat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً

Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR al-Bukhari)

Akan tetapi, tidaklah diperbolahkan seseorang berdakwah tanpa ilmu sama sekali, karena hal itu sangat berbahaya: bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain. Adapun bahaya bagi diri sendiri adalah bahwa Allah telah mengharamkan atas hamba-hamba-Nya mengucapkan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِهٖ وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِۗ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَّوْمَ الْقِيٰمَةِۗ كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

Katakanlah, Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah, Semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia. Khusus (untuk mereka saja) di Hari Kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS al-A’raf 32)

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ

Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS al-Isra’: 36)

Janganlah kalian mengikuti sesuatu yang tidak kalian ketahui, karena kelak kalian akan diminta pertangungjawabannya.

Allah Ta’ala berfirman:

اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS al-Isra’. 36)

Begitu juga, ia harus bijaksana dalam berdakwah. Ia harus mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, mampu memosisikan orang yang didakwahi pada posisinya, lalu mengajak generasi berikutnya ke jalan Allah dengan sesuatu yang sesuai dengannya, dan mengajak orang yang berpaling dengan sesuatu yang sesuai dengannya. Mengajak orang yang bodoh pun harus dengan sesuatu yang sesuai dengannya. Jadi, cara berdakwah berbeda-beda, tergantung keadaan orang yang didakwahi. Dalilnya adalah, bahwasanya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda,

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ

Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Beliau memberitahukan Muadz keadaan orang-orang di Yaman. Beliau meminta Muadz untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi mereka sehingga dapat menempatkan mereka pada tempatnya. Mereka adalah ahli kitab yang memiliki ilmu dan pandai berdebat yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Mereka menantang dengan sesuatu yang sesuai dengan keilmuan mereka.

Orang musyrik adalah orang yang jahil dan tersesat, sedangkan ahli kitab adalah orang yang memiliki ilmu. Untuk mendakwahi ahli kitab diperlukan persiapan yang matang, dibutuhkan cara berdakwah yang teliti. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab.”

Kita ambil contoh yang nyata. Seorang laki-laki bodoh berbicara ketika sedang salat. Ia menyangka bahwa berbicara dalam salat tidak membatalkan salat. Ketika ia sedang salat kita tidak boleh mencela, memarahi, atau menekannya. Barulah seusai ia salat kita berkata kepadanya, “Saat kamu sedang salat, kamu tidak boleh berbicara, karena salat adalah tasbih, takbir, dan bacaan al-Qur’an.”

Jika ia orang yang tahu bahwa berbicara dalam salat adalah haram dan membatalkan salat, namun ia tidak peduli dan nekat melakukannya, maka kita harus berbicara kepadanya dengan hal-hal yang pantas serta menekannya, bahkan mungkin mencelanya.

Allah Ta’ala berfirman:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS an-Nahl: 125)

Yang dimaksud dengan hikmah adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan memosisikan orang pada posisinya. Janganlah berbicara kepada banyak orang seperti berbicara kepada satu orang. Janganlah berdakwah kepada banyak orang seperti berdakwah kepada satu orang. Berdakwahlah kepada manusia sesuai dengan keadaannya.

Seorang dai harus mengetahui keadaan orang yang didakwahinya, karena keadaan setiap orang berbeda-beda: ada yang bodoh, yang menentang dan sombong, dan yang mudah menerima kebenaran, tetapi menyembunyikan dan menakwilnya.

Allah Ta’ala berfirman:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl: 125)

Yang dimaksud dengan ‘jalan Rabbmu’ adalah agama dan syariat Allah Ta’ala yang diberlakukan kepada hamba-hamba-Nya.

Allah Ta’ala menyandarkan syariat pada Zat-Nya karena dua sebab. Pertama: Allah-lah yang menempatkan syariat kepada hamba-hamba-Nya. Dia pula yang menunjukkan syariat-syariat-Nya. Kedua: Syariat itulah yang menyampaikan hamba kepada Allah. Tidak ada yang dapat menyampaikan hamba kepada Allah selain jalan Allah yang telah Dia syariatkan kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan para rasul-Nya.

Terkait firman Allah Ta’ala, “Dengan hikmah dan pelajaran yang baik,” ulama berpendapat bahwa hikmah artinya tepat, yaitu sesuai tempatnya. Sedangkan pelajaran yang baik adalah peringatan yang disertai dengan motivasi dan ancaman.

Jika kita melihat pada diri seseorang sesuatu yang bertentangan, kita harus memberinya nasehat dan pelajaran (peringatan). Jika dengan memberi nasehat dan peringatan ia tidak berubah, maka Allah Ta’ala berfirman, “Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” Jika kita memiliki sesuatu yang dapat diperdebatkan, maka berdebatlah dengan perdebatan yang baik. Janganlah menekannya dan jangan pula meremehkannya. Gunakanlah gaya bahasa dan persuasi yang baik, yakni dengan menyertakan dalil yang dapat membuatnya puas, sebab di antara mereka ada yang merasa puas setelah dibuktikan dengan dalil syar’i, dan ada juga yang merasa cukup dengan menggunakan dalil akal (logika). Inilah orang yang memiliki keimanan yang kuat.

Di antara mereka ada yang sebaliknya. Ia tidak puas dengan dalil syar’i, kecuali hal itu telah ditetapkan dengan dalil logika. Karenanya kamu mendapati ia lebih bersandar kepada dalil logika daripada dalil syar’i. Kelompok ini dikhawatirkan penyimpangannya. Mereka tidak menerima kebenaran kecuali dengan sesuatu yang dapat diterima oleh akalnya yang rusak. Ini tentu sangat berbahaya baginya. Orang yang paling kuat imannya adalah orang yang paling tunduk kepada syariat, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.

Ketahuilah bahwa jika kamu mendapati dalam dirimu perasaan tunduk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, menerima dan melaksanakannya, itu adalah kabar baik bagi dirimu. Sebaliknya, jika kamu mendapati dalam dirimu keraguan akan hukum-hukum syariat, kecuali diperkuat oleh dalil akal (logika), maka ketahuilah bahwa dalam hatimu terdapat penyakit.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ

Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS al-Ahzab: 36)

Mereka tidak mungkin memilih sesuatu selain apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًا

Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS al-Ahzab: 36)

Firman-Nya, “Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik” juga terdapat dalam firman-Nya:

وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ

Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka.” (QS al-Ankabut: 46)

Terhadap orang-orang zalim di antara ahli kitab, janganlah kalian bersikap lembut, karena mereka telah berbuat zalim. Perangilah mereka dengan pedang sampai mereka membayar pajak (jizyah), sedangkan mereka dalam keadaan hina.

Jadi, terdapat empat fase dalam mendakwahi ahli kitab: hikmah, mau’izhah (peringatan), mujadalah (perdebatan) dengan sesuatu yang baik, dan mujadalah dengan pedang (senjata) terhadap ahli kitab yang berbuat zalim.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ

Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan.” (QS Ali lmran: 104)

Baca juga: PAHALA BAGI ORANG YANG MENGAJAK KEPADA PETUNJUK

Baca juga: BERJIHAD MELAWAN ORANG LAIN

Baca juga: MEMULAI DENGAN BAGIAN KANAN

Baca juga: MENDIDIK ANAK AGAR MENJAUHI PERBUATAN HARAM

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kelembutan Hati