SIFAT SALAT NABI – MENGUCAPKAN AL-FATIHAH

SIFAT SALAT NABI – MENGUCAPKAN AL-FATIHAH

al-Fatihah diucapkan dalam salat secara sempurna seluruh ayat-ayatnya, kata-katanya, huruf-hurufnya, serta bentuk-bentuk harakat dan sukunnya. Sedangkan cara mengucapkannya bukan merupakan syarat sah bacaan al-Fatihah.

Jika yang diucapkan dari al-Fatihah hanya enam ayat, maka bacaan itu tidak sah.

Jika yang diucapkan tujuh ayat, tetapi wa ladhdhaalliin dibuang, maka bacaan itu juga tidak sah.

Jika seluruh ayat diucapkan, tidak terbuang satu pun, tetapi hilang satu huruf, seperti hanya diucapkan shiraathalladziina anam alaihim, tanpa huruf ta, maka bacaan itu juga tidak sah.

Jika ada huruf dalam al-Fatihah diganti dengan huruf lain, maka bacaannya tidak sah.

Jika harakatnya tertinggal sehingga mengubah makna, maka bacaan itu juga tidak sah. Jika tertinggalnya harakat tidak mengubah makna, maka bacaan itu tetap sah. Tetapi, meskipun tidak mengubah makna, bacaan itu juga tidak sah jika sengaja dilakukan.

Jika diucapkan ahdinashshiraathal-mustaqiim, maka bacaan itu tidak sah, sebab artinya adalah ‘Berikanlah hidayah kepadanya’. Padahal arti sesungguhnya adalah ‘Berikanlah hidayah kepada kami, berikanlah taufik kepada kami, dan teguhkanlah kami dalam hidayah itu’.

Jika diucapkan shiraathalladziina anamtu alaihim (jalan orang-orang yang aku anugerahkan kenikmatan kepada mereka), maka bacaan itu tidak sah, karena artinya berbeda. Pada ucapan itu anugerah kenikmatan adalah si pengucap sendiri, bukan Allah Ta’ala.

Jika diucapkan al-hamdu lillaahi rabil-’aalamiin tanpa mentasydidkan huruf ba, maka bacaan itu tidak sah, sebab satu huruf hilang. Huruf yang ditasydidkan dalam bahasa Arab bagaikan dua huruf. Ia harus diucapkan al-hamdu lillaahi rabbil-’aalamiin, dengan tasydid pada huruf ba.

Dengan demikian surat al-Fatihah harus diucapkan sempurna dengan seluruh ayat, kata, huruf, dan harakatnya.

al-Fatihah adalah surat yang paling agung dalam Kitabullah. Disebut al-Fatihah (pembuka) karena surat ini dijadikan pembuka Kitabullah, dan juga pembuka bacaan salat. Namun bukan pembuka segala kegiatan, seperti yang dilakukan oleh banyak orang sekarang ini. Ketika ingin melakukan sebuah kegiatan, mereka terlebih dahulu mengucapkan al-Fatihah. Cara ini tidak disyariatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat beliau.

al-Fatihah adalah Ummul Qur’an, sebab seluruh kandungan makna al-Qur’an tercakup dalam surat ini. Surat ini sudah mengandung makna tauhid dengan ketiga jenisnya, makna risalah kenabian, memuat penjelasan tentang hari akhir, syariat para rasul dan para penentang mereka, serta segala yang berkaitan dengan dasar-dasar syariat.

al-Fatihah terdiri dari tuju ayat. Ayat pertama adalah ‘al-Hamdu lillaahi rabbil-’aalamiin’, dan ayat terakhir adalah ‘Gairil-magdhuubi ‘alaihim wa ladd-dhaalliin’. Dalilnya adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا، قَالَ الْعَبْدُ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Allah berfirman, Aku membagi salat antara Aku dan hambaKu menjadi dua bagian, dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia minta. Apabila hamba berkata, Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,’ maka Allah Ta’ala berkata, ‘HambaKu memujiKu.’ Apabila hamba mengucapkan, ‘Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang, maka Allah Ta’ala berkata, ‘HambaKu memujiKu.’ Apabila hamba mengucapkan, ‘Pemilik Hari Kiamat,maka Allah berkata, ‘HambaKu memuliakan-Ku.’ Selanjutnya Dia berkata, ‘HambaKu menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba mengucapkan, ‘Hanya kepadaMulah aku menyembah dan hanya kepadaMulah aku memohon pertolongan,maka Allah berkata, ‘Ini antara Aku dan hambaKu. Dan hambaKu mendapatkan apa yang ia minta.’ Apabila hamba mengucapkan, ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat,’ Allah berkata, ‘Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia minta.” (HR Muslim)

al-Fatihah disebut juga as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang), sebagaimana disebutkan dalam riwayat sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala juga mengkhususkan penyebutan surat ini, seperti dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ اٰتَيْنٰكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِيْ وَالْقُرْاٰنَ الْعَظِيْمَ

Sungguh telah Kami berikan kepadamu (hai Muhammad), sab’an minal matsani dan alQuran yang agung.” (QS al-Hijr : 87)

Kata al-Qur’an disambung dengan al-Fatihah dalam bentuk kalimat sambung umum.

al-Fatihah adalah salah satu rukun salat dan syarat sah salat. Salat tidak sah tanpa al-Fatihah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak sah salat tanpa membaca surat alFatihah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Penafian dalam kalimat hadis di atas bukan penafian terhadap keberadaan salat, karena salat tetap ada meskipun tanpa al-Fatihah, juga bukan penafian terhadap kesempurnaan salat, tetapi penafian terhadap keabsahan salat. Pada asalnya sebuah penafian berbentuk menafikan keberadaan. Tetapi, jika tidak memungkinkan, bisa bermakna menafikan keabsahan. Penafian keabsahan pada dasarnya juga penafian keberadaan menurut syariat. Kalau itu pun tidak mungkin, maka yang dimaksud adalah menafikan kesempurnaan. Demikianlah urutan makna penafian. Dengan dasar ini, barangsiapa mengklaim penafian dalam hadis itu adalah penafian kesempurnaan, padahal masih dapat diartikan sebagai penafian keabsahan, maka pendapat itu tertolak, karena makna asal dari penafian adalah penafian keberadaan. Kalau substansinya memang tidak ada, maka artinya adalah penafian keberadaan. Kalau ketidakadaannya bukan secara substansial, maka artinya adalah penafian keabsahan.

Diriwayatkan dengan sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak sah salat tanpa membaca surat alFatihah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayakan juga secara sahih, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ صَلَاةٍ لَا يُقْرَأُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، فَهِيَ خِدَاجٌ

Setiap salat yang tanpa dibaca al-Fatihah di dalamnya, maka salat itu kurang.” (HR Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad) Yakni rusak.

Dalam riwayat lain,

لَا تُجْزَئُ صَلَاةٌ لَا يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْكِتَابِ

Tidaklah cukup salat yang tidak dibaca di dalamnya Ummu al-Kitab.” (HR Daruquthni. Ia berkata, “Sanadnya sahih.”)

Semua nash di atas secara tegas menunjukkan urgensi surat al-Fatihah. Oleh sebab itu, kami menegaskan, “Ia adalah salah satu rukun salat”.

Tanya: Apakah al-Fatihah adalah rukun setiap rakaat, atau sudah sah bila diucapkan di rakaat pertama, rakaat terakhir atau rakaat pertengahan saja?

Jawab: Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat.

Sebagian ulama berpendapat bahwa jika al-Fatihah diucapkan pada rakaat pertama dalam salat, atau pada rakaat terakhir saja, atau pada salah satu rakaat saja, maka orang yang mengucapkannya sudah dianggap telah mengucapkan Fatihatul Kitab. Hal ini karena kata kerja dalam arti umum atau perintah dalam skala umum tidak disyaratkan harus dilakukan berulang-ulang,

Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa al-Fatihah harus diucapkan di setiap rakaat. Ini merupakan pendapat yang benar. Pendapat ini diperkuat dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang laki-laki yang salatnya tidak beres saat menjelaskan rakaat pertama,

ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Kemudian lakukanlah seperti itu pada setiap rakaat.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana rukuk, sujud, berdiri, dan duduk yang merupakan rukun pada setiap rakaat, demikian juga mengucapkan al-Fatihah. Hal itu lebih diindikasikan oleh kontinuitas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengucapkan bacaan ini pada setiap rakaat. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau tidak mengucapkannya dalam satu rakaat salatnya.

Dengan dasar itu kami menegaskan bahwa al-Fatihah adalah rukun pada setiap rakaat. Tidak gugur nilai rukunnya, kecuali bagi orang yang masbuk yang mendapati imam sudah rukuk atau masih berdiri tetapi sudah selesai mengucapkan bacaan, dan ia langsung mengikutinya. Ia khawatir tidak mendapatkan rukuk selagi belum selesai mengucapkan. Dalam keadaan demikian, nilai rukunnya gugur. Dalilnya adalah hadis dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Ketika ia memasuki masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dalam keadaan rukuk. Dengan tergesa-gesa ia bertakbir lalu rukuk sebelum tiba di saf. Usai salat, ia menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Beliau bersabda,

زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ

Semoga Allah menambah semangatmu. Tetapi jangan diulangi.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan Abu Bakrah untuk mengulangi rakaat yang tertinggal dimana ia hanya mendapatkan rukuk dan tidak mencapatkan bacaan al-Fatihah. Kalau rakaat itu tidak sah, tentu beliau sudah memerintahkan Abu Bakrah untuk mengulangi rakaat tersebut, seperti saat beliau memerintahkan orang yang salatnya tidak beres untuk mengulangi salatnya, dengan alasan bahwa kala itu ia tidak melakukan salat dengan rukun-rukunnya, bahwa secara kias hukum (analogi) yang berlaku adalah demikian, bahwa surat al-Fatihah adalah rukun saat berdiri, dan kewajiban orang yang masbuk sudah digugurkan untuk mengikuti imam. Karena ‘berdiri’ sebagai kesempatan mengucapkan al-Fatihah sudah gugur, maka al-Fatihah sebagai bacaan di kesempatan itu pun gugur.

Tanya: Para ulama berbeda pendapat, apakah al-Fatihah rukun atau wajib, apakah hukumnya berlaku bagi imam, makmum, dan orang yang salat sendirian?

Jawab: Perbedaan pendapat dalam hal itu sangat panjang. Pendapat yang paling benar yang dalilnya paling valid adalah bahwa hukumnya adalah rukun. Ia menentukan sah tidaknya salat, baik bagi imam, makmum maupun orang yang salat sendirian, baik dalam salat sirriyyah maupun salat jahriyyah. Jika tidak ada nash yang menunjukkan wajib atau rukunnya al-Fatihah dalam salat jahriyyah, tentu konsekuensinya adalah bahwa siapa saja yang mendengar bacaan itu dari imamnya, maka al-Fatihah itu adalah juga bagi dirinya. Bacaan imam menjadi bacaan makmum. Jika imam mengucapkan, ‘Wa ladhdhaalliin’, makmun mengamini doa tersebut. Itu menunjukkan bahwa bacaan imam adalah bacaan makmum juga. Bila tidak, maka ucapan amin oleh makmum tidak ada gunanya.

Simak apa yang terjadi pada Nabi Musa dan Harun ‘alaihimussalam. Allah Ta’ala berfirman:

قَالَ قَدْ اُجِيْبَتْ دَّعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيْمَا وَلَا تَتَّبِعٰۤنِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ

Allah berfirman, ‘Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kalian berdua. Sebab itu, tetaplah kalian berdua pada jalan yang lurus, dan janganlah sekalikali kalian mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS Yunus : 89)

Sebagaimana kita ketahui bahwa doa Nabi Musa adalah sebagai berikut:

وَقَالَ مُوْسٰى رَبَّنَآ اِنَّكَ اٰتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَاَهٗ زِيْنَةً وَّاَمْوَالًا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ رَبَّنَا لِيُضِلُّوْا عَنْ سَبِيْلِكَ ۚرَبَّنَا اطْمِسْ عَلٰٓى اَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوْا حَتّٰى يَرَوُا الْعَذَابَ الْاَلِيْمَ

Dan Musa berkata, “Ya Rabb kami, Engkau telah memberikan kepada Firaun dan para pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Rabb kami, (akibatnya) mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Ya Rabb, binasakanlah harta mereka, dan kuncilah hati mereka, sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat azab yang pedih.” (QS Yunus : 88)

Allah Ta’ala menjadikan doa itu sebagai doa mereka berdua, karena yang satu berdoa dan yang lain mengamininya sambil menyimak.

Pepatah Arab mengatakan “Bila datang sungai Allah, tak berguna sungai mu’aqqal.” Bila ada ajaran as-Sunnah, maka kias tidak berfungsi. Ajaran as-Sunnah menunjukkan wajibnya mengucapkan al-Fatihah bagi makmum pada waktu salat Subuh, padahal salat Subuh adalah salat jahriyyah.

Dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, bahwa usai salat Subuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَلَّكُمْ تَقْرَأُونَ خَلْفَ إمَامِكُمْ؟

Mungkin di antara kalian ada yang membaca di belakang imam kalian?

Para sahabat menjawab, “Ya, betul. Secara cepat.”

Beliau bersabda,

لَا تَفْعَلُوا إِلَّا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، فَإِنَّهُ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا

Jangan kalian lakukan, kecuali al-Fatihah, karena tidak ada salat bagi orang yang tidak membacanya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, ath-Thahawi, ad-Daraquthni dan selainnya dari berbagai jalan. Lihat Ashlu Shifati Shalatin Nabi)

Hadis ini tidak bertentangan dengan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dimana ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyelesaikan salat jahriyyah – dalam riwayat lain salat tersebut adalah salat Subuh, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَلْ قَرَأَ مَعِيْ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٌ آنِفًا؟

Apakah ada yang ikut membaca al-Qur’an bersamaan dengan bacaaanku?

Seseorang menyahut, “Benar. Aku, wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda,

إِنِّي أَقُوْلُ: مَا أُنَازَعُ؟

Sesungguhnya aku katakan, ‘Mengapa bacaanku diselingi?’

Maka kaum muslimin berhenti mengucapkan al-Qur’an di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salat jahriyyah setelah mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Malik, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa-i, ath-Thahawi, dan al-Baihaqi. al-Arnauth dalam Takhrij Jami’atul Ushul berkata, “Sanadnya Sahih.”)

Hasilnya, pendapat yang unggul adalah bahwa mengucapkan al-Fatihah adalah wajib, bahkan rukun bagi imam, makmum dan orang yang salat sendirian, baik pada salat sirriyyah maupun salat jahriyyah, kecuali bagi orang yang masbuk yang tidak sempat mengucapkannya tetapi tidak ketinggalan rukuk.

Wajib hukumnya mengucapkan al-Fatihah dengan seluruh ayat, huruf, kata, harakat, dan urutannya. Kelima unsur ini harus dijadikan standar bacaan. Itu dapat dipahami dari kalimat al-Fatihah yang sudah dikenal dengan tujuh ayatnya, kata-katanya, huruf-hurufnya, harakat-harakatnya, dan urutannya. Kesemuanya harus diucapkan secara bersambung, yakni tidak ada aktivitas lain yang memisahkan antar ayat dalam waktu yang lama. Semuanya harus diucapkan secara berurutan.

Tanya: Kenapa demikian?

Jawab: Karena bacaan ini adalah satu ibadah, sehingga harus dirangkai satu dengan yang lain. Bacaan ini seperti beberapa anggota wudu. Dalam berwudu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki harus dibasuh secara berurutan. Demikian juga surat al-Fatihah yang harus diucapkan secara berurutan, mulai dari ayat pertama, kedua, ketiga hingga ayat terakhir.

Mengucapkan al-Fatihah boleh diselingi zikir atau terdiam dalam batas yang diperbolehkan oleh syariat, seperti memohon kepada Allah agar ia digolongkan ke dalam orang-orang yang diberi kenikmatan. Misalnya, seseorang mengucapkan, “Ihdinashshiraathal-mustaqiim” (tunjukkanlah kami jalan yang lurus), lalu berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan mereka. Kumpulkan aku bersama orang-orang yang saleh.” Yang demikian itu terhitung selingan ringan. Hukumnya mubah, bahkan disyariatkan pada salat malam.

Demikian juga bila terdiam untuk mendengarkan bacaan imam, lalu melanjutkan bacaan di saat imam terdiam sebelum rukuk. Maka diam seperti itu dibenarkan syariat, tidak membatalkan bacaan, meskipun lama.

Apabila bacaan selingan terlalu panjang, maka hal itu tidak dibenarkan oleh syariat. Misalnya, setelah mengucapkan, “al-Hamdu lillaahi rabbil-‘aalamiin”, seseorang memuji Allah dengan mengucapkan, “Subhaanallah walhamdulillah, laa ilaaha illallah wallahu akbar, wa subhaanallah bukratan wa ashiila, wallahu akbar kabiira, walhamdulillahi katsira” dan berdoa, baru kemudian melanjutkan mengucapkan, “ar-Rahmaanir-rahiim”.

Demikian juga bila diselingi dengan diam yang lama. Contohnya, seseorang mengucapkan, “al-Hamdu lillaahi rabbil-‘aalamiin”. Kemudian ia mendengar suara ribut-ribut dan menyimak apa yang diucapkan oleh orang-orang. Akibatnya bacaannya tertunda dalam waktu lama. Pada saat itu, ia harus mengulang bacaannya dari awal.

Apabila seseorang salah mengucapkan ayat, ia tidak perlu mengulangi bacaan al-Fatihah sejak awal. Ia hanya mengulang bagian yang salah, lalu mengucapkan ayat sesudahnya. Walaupun bacaan sesudah bacaan yang salah telah diucapkan, ia tetap mengulang mengucapkannya agar bacaan al-Fatihah berurutan.

Surat al-Fatihah harus diucapkan dengan i’rab (harakat yang benar), secara berurut dan bersambung. Antara satu ayat dengan ayat lain harus dipisah. Setiap kali mengucapkan satu ayat, berhenti sejenak, sehingga ada tujuh kali berhenti.

al-Hamdu lillaahi rabbil-‘aalamiin. Berhenti.

ar-Rahmaanir-rahiim. Berhenti.

Maaliki yaumid-diin. Berhenti.

Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin. Berhenti.

Ihdinash-shiraathal-mustaqiim. Berhenti.

Shiraathalladziina an’amta ‘alaihim. Berhenti.

Gairil-magdhuubi ‘alaihim wa ladh-dhaalliin. Berhenti.

Demikian itu karena Nabi berhenti setiap usai mengucapkan satu ayat. Jika tidak berhenti usai mengucapkan satu ayat, maka hal itu tidak apa-apa, karena hukum berhenti seusai mengucapkan satu ayat adalah sunah. Hukum ini diambil dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau sendiri tidak memerintahkannya.

Tanya: Telah dijelaskan di atas bahwa jika salah satu huruf dalam al-Fatihah diganti dengan huruf lain, maka bacaannya tidak sah. Lalu bagaimana dengan mengganti huruf dhadh pada kalimat wa ladh-dhaalliin dengan huruf zha?

Jawab: Dalam persoalan ini terdapat dua pendapat ahli fikih Hanbaliah. Pendapat pertama mengatakan tidak sah, karena telah terjadi pergantian satu huruf dengan huruf lain. Pendapat kedua mengatakan tetap sah. Dan ini adalah pendapat yang populer di kalangan mazhab ini. Alasan mereka adalah bahwa makhraj kedua huruf tersebut berdekatan (mirip) dan sangat susah untuk membedakan keduanya. Dengan demikian, salat orang yang mengucapkan, “Gairil-magdhuubi ‘alaihim wa lazh-zhaalliin” adalah sah.

Baca juga: MENGANGKAT KEDUA TANGAN KETIKA BERTAKBIR

Baca juga: MELETAKKAN TANGAN KANAN DI ATAS TANGAN KIRI

Baca juga: MELIHAT KE TEMPAT SUJUD

Baca juga: MEMBACA DOA ISTIFTAH

Baca juga: TA’AWWUDZ DAN BASMALAH

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih