TOBAT DAN SYARAT-SYARATNYA

TOBAT DAN SYARAT-SYARATNYA

Tobat secara bahasa berasal dari kata تاب يتوب (taaba yatubu), yang berarti kembali.

Secara syar’i tobat adalah kembali dari maksiat kepada Allah Ta’ala menuju ketaatan kepada-Nya. Tobat yang paling besar dan paling wajib adalah tobat dari kekufuran menuju keimanan.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ يَّنْتَهُوْا يُغْفَرْ لَهُمْ مَّا قَدْ سَلَفَ

Katakanlah kepada orang-orang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya, bahwa) jika mereka berhenti (dari kekafiran), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.” (QS al-Anfal: 38)

Setelah itu, tobat dari dosa-dosa besar. Kemudian peringkat ketiga adalah tobat dari dosa-dosa kecil.

Kewajiban bagi seseorang adalah bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari setiap dosa.

Syarat-syarat Tobat

Tobat memiliki lima syarat, yaitu:

1️⃣ Ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala

Tobat harus ditujukan semata-mata mengharap wajah Allah Ta’ala dan berharap bahwa Allah Ta’ala menerima tobatnya dan mengampuni dosa yang telah dilakukannya. Ia tidak boleh ingin dipuji (riya’) atau mendekatkan diri kepada manusia, bukan pula untuk menghindarkan diri dari hukuman pihak berwenang atau waliyyu al-amri. Namun niatnya haruslah karena mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, serta agar Allah mengampuni dosa-dosanya.

2️⃣ Menyesal atas perbuatan maksiat yang dilakukannya

Penyesalan merupakan bukti bahwa orang itu tulus dalam bertobat. Dia harus merasa sedih atas apa yang telah dia lakukan, merasa hancur karenanya, dan tidak merasa lega sampai dia bertobat kepada Allah. Selain itu, dia tidak menganggap bahwa perbuatan maksiat itu diperbolehkan oleh agama, sehingga dia benar-benar bertobat kepada Allah Ta’ala.

3️⃣ Berbenti dari dosa yang dilakukan

Berbenti dari dosa yang sedang dilakukan merupakan syarat tobat yang paling penting.

Cara berhenti dari dosa bermacam-macam. Jika dosa tersebut adalah meninggalkan kewajiban, maka berhenti dari dosa tersebut adalah dengan melaksanakan kewajiban tersebut.

Contoh: Orang yang tidak mengeluarkan zakat, kemudian dia ingin bertobat kepada Allah Ta’ala, maka ia harus mengeluarkan zakat yang telah lalu yang belum ia keluarkan.

Contoh lain: Orang yang melalaikan kewajiban berbakti kepada orang tua, jika ingin bertobat, harus berbakti kepada orang tuanya.

Contoh lain lagi: Orang yang lalai dalam menjalin silaturahmi, jika ingin bertobat, harus menjalin silaturahmi.

Jika kemaksiatan berupa melakukan perbuatan yang diharamkan, lalu ia ingin bertobat, maka ia harus segera berhenti dari melakukan perbuatan maksiat tersebut, dan tidak boleh berlama-lama dalam perbuatan maksiat tersebut.

Jika dosanya adalah memakan riba, maka wajib baginya untuk segera berhenti dari riba, meninggalkannya dan menjauhinya, serta mengeluarkan harta yang diperolehnya melalui jalan riba.

Jika dosanya adalah penipuan dan kebohongan kepada orang lain serta pengkhianatan terhadap amanah, maka wajib baginya untuk segera berhenti dari perbuatan tersebut. Jika dia telah memperoleh harta dari jalan yang haram ini, maka wajib baginya untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau meminta dihalalkan oleh pemiliknya. Jika dosanya adalah gibah (menggunjing), maka wajib baginya untuk berhenti dari menggunjing orang lain dan berbicara tentang kehormatan mereka.

Jika dia berkata bahwa dia bertobat kepada Allah tetapi tetap berkeras meninggalkan kewajiban atau terus melakukan hal yang haram, maka tobat tersebut tidak diterima. Bahkan, ini adalah bentuk mempermainkan Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin dia bertobat kepada Allah Ta’ala sementara dia tetap berkeras dalam bermaksiat kepada-Nya?

Jika kamu berurusan dengan seseorang dan berkata, “Aku minta maaf dan menyesal. Aku tidak akan mengulangi kesalahan ini,” namun dalam hatimu terbersit untuk kembali melakukannya dan benar-benar mengulanginya, maka itu adalah bentuk mempermainkan orang tersebut. Jadi, bagaimana jika kamu melakukan hal ini kepada Allah, Rabb semesta alam? Orang yang benar-benar bertobat adalah orang yang berhenti dari dosanya.

Sungguh aneh sebagian orang di sekitar kita mengeluhkan tentang adanya riba, tetapi mereka sendiri bertransaksi dengan riba. Sebagian yang lain mengeluhkan orang yang gemar gibah dan memakan daging manusia, tetapi mereka sendiri termasuk orang yang gemar gibah. Ada juga orang yang mengeluh tentang kebohongan dan hilangnya amanah di kalangan manusia, tetapi anehnya ia sendiri sering berbohong dan tidak amanah.

Bagaimanapun juga, seseorang harus berhenti dari dosa yang dia tobati. Jika dia tidak berhenti, maka tobatnya ditolak dan tidak bermanfaat baginya di sisi Allah Ta’ala.

Berhenti dari dosa bisa jadi berarti berhenti dari dosa yang berkaitan dengan hak Allah ‘Azza wa Jalla, maka cukup baginya bertobat antara dirinya dan Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak sepantasnya – bahkan bisa dikatakan tidak boleh –menceritakan kepada orang lain tentang dosa yang telah dilakukannya atau kewajiban yang ditinggalkannya. Itu karena dosa yang dia lakukan adalah antara dia dan Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Allah telah memberinya nikmat berupa penutupan aibnya dan penyembunyian dosanya dari manusia, maka janganlah dia menceritakan kepada siapa pun tentang apa yang telah dia lakukan itu jika dia telah bertobat kepada Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أَمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ. وإِنَّ مِنَ الْمُجَاهِرَةِ أَن يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّه عَلَيْهِ، فَيقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ ربُّهُ، ويُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّه عَنْهُ

Setiap umatku ditutup aibnya, kecuali mujahirin (orang yang terang-terangan berbuat dosa). Termasuk mujahirin adalah orang yang berbuat dosa pada malam hari, kemudian pagi harinya, padahal Allah telah menutup aibnya, ia berkata, ‘Wahai fulan, tadi malam aku berbuat ini dan itu.’ Sungguh malam itu Allah telah menutup aibnya, namun di pagi harinya ia membuka kembali apa yang telah Allah tutup.” (Muttafaq ‘alaih)

Beberapa ulama mengatakan bahwa jika seseorang melakukan dosa yang di dalamnya terdapat hukuman had, maka tidak mengapa dia pergi kepada pemimpin yang menegakkan hukum had, seperti hakim, dan mengakui bahwa dia telah melakukan dosa tertentu dan ingin membersihkan dirinya dari dosa tersebut. Meskipun demikian, yang lebih baik adalah dia menutupi dosanya sendiri; itulah yang terbaik.

Artinya, dibolehkan baginya untuk pergi kepada pemimpin jika dia melakukan dosa yang di dalamnya terdapat hukuman had, seperti zina, lalu dia mengakui bahwa dia telah melakukan ini dan itu, dan meminta agar hukuman had ditegakkan atasnya, karena hukuman had adalah penebus dosa.

Adapun dosa-dosa lainnya, hendaklah kamu menutupinya, sebagaimana Allah menutupinya. Begitu juga dengan zina dan sejenisnya, tutupilah aib itu dari selain pemimpin yang menegakkan hukum. Jangan sekali-kali kamu menyebarluaskan aibmu sendiri. Selama kamu telah bertobat dari dosa yang terjadi antara dirimu dan Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala menerima tobat hamba-hamba-Nya dan mengampuni dosa-dosa.

Jika dosa itu berkaitan dengan dirimu dan orang lain, maka, jika berupa harta, kamu harus mengembalikannya kepada pemiliknya. Tobat tidak diterima kecuali dengan mengembalikannya.

Misalnya: Kamu telah mencuri harta dari seseorang dan bertobat dari perbuatan tersebut, maka kamu harus mengembalikan harta yang dicuri itu kepada pemiliknya.

Jika kamu memiliki hak orang lain, misalnya berupa utang kepada seseorang yang kamu ingkari, kemudian kamu bertobat, maka kamu harus pergi kepada pemilik uang yang telah kamu ingkari itu dan mengakui serta mengembalikan haknya sampai dia menerimanya. Jika orang itu telah meninggal, maka kamu berikan uang itu kepada ahli warisnya. Jika kamu tidak mengenal mereka atau orang itu telah menghilang dan kamu tidak mengetahui keberadaannya, maka sedekahkanlah atas namanya untuk membebaskan dirimu dari tanggung jawab tersebut, dan Allah Ta’ala mengetahui dan memberikan pahalanya kepadanya.

Jika dosa yang kamu lakukan terhadap manusia berupa pukulan atau sejenisnya, maka pergilah kepadanya dan biarkan dia memukulmu seperti yang kamu lakukan kepadanya. Jika kamu memukulnya di punggung, maka biarkanlah dia memukulmu di punggung. Jika pukulan itu di kepala, maka biarkan dia memukulmu di kepala. Di bagian tubuh mana pun kamu memukulnya, biarkanlah dia membalasmu.

Allah Ta’ala berfirman:

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS asy-Syura: 40)

Allah Ta’ala juga berfirman:

فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ

Oleh sebab itu, barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah ia setimpal dengan serangannya terbadapmu.” (QS al-Baqarah: 194)

Jika berupa perkataan, yaitu menyakiti dengan perkataan, seperti kamu mencelanya di depan orang banyak, menghinanya, atau mempermalukannya, maka kamu harus pergi kepadanya dan meminta maaf sesuai dengan kesepakatan kalian berdua. Bahkan jika dia mengatakan bahwa dia tidak akan memaafkanmu kecuali dengan sejumlah uang, maka berilah dia uang.

Jika hak tersebut berupa gibah, yaitu kamu membicarakannya saat dia tidak hadir, mengkritiknya di hadapan orang banyak sementara dia tidak ada, dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan, “Kamu harus pergi kepadanya dan berkata, ‘Wahai fulan, aku telah berbicara tentangmu di hadapan orang-orang, maka kumohon maafkan aku dan halalkan aku.’”

Sebagian ulama mengatakan, “Tidak perlu pergi kepadanya,” melainkan ada rincian. Jika dia sudah mengetahui tentang gibah itu, maka kamu harus pergi kepadanya dan meminta maaf. Namun, jika dia tidak mengetahuinya, maka kamu jangan pergi kepadanya, tetapi mintalah ampun untuknya, dan bicarakan kebaikan-kebaikannya di majelis-majelis di mana kamu dulu menggibahnya. Hal itu karena kebaikan-kebaikan menghapuskan kesalahan-kesalahan.

Pendapat ini lebih tepat, yaitu jika orang yang digunjing tidak mengetahui bahwa kamu menggunjingnya, kamu cukup menyebutkan kebaikan-kebaikannya di majelis-majelis di mana kamu menggunjingnya, dan memohon ampun untuknya dengan berkata, “Ya Allah, ampunilah dia,” sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Kafarat bagi orang yang menggunjingnya adalah memohonkan ampun untuknya.”

Dalam bertobat, hak-hak harus dikembalikan kepada pemiliknya.

4️⃣ Bertekad untuk tidak tidak kembali melakukan dosa di masa datang

Jika kamu berniat untuk kembali melakukannya ketika ada kesempatan, maka tobatmu tidak sah.

Contohnya: Seorang laki-laki menggunakan uang untuk bermaksiat kepada Allah, membeli minuman keras, pergi ke negara lain untuk berzina dan mabuk. Ketika dia jatuh miskin, dia berkata, “Ya Allah, aku bertobat kepada-Mu,” padahal dia berdusta. Dia berkata bahwa dia bertobat kepada Allah, tetapi dalam hatinya dia berniat bahwa jika keadaannya kembali seperti semula, dia akan melakukan perbuatan yang sama.

Ini adalah tobat orang yang lemah. Bertobat atau tidak, dia tetap tidak mampu melakukan maksiat. Sebab, ada orang yang jatuh miskin, lalu berkata, “Aku telah meninggalkan dosa-dosa,” tetapi dalam hatinya dia berkata bahwa jika keadaan kembali seperti semula, dia akan kembali melakukan maksiat lagi. Maka tobat seperti ini tidak diterima karena ini adalah tobat orang yang lemah, dan tobat orang yang lemah tidak berguna baginya.

5️⃣ Tobat dilakukan pada waktu tobat masih diterima

Orang yang bertobat pada waktu tobat sudah tidak diterima lagi, tobatnya tidak bermanfaat baginya.

Waktu dimana tobat diterima adalah:

🅰️ Sebelum ajal tiba

Tobat harus dilakukan sebelum ajal tiba – yaitu sebelum kematian -, karena jika dilakukan setelah ajal tiba, maka tobat tersebut tidak bermanfaat bagi yang bertobat, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السَّيِّاٰتِۚ حَتّٰىٓ اِذَا حَضَرَ اَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ اِنِّيْ تُبْتُ الْـٰٔنَ

Dan tobat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia berkata, ‘Aku benar-benar bertobat sekarang.’” (QS an-Nisa’: 18)

Bagi mereka, tidak ada tobat.

Allah Ta’ala juga berfirman:

فَلَمَّا رَاَوْا بَأْسَنَاۗ قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَحْدَهٗ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهٖ مُشْرِكِيْنَ فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ اِيْمَانُهُمْ لَمَّا رَاَوْا بَأْسَنَا ۗسُنَّتَ اللّٰهِ الَّتِيْ قَدْ خَلَتْ فِيْ عِبَادِهِۚ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكٰفِرُوْنَ

Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, ‘Kami beriman kepada Allah saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.’ Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.” (QS al-Mu’min: 84-85)

Jika seseorang telah melihat kematian dan ajal telah menjemputnya, itu berarti dia sudah putus asa dari kehidupan. Pada saat itu, tobatnya menjadi tidak pada tempatnya; setelah dia putus asa dari kehidupan dan mengetahui bahwa tidak ada lagi kesempatan untuk kembali dan bertobat. Ini adalah tobat terpaksa, yang tidak bermanfaat baginya dan tidak diterima. Tobat harus dilakukan sebelumnya.

🅱️ Secara umum

Adapun jenis yang kedua adalah secara umum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ، وَلَا تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Tidaklah hijrah terputus hingga tobat terputus, dan tidaklah tobat terputus hingga matahari terbit dari barat.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh ad-Darimi, Abu Dawud, Ahmad, dan an-Nasa’i)

Apabila matahari telah terbit dari barat, maka tobat tidak lagi bermanfaat.

Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ يَأْتِيْ بَعْضُ اٰيٰتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا اِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ اٰمَنَتْ مِنْ قَبْلُ اَوْ كَسَبَتْ فِيْٓ اِيْمَانِهَا خَيْرًا

Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu, tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu.” (QS al-An’am: 158)

Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah terbitnya matahari dari arah barat, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka, tobat harus dilakukan pada waktu tobat masih diterima. Jika tidak demikian, maka tobat tidak diterima.

Tobat dari Satu Dosa, tapi Melakukan Dosa yang Lain

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah tobat diterima dari satu dosa sementara dia tetap berkeras melakukan dosa lainnya? Dalam hal ini, terdapat tiga pendapat ulama.

Di antara mereka ada yang berkata bahwa tobat dari satu dosa sah meskipun dia tetap berkeras melakukan dosa lainnya. Maka tobatnya dari dosa ini diterima, dan dosa lainnya tetap ada dalam segala kondisi.

Di antara mereka ada yang berkata bahwa tobat dari satu dosa tidak diterima jika dia tetap berkeras melakukan dosa lainnya.

Di antara mereka ada yang merinci dengan mengatakan, “Jika dosa yang tetap dilakukan adalah dari jenis yang sama dengan dosa yang telah ditobati, maka tobatnya tidak diterima. Namun, jika dari jenis yang berbeda, maka tobatnya diterima.

Contohnya: Seseorang bertobat dari riba, namun dia tetap meminum khamar dan berkeras untuk terus meminumnya. Dalam hal ini, sebagian ulama berkata, “Tobatnya dari riba tidak diterima. Bagaimana mungkin dia dikatakan bertobat kepada Allah sementara dia tetap berkeras dalam kemaksiatan?”

Sebagian ulama lain berkata, “Tobatnya diterima, karena riba adalah satu hal dan meminum khamar adalah hal lain.” Inilah pendapat yang dipegang oleh an-Nawawi rahimahullah. Dia berkata, “Tobat dari satu dosa diterima meskipun tetap melakukan dosa yang lain, menurut para ulama yang benar. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Sebagian mereka mengatakan, “Diterima,” dan sebagian lagi mengatakan, “Tidak diterima.”

Jika dosa berkaitan dengan lawan jenis, seperti seseorang yang terjerat dalam zina, dan juga terjerat dalam melihat dan memandang perempuan dengan syahwat dan semacamnya, apakah tobatnya dari zina diterima sementara dia tetap berkeras melihat perempuan dengan syahwat, atau sebaliknya?

Ini juga terjadi perbedaan pendapat. Di antara mereka mengatakan tobatnya sah, dan yang lain mengatakan tobatnya tidak sah.

Yang benar dalam masalah ini adalah bahwa tobatnya sah dari dosa yang disertai dengan tekad untuk tidak mengulanginya. Tetapi orang ini tidak dikatakan orang yang bertobat secara mutlak, dan tidak layak mendapatkan pujian yang layak diberikan kepada orang-orang yang bertobat. Ini karena orang tersebut belum bertobat dengan tobat yang sempurna, melainkan bertobat dengan tobat yang kurang; bertobat dari dosa ini tetapi dosanya belum terhapus sepenuhnya. Bahwa ini disebut sebagai tobat yang tidak sempurna dan kurang, maka inilah pendapat yang menenangkan hati, karena tidak memberikan sifat mutlak dan tidak menghalangi seseorang untuk bertobat dari dosa ini.

Baca juga: KEWAJIBAN BERTOBAT

Baca juga: ALLAH BAHAGIA DENGAN TOBAT HAMBANYA

Baca juga: ZINA ADALAH DOSA BESAR YANG PALING BESAR

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kelembutan Hati Riyadhush Shalihin