KEUTAMAAN LAA ILAAHA ILLALLAAH DAN KONSEKUENSINYA

KEUTAMAAN LAA ILAAHA ILLALLAAH DAN KONSEKUENSINYA

Bertakwalah kepada Allah Ta’ala sebagaimana kalian diperintahkan untuk bertakwa. Patuhilah perintah-perintah-Nya dan jangan durhaka kepada-Nya. Ingatlah kepada-Nya dengan berdzikir. Bersyukurlah dan jangan mengingkari-Nya.

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berdzikir kepada-Nya setiap waktu.

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اذْكُرُوا اللّٰهَ ذِكْرًا كَثِيْرًاۙ  وَّسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَّاَصِيْلًا

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS al-Ahzab: 41-42)

Allah Ta’ala mengkhususkan sebagian waktu untuk berdzikir, seperti setelah shalat lima waktu dan setelah menunaikan ibadah lainnya. Dia memerintahkan kita untuk berdzikir pada waktu-waktu tersebut karena memiliki kelebihan dibandingkan waktu-waktu lainnya..

Allah Ta’ala berfirman:

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ

Maka apabila kalian telah menyelesaikan shalat(kalian), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan, di waktu berbaring.” (QS an-Nisa’: 103)

فَاِذَا قَضَيْتُمْ مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَذِكْرِكُمْ اٰبَاۤءَكُمْ

Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian.” (QS al-Baqarah: 200)

Berdzikir kepada Allah mencakup semua bentuk ketaatan, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Segala ketaatan adalah bentuk dzikir kepada Allah Ta’ala. Dzikir dapat dilakukan melalui lisan dan hati. Seorang mukmin senantiasa berdzikir kepada Allah, terutama dengan ucapan, seperti tahlil, tasbih, tahmid, dan takbir, karena dzikir-dzikir ini mudah diucapkan dalam segala keadaan—saat naik kendaraan, berjalan kaki, berdiri, duduk, atau berbaring. Selain itu, lisan tidak mudah lelah untuk berdzikir, berbeda dengan anggota tubuh lainnya yang akan merasa lelah jika terlalu banyak bergerak.

Sebaik-baik dzikir adalah ‘Laa ilaaha illallaah.’ Oleh karena itu, sudah sepatutnya dzikir ini diperbanyak.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي

Sebaik-baik yang aku dan para Nabi sebelumku ucapkan adalah,

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

(Tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, yang mempunyai kerajaan dan yang memiliki pujian. Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu).” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad. Syekh al-Albani menyatakan hadis ini sahih dilihat dari syawahid atau penguat-penguatnya. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah)

Kalimat yang agung ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi di antara dzikir-dzikir lainnya. Dzikir ini terikat dengan sejumlah hukum dan memiliki beberapa syarat. Ia juga mengandung makna dan konsekuensi yang mendalam, bukan sekadar kata-kata yang diucapkan begitu saja. Kalimat ini diucapkan oleh kaum muslimin dalam adzan, iqamah, dan khotbah. Karena kalimat dzikir inilah bumi dan langit dihamparkan, semua makhluk diciptakan, al-Qur’an diturunkan, para rasul diutus, dan syariat Islam ditetapkan. Demi kalimat dzikir ini pula, timbangan-timbangan dipasang, dan pasar Surga serta Neraka diciptakan. Sebab kalimat ini, semua makhluk dibagi menjadi mukmin dan kafir. Tentang kalimat dzikir ini dan hak-haknya akan terjadi tanya-jawab di akhirat. Atas dasar kalimat ini juga, pahala dan siksa ditetapkan, arah kiblat ditentukan, agama dibangun, dan pedang jihad dihunus.

Laa ilaaha illallaah adalah hak Allah terhadap para hamba. Kalimat ini adalah lambang keislaman dan kunci menuju negeri keselamatan. Ia merupakan kalimat takwa, simpul tali yang sangat kuat, dan kalimat ikhlas. Dengan mengucapkan kalimat ini, kita selamat dari kekafiran dan Neraka. Barangsiapa mengucapkannya, darah dan hartanya akan dijaga di dunia. Jika seseorang meyakini makna kalimat ini dengan sepenuh hati, ia akan selamat dari Neraka di akhirat dan masuk ke Surga. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ

Sesungguhnya Allah mengharamkan Neraka atas orang yang mengucapkan ‘Laa ilaaha illallaah’, yang dengan itu ia mengharap wajah Allah.” (HR al-Bukhari)

Laa ilaaha illallaah adalah kalimat yang ringkas, dengan sedikit huruf, ringan diucapkan, namun berat dalam timbangan.

Ibnu Hibban dan al-Hakim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

قَالَ مُوسَى: يَا رَبِّ، عَلِّمْنِي شَيْئًا أَذْكُرُكَ وَأَدْعُوكَ بِهِ. قَالَ: قُلْ يَا مُوسَى، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. قَالَ: يَا رَبِّ، كُلُّ عِبَادِكَ يَقُولون هَذَا. قَالَ: يَا مُوسَى، لَوْ أَنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَعَامِرُهُنَّ غَيْرِي، وَالأَرَضِينَ السَّبْعِ فِي كِفَّةٍ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فِي كِفَّةٍ، مَالَتْ بِهنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Musa berkata, ‘Wahai Rabbku, ajarkanlah kepadaku suatu kalimat untuk berdzikir dan berdoa kepada-Mu.’ Allah berfirman, ‘Wahai Musa, ucapkanlah laa ilaaha illallaah.’ Musa berkata lagi, ‘Wahai Rabbku, semua hamba-Mu mengucapkan ini.’ Allah pun berfirman, ‘Hai Musa, andaikata ketujuh langit dan penghuninya, selain Aku, serta ketujuh bumi diletakkan pada daun timbangan, sedangkan laa ilaaha illallaah diletakkan pada daun timbangan yang lain, niscaya laa ilaaha illallaah lebih berat timbangannya.” (HR Ibnu Hibban dan al-Hakim)

Kalimat yang agung ini memiliki dua rukun. Pertama, an-nafyu, yang berarti meniadakan ilah (yang berhak disembah) selain Allah. Kedua, al-itsbat, yang berarti menetapkan bahwa ilah (yang berhak disembah) hanyalah Allah Ta’ala. Dengan demikian, maknanya adalah membebaskan diri dari syirik dan orang-orang musyrik serta memurnikan ibadah hanya kepada Allah. Inilah makna ucapan Ibrahim ‘alaihissalam kepada bapak dan kaumnya,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِۦٓ إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا ٱلَّذِى فَطَرَنِى فَإِنَّهُۥ سَيَهْدِينِ

Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang kalian sembah. Tetapi (aku menyembah) Rabb yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.’” (QS az-Zukhruf: 26-27)

Inilah makna firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا

Karena itu barangsiapa ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS al-Baqarah: 256)

Ketika seorang muslim mengucapkan kalimat ini, berarti ia telah membebaskan diri dari syirik dan kaum musyrikin, serta berkomitmen untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus. Jika ia konsisten, berarti ia telah merealisasikan Islam dan akan mendapatkan keberuntungan di akhirat. Namun, jika hanya mengucapkannya dengan lisan tanpa mengamalkan kandungannya, ia tidak akan mendapatkan manfaat apapun. Orang-orang munafik dahulu juga mengucapkan kalimat ini dengan lisannya, tetapi hatinya tidak meyakininya, sehingga mereka berada di kerak Neraka.

Begitu juga di zaman sekarang, ada orang yang mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah‘ dengan lisannya, tetapi masih berdoa kepada orang yang sudah meninggal, berkeliling di kuburan untuk mendekatkan diri kepada mereka, serta meminta bantuan kepada para wali dan orang-orang saleh yang sudah meninggal. Mereka bernazar untuk kuburan dan menyembelih sesembelihan untuk mereka. Orang seperti ini tidak mendapatkan manfaat dari kalimat ‘laa ilaaha illallaah‘, karena ia tidak mengamalkan kandungannya, yaitu membebaskan diri dari syirik dan kaum musyrikin serta memurnikan ibadah hanya kepada Allah, Rabb semesta alam. Makna ‘laa ilaaha illallaah‘ adalah meninggalkan penyembahan terhadap kuburan dan mendekatkan diri kepada orang mati, sebagaimana meninggalkan penyembahan terhadap berhala seperti Latta, Uzza, Manat, dan lainnya. Tidak ada bedanya antara penyembahan terhadap berhala dan penyembahan terhadap kuburan. Inilah makna ‘laa ilaaha illallaah‘.

Oleh karena itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang kafir Quraisy, “Ucapkanlah laa ilaaha illallaah,” mereka justru berkata,

اَجَعَلَ الْاٰلِهَةَ اِلٰهًا وَّاحِدًا ۖاِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS Shad: 5)

Orang-orang musyrik sangat memahami bahwa makna ‘laa ilaaha illallaah‘ adalah meninggalkan perbuatan syirik dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah.

Para penyembah kuburan tidak memahami hal ini, sehingga mereka menggabungkan perbuatan syirik dengan ucapan ‘laa ilaaha illallaah.’ Mungkin mereka menafsirkan ‘laa ilaaha illallaah‘ sebagai pengakuan bahwa Allah-lah yang menciptakan dan memberi rezeki. Mereka berpikir bahwa siapa pun yang menetapkan bahwa Allah adalah Maha Pencipta dan Maha Pemberi rezeki, berarti ia telah merealisasikan tauhid dan bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah. Setelah itu, mereka merasa tidak terhalang untuk menyembelih hewan untuk orang mati dan bertaqarrub kepada mereka dengan berbagai macam ibadah. Mereka tidak menyadari bahwa orang-orang musyrik yang diminta oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan ‘ laa ilaaha illallaah‘ juga mengakui bahwa Allah-lah yang menciptakan dan memberi rezeki.

Allah Ta’ala berfirman tentang mereka:

وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيْزُ الْعَلِيْمُ

Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka akan menjawab, ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS az-Zukhruf: 9)

Allah Ta’ala juga berfirman:

قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ اَمَّنْ يَّمْلِكُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَمَنْ يُّخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُّدَبِّرُ الْاَمْرَۗ فَسَيَقُوْلُوْنَ اللّٰهُ ۚفَقُلْ اَفَلَا تَتَّقُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah, ‘Mangapa kalian tidak bertakwa kepada-Nya?’” (QS Yunus: 31)

Jika pemahaman yang salah mengenai makna ‘laa ilaaha illallaah‘ muncul dari orang awam, hal itu masih bisa diluruskan, karena orang awam masih dapat diberi pelajaran dan kemungkinan besar mau menerima kebenaran. Namun, sungguh celaka apabila pemahaman yang salah ini timbul dari mereka yang mengklaim memiliki ilmu, mengeluarkan fatwa, dan memberi pelajaran. Mereka sangat sulit diberi pemahaman, karena kebodohan mereka sudah begitu parah.

Orang bodoh yang sudah parah adalah orang yang tidak menyadari bahwa ia tidak tahu. Ia lebih sulit menerima kebenaran dibandingkan dengan orang bodoh biasa yang mengakui kebodohannya. Mereka inilah para ulama sesat yang membinasakan diri mereka sendiri dan orang-orang bodoh yang berbaik sangka kepada mereka serta mengikuti kesesatannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita agar berhati-hati terhadap mereka.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ

Sesungguhnya yang aku takuti pada umatku hanyalah para pemimpin (imam) yang sesat.” (HR Ahmad, Abu Dawud, ad-Darimi dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata ‘Hadis sahih.’ al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah berkata, “Isnadnya sahih sesuai syarat Muslim”)

Meskipun mereka memahami berbagai permasalahan agama, mereka gagal memahami masalah pokok dan yang paling besar, yaitu tauhid yang dibawa oleh para rasul. Akibatnya, mereka memusuhi tauhid dan para pendukungnya. Sebagian dari mereka bahkan menulis buku-buku yang menyangkal pendukung tauhid dan memutarbalikkan makna ‘laa ilaaha illallaah’.

Allah Ta’ala berfirman:

لِيَحْمِلُوْٓا اَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَّوْمَ الْقِيٰمَةِ ۙوَمِنْ اَوْزَارِ الَّذِيْنَ يُضِلُّوْنَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَزِرُوْنَ

“…(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada Hari Kiamat, dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” (QS an-Nahl: 25)

Salah satu konsekuensi dan hak dari ‘laa ilaaha illallaah‘ bagi orang yang mengucapkannya adalah mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan haji bagi yang mampu, serta taat kepada Allah dan meninggalkan maksiat.

Di zaman sekarang, banyak orang yang mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah‘ tetapi tidak mau mendirikan shalat atau enggan membayar zakat. Padahal, al-Qur’an dan as-sunnah menunjukkan bahwa orang yang tidak shalat bukanlah seorang muslim, meskipun ia mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah’.

Allah Ta’ala berfirman:

فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ

Jika mereka bertobat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.” (QS at-Taubah: 5)

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ

Jika mereka bertobat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudara kalian seagama.” (QS at-Taubah: 11)

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak shalat tidak diberikan kebebasan, bahkan boleh dibunuh dan tidak dianggap sebagai saudara seiman, karena dia dianggap kafir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

Antara seorang hamba dan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim)

Setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekelompok orang menolak untuk membayar zakat meskipun mereka telah mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah.’ Abu Bakar ash-Shiddiq dan para sahabat pun memerangi mereka. Ucapan ‘laa ilaaha illallaah‘ tidak menghalangi Abu Bakar dan para sahabat untuk memerangi mereka, karena mereka menganggap bahwa zakat adalah salah satu hak dari ucapan ‘laa ilaaha illallaah’.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا قَالُوْا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا

Apabila mereka mengatakan ‘laa ilaaha illallaah’, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak.” (HR Muslim dan Ahmad)

Suatu ketika dikatakan kepada al-Hasan rahimahullah, “Orang-orang mengatakan, ‘Siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallaah, ia akan masuk Surga.’”

al-Hasan berkata, “Barangsiapa mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah’ kemudian menunaikan hak dan kewajibannya, ia akan masuk Surga.”

Suatu ketika, seseorang bertanya kepada Wahb bin Munabbih, “Bukankah ‘laa ilaaha illallaah’ adalah kunci Surga?”

Wahb bin Munabbih menjawab, “Betul, namun kunci memiliki gerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, engkau bisa membuka pintunya. Namun jika kunci itu tidak bergerigi, engkau tidak akan bisa membuka pintu tersebut.”

Oleh kerana itu, bertakwalah kepada Allah Ta’ala. Jadilah pendukung kalimat ‘laa ilaaha illallaah’ dengan sebenar-benarnya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai pendukung ‘laa ilaaha illallaah’.

Allah Ta’ala berfirman:

فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسْتَغْفِرْ لِذَنۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَىٰكُمْ

Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosa kalian dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kalian berusaha dan tempat kalian tinggal.” (QS Muhammad: 19)

Salah satu makna dan konsekuensi dari ‘laa ilaaha illallaah‘ adalah berhukum dengan syariat Allah, mengharamkan apa yang haram, menghalalkan apa yang halal, dan tidak mematuhi makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Orang yang mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah‘ harus berhukum dengan syariat Allah, mengingkari hukum-hukum tagut dan menjauhinya, karena penetapan syariat adalah hak Allah semata. Barangsiapa menetapkan undang-undang yang digunakan untuk memutuskan hukum di tengah-tengah masyarakat sebagai pengganti syariat Allah, berarti ia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan Allah. Barangsiapa mematuhi hal itu tanpa adanya paksaan, berarti ia telah menyekutukan Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS asy-Syura: 21)

وَاِنْ اَطَعْتُمُوْهُمْ اِنَّكُمْ لَمُشْرِكُوْنَ

Dan jika kalian menuruti mereka, sesungguhnya kalian tentu menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS al-An’am: 121)

ٱتَّخَذُوٓا۟ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَٰنَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلْمَسِيحَ ٱبْنَ مَرْيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوٓا۟ إِلَٰهًا وَٰحِدًا ۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada ilah (yang berhak disembah dengan benar) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS at-Taubah: 31)

Ketika Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu mendengar ayat ini, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh kami tidak menyembah mereka.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ يُحِلُّوْنَ لَكُمْ مَاحَرَّمَ اللَّهُ فَتُحِلُّوْنَهُ، وَيُحَرِّمُوْنَ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَتُحَرِّمُوْنَهُ؟

Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yang Allah haramkan lalu kalian menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan lalu kalian mengharamkannya?

Adi bin Hatim menjawab, “Betul.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ

Itulah (yang dimaksud) peribadahan kepada mereka.” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, Abd bin Humaid, Ibnu Abi Hatim, dan ath-Thabrani. Dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albani)

Pada zaman sekarang, hal ini tercermin pada para penguasa yang menetapkan undang-undang positif sebagai pengganti syariat Islam. Demikian pula, hal ini terlihat pada sebagian ahli fikih yang taklid buta kepada para imam mereka, meskipun para imam tersebut salah dalam berijtihad dan bertentangan dengan dalil. Selain itu, juga tercermin pada golongan sufi yang menaati para syekh tarekat yang melakukan perbuatan-perbuatan syirik dan bid’ah. Semua itu termasuk dalam bentuk penyembahan kepada para rahib dan pendeta.

Seorang muslim yang menginginkan keselamatan bagi dirinya harus mempelajari makna ‘laa ilaaha illallaah‘, memahami konsekuensinya, dan mengamalkannya, sehingga ia menjadi pendukung kalimat tauhid.

Allah Ta’ala berfirman,

فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسْتَغْفِرْ لِذَنۢبِكَ

Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS Muhammad: 19)

Allah Ta’ala memerintahkan agar kita memiliki ilmu sebelum berbicara atau melakukan perbuatan, karena tindakan yang tidak dilandasi ilmu yang benar akan membawa kepada kesesatan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا يَمْلِكُ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ الشَّفَاعَةَ اِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafaat, akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat adalah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakininya.” (QS az-Zukhruf: 86)

Yaitu orang yang mempersaksikan tauhid dengan mengucapkan ‘laa ilaaha illallaah’, “… sedangkan mereka mengetahui” (QS Ali Imran: 135) dengan hati mereka dan memahami apa yang dipersaksikan oleh lisan mereka.

Bertakwalah kepada Allah dan pahamilah makna ‘laa ilaaha illallaah’ agar kalian mengetahui konsekuensinya. Berpegang teguhlah kepada al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya. Bergabunglah dengan jamaah kaum muslimin. Sesungguhnya, sebaik-baik perkataan adalah kitab suci Allah, al-Qur’an.

Baca juga: ‘LAA ILAAHA ILLALLAAH’ LEBIH BERAT DARI LANGIT, BUMI DAN ISINYA

Baca juga: MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH

Baca juga: HUKUM MEMIKIRKAN SESUATU YANG HARAM TANPA MELAKUKANNYA

(Syekh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

Akidah